Lihat ke Halaman Asli

Anshor Kombor

TERVERIFIKASI

Orang biasa yang terus belajar

Sudahlah, Ikuti Hasil Pemeriksaan Buni Yani dan Percaya Kepolisian

Diperbarui: 12 November 2016   00:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: www.tempo.co

Entah sampai kapan rakyat dibikin sumpek dengan perkara seputar kata ”al-Maidah 51” yang lantas berkembang menjadi tudingan penistaan agama. Masalah itu bukan lagi bola salju, tetapi ndak ubahnya bola besi yang terus menggelinding-hantam ke sana ke mari, serta bersuara teramat bising di ruang publik. Bercampur luapan kecurigaan, emosi, sikap tergopoh-gopoh, reaksi pokoke dan seterusnya.

Selaku rakyat jelata saya pun habis pikir sampai detik ini. Ketika saya mengikuti dari awal-awal untuk sekadar memahami dari waktu ke waktu. Mulai dari ulasan seseorang yang hanya rumangsa sebagai ”pakar bahasa” secara kebetulan saya baca lewat interaksi teman medsos, tentang petikan ucapan Ahok dengan masih disertai ”pakai” hingga perkembangan usai demonstrasi sekarang.

Termasuk penyebutan mengenai postingan medsos Buni Yani terkait, berikut keterangan pemilik akun bersangkutan melalui sambungan telepon di Kompas TV malam untuk pertama kalinya. Dengan menyebut dirinya sebagai wartawan dan peneliti media, Buni Yani menyampaikan klarifikasi bernada sangkalan atas unggahannya waktu itu.

Saya hanya bertanya-tanya sendiri, meski dia wartawan dan peneliti media, lalu kathe lapo (Surabaya, red), apa urusannya? Mengapa harus terseret kegaduhan lagi andaikan Buni Yani diperiksa kepolisian akhirnya? Bukan apa-apa, tulisan statusnya di situs pertemanan telanjur mencuat bersamaan rangkaian peristiwa (dugaan) penistaan agama yang nyampe pada masyarakat luas, kemudian memicu desakan proses hukum, seruan penangkapan Ahok, hingga demonstrasi baru-baru ini tho?

Yang mula-mula perlu juga dikemukakan, ketika sebagian pihak sepakat melemparkan sangkaan penistaan agama, bahwa salah satu regulasi hukumnya bukan hanya berlabel penodaan agama, tetapi juga awalnya penyalahgunaan agama. Lalu, seandainya memakai pasal 156a KUHP sekalipun, agar bisa efektif perlu melalui pembahasan forum Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat dan Keagamaan (Bakor Pakem).

Jika boleh merunut sejenak, sebenarnya masalah yang amat menguras energi kebangsaan ini kiranya hanya soal unggahan bersambut analogi terkait pernyataan Ahok, respon menafsirkan lebih apa yang terucap dan sempitnya kesempatan untuk bertabayun. Masih segar dalam ingatan, bahasan terhadap ujaran Ahok dengan menggunakan simulasi analogi penggaris dan al-Maidah 51 oleh ”pakar bahasa” yang belum terkonfirmasi jelas.

Ulasan linguisnya memang sepintas masuk akal, terlebih saat dibaca pemikiran masyarakat umum. Tetapi bila dikunyah pelan-pelan, analoginya bisa dibilang problematik. Saya sendiri langsung merasa nggegirisi menyimaknya seiring kekhawatiran efeknya. Bagaimana pun analogi penggaris ndak bisa sertamerta disetarakan kata ”al-Maidah 51” yang kadung diidentikkan Alquran dalam kecenderungan psikologi massa.

Celakanya, tulisan analisa –saya lebih suka menyebutnya permainan utak-atik kata– itu lantas diangkut bongkokan oleh situs terhitung media mainstream yang rilisannya berbau agama kerap dibagikan pengguna medsos setianya. Disusul sejumlah portal lain yang patut dipertanyakan kredibelitasnya ikut memuatnya. Itu pun masih dilekati kata ”pakai” berkenaan dengan perkataan Ahok.

Rupanya persoalan tersebut lantas bergulir ke arena tafsir Alquran yang memang rentan perdebatan, sekurangnya perbedaan pandangan terutama sejak zaman para Mufassirin dulu. Masing-masing pihak merasa memiliki otoritas untuk melakukannya dan membuat generalisasi bahkan justifikasi. Dari sini, secara discourse analysis semakin terasa bias, seiring banyak pihak yang turut berebut panggung. Antara lain, tercatat para oknum anggota DPR lalar gawe ikut campur, sementara ndak kunjung becus menunaikan tugas utamanya sesuai harapan rakyat.

Yang semakin bikin pusing pala barbie, mengapa masih saja terlontar anggapan semacam Ahok menuduh ulama telah berbohong atau membodohi dengan ucapannya ”pakai al-Maidah 51” di Kepulauan Seribu itu. Kok bisa simpulannya demikian? Sama halnya masih seliweran frase bahwa petahana Gubernur Ibukota itu ”mengutip” al-Maidah 51.

Lalu, asumsi bernada pertanyaan mengapa dirinya menafsirkan isi Kitab Suci penganut agama yang lain di kesempatan lain. Sementara, pernah beredar Terjemahan Alquran Depag khususnya mengenai kandungan al-Maidah 51 yang berlainan dalam kurun periodenya, semisal edisi revisi 1998-2002 yang bukan mustahil menjadi konsumsi publik luas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline