[caption caption="sumber: http://genius.com"][/caption]
Alhamdulillah, Puji Tuhan, akhirnya semilir angin dari Kompasiana berhembus juga, atas berita yang menyentak khalayak luas hari-hari ini. Warta mengenai tragedi kemanusiaaan yang memakan korban, dua aktivis penolak tambang pasir ilegal daerah Selok Awar-Awar, Lumajang, di penghujung September berdarah kemarin. Yaitu, Pakde Salim Kancil, wafat dalam jihad cinta dan pengabdian nyatanya pada negara sekaligus alam. Sedangkan rekan seperjuangannya, Paklek Tosan, masih dalam perawatan di RS Syaiful Anwar Malang, dengan penjagaan jajaran kepolisian sekarang.
Walau sorotan terkait nanti mungkin ndak segaduh perbincangan soal misteri Pakde Kartono dan Gayus Tambun-an belum lama ini, sebagaimana bayangan saya mulanya karena sebenarnya tercatat sekitar 24 tulisan sejak 29 September hingga 7 Oktober yang telah menyorotnya. Tapi, setidaknya ruang yang disediakan Kompasiana bertopik ”Pembunuhan Sistematis Salim Kancil” tersebut, akan menjadi dorongan tersendiri atas penuntasannya secara komprehensif dan seadil-adilnya.
Ulah sadis itu tentu kasus ekstraserius, sehingga harus dikawal media, stakeholder beserta publik setiap perkembangannya. Dikarenakan, aksi gerombolan pelaku terhadap kedua korban bukan main-main, bahkan secara terang-terangan di ruang terbuka (Balai Desa). Pada jam aktif beraktivitas ketika banyak anak sekolah di sekelilingnya. Jelas tindakan kriminal tersebut menyiratkan detak kemanusiaan sedang darurat, bila ndak boleh menyebutnya berada pada flat line kematian. Kita ndak kuasa membayangkannya terjadi di zaman seperti kini.
Saya percaya aparat penegak hukum lekas bekerja ekstraserius pula mengusutnya, untuk kemudian memberikan pencerahan keadilan bagi masyarakat. Hal yang sedikit melegakan dan patut diapresiasi, kawanan pelaku yang mencapai puluhan orang sudah ditangkap sekarang. Polda Jatim juga melarang keluarga para pelaku menjenguk. Seiring pertanyaan, bagaimana dengan penggeledehan semisal rumah Kepala Desa yang diduga sebagai dalangnya? Bagaimana pun dampak tragedi itu ndak bisa disepelekan, terutama bagi keluarga korban serta para warga setempat dan sekitarnya. Lebih-lebih mengingat, Jawa Timur salah satu barometer Indonesia.
Pembunuhan terhadap almarhum Pakde Salim Kancil sistematis? Bisa jadi memang demikian, namun kepolisian yang harus membuktikannya. Hanya saja, jika merunut sekurangnya durasi serta rangkaian (jarak) sejumlah tempat yang menandainya, terpikir beberapa sistem yang lumpuh utamanya saat kejadian. Di antaranya, sistem komunikasi lingkup desa terkait pada jam aktivitas. Terlebih jika memang Paklek Tosan yang semula menjadi sasaran gerombolan pelaku.
Kita tahu, lazimnya informasi apa saja cenderung akan cepat menyebar di desa bahkan dusun, apalagi soal peristiwa abnormal dan mengundang keramaian sedang berlangsung. Mungkinkah para warga dicekam rasa takut? Boleh jadi. Tapi, ketika gerombolan pelaku menganiaya Paklek Tosan, sempat dilerai oleh para warga dan bisa diselamatkan. Jangan lupa, semodern apapun sebuah desa, ikatan emosional antarwarga masih terpelihara.
Berikutnya, sistem komunikasi antara struktur desa. Tanpa bermaksud mengatakan dugaan keterlibatan perangkat desa, boleh dibilang komunikasinya ndak bekerja sewajarnya. Belum lagi, peristiwanya disertai pengerahan massa pelaku selama melakukan penganiayaan hingga pembunuhan. Dari sini, mungkinkah kejahatan yang menimpa almarhum Pakde Salim Kancil dan Paklek Tosan itu bukan hanya sistematis, melainkan juga terstruktur dan massif?
Lepas dari itu, ndak kalah penting mengupayakan penanganan trauma, baik terhadap keluarga korban maupun sekalian warga. Termasuk pula bagi anak pelaku yang ndak tahu-menahu kesadisan orang tuanya. Sebab, dampaknya selain membebankan tekanan psikologis, juga memberikan beban pendidikan yang ndak kondusif mendatang.
Selebihnya, tindakan kriminal sadis demikian jangan sampai terulang. Kita pun ndak cukup lagi melulu belajar dan memetik pelajaran. Sampai kapan kita benar-benar mengerti kemanusiaan? Ketika rapuhnya jejaring perlindungan dan advokasi bagi masyarakat lemah, yang sejatinya fundamen penting dari segala upaya pembangunan (manusia) cenderung selalu terabaikan. Inilah PR besar kita bersama yang sudah waktunya direalisasikan secara kolektif!