Lihat ke Halaman Asli

Anshor Kombor

TERVERIFIKASI

Orang biasa yang terus belajar

Menakar Kembali Media Sebagai Pilar Keempat Demokrasi

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Catatan Kaki Geliat Media Sepanjang 2014

Lembaran tahun baru 2015 sudah tergelar beberapa jam lalu. Gelarannya ikut menandai harapan baru atas perbaikan hidup minimal setahun mendatang. Seiring dengan itu, serangkaian peristiwa yang mewarnai 2014 yang telah lewat, kiranya turut menoreh sejumlah catatan sebagai renungan bersama.

Antara lain terpaut media khususnya televisi. Sebab, geliatnya terutama setahun kemarin, boleh dibilang telah begitu banyak mengambil porsi ruang publik. Lebih-lebih karena bersamaan dengan momen perhelatan suksesi kepemimpinan nasional, yakni coblosan Pilpres Langsung, yang sedemikian gaduh di sela-sela keseharian masyarakat luas dengan segala problematikanya.

Tak sedikit media utamanya televisi, serasa bergeser dari track sebagai corong aspirasi dan bagian wahana syiar edukatif bagi rakyat. Aktualisasi fungsinya seringkali terjebak dalam pusaran gejolak pragmatisme konstelasi politik (daerah maupun pusat) yang sedang berlangsung. Keberadaannya lantas cenderung hanya menjadi alat pelampiasan syahwat kepentingan politik tertentu.

Independensi media kerap dipertanyakan banyak kalangan. Apalagi, ketika sejumlah bos media notabene juga menjabat sebagai elit parpol yang tengah berebut kekuasaan. Dengan begitu, kecenderungan rilisannya terkesan bermuatan tendensi politik. Tak pelak, khalayak pemirsa acap kehilangan hak memperoleh informasi yang proporsional dan mendidik.

Sementara, respon institusi terkait belum gamblang menyikapinya. KPI misalnya, tampak garang hanya mengawasi tayangan-tayangan layar kaca yang berbau sensor. Entah sensor indikasi pornografi, tabu, dan sejenisnya. Dewan Pers juga seakan dilematis menyorotinya, lantaran spirit kebebasan pers sebagai bagian ruh demokrasi serta demokratisasi.

Dari sini, jika dulu media ditahbiskan –antara lain oleh almarhum Pakde Taufik Kiemas– sebagai pilar keempat demokrasi, rasanya kita perlu menakarnya kembali. Padahal, media adalah satu-satunya harapan ketika salah satu atau bahkan ketiga pilar demokrasi yang lain terindikasi bermasalah. Taruhlah lembaga parlemen sekarang yang kentara hanya dijadikan tempat saling rebut dan ribut kekuasaan.

Karena itu, perlu koreksi yang lebih konkret dan tegas demi pemulihan marwah media ke depan. Sekurangnya penggiat media hendaknya semakin tergugah untuk senantiasa introspeksi dalam meneguhkan idealisme mendasar atas segala kiprahnya. Yang perlu digarisbawahi, andaikan media tetap mbalela mengabaikan peran dan fungsinya sebagai pendamping rakyat dalam melakukan kontrol atas penyelenggaraan negara berikut urusan kebangsaan, hanya gara-gara meladeni berbagai godaan yang melenakan, rakyat telah memiliki sarana alternatif yakni media sosial.

Pada gilirannya, saat media benar-benar meninggalkan publik, kebangkrutannya pun hanya tinggal menunggu waktu. Terlebih media sosial telah teruji lebih ampuh menyuarakan kehendak rakyat, ketimbang media mainstream sekalipun dalam perkembangan sejauh ini. Selamat Tahun Baru 2015!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline