Lihat ke Halaman Asli

Dua Sisi(nya) Una

Diperbarui: 24 Oktober 2020   16:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar latar diperoleh dari aminoapps.com

Jika dunia pernah begitu kejam terhadapmu, tetaplah bertahan. Hingga dunia nan kejam itu menyerah karena telah memilih lawan yang salah (Una,2020)

Pernah mendapat kabar yang membuat kalian merasa, dunia telah runtuh ? karena saking besarnya dampak kabar itu terhadap hidup kalian ? Aku pernah. Kala itu pada bulan puasa tahun 2016, aku masih menjalani kuliah semester tigaku.

Mulanya semua terlihat terkendali, aku merasa sehat walau beberapa kali aku merasa aku telah berubah menjadi seseorang yang sensitive namun beberapa saat kemudian merasa superior ingin menang sendiri. Waktu itu aku tidak berpikir macam-macam, walau akupun merasa sedikit gelisah karena perubahan sikapku itu. Hingga akhirnya aku sudah tidak sanggup menahan semua hal yang terjadi, aku menyerah pun akhirnya meletus seperti balon hijau. Aku telah berada pada titik puncakku.

Tahun 2016, setelah menjalani perawatan intensif selama seminggu di Rumah Sakit Jiwa. Pertanyaan atas semua sikap aneh nan membingungkanku akhirnya terjawab sudah. Aku didiagnosa memiliki Bipolar Disorder atau gangguan mood. Pertama kali mendengar kabar itu, aku masih tidak paham apa itu Bipolar. Bahkan aku masih tidak mengerti mengapa aku dirawat di rumah sakit jiwa.

Aku merasa terkurung di tempat yang gelap nan pekat. Aku tidak bisa melihat dan merasakan apapun. Namun disisi lain, aku merasa lega karena akhirnya aku tau apa yang harus kulakukan setelah ini. Treatmen apa yang aku butuhkan, sekarang aku jadi tau. Mungkin kalimat "Selalu ada hal baik di hari terburuk sekalipun" memang benar adanya.

Tahun 2016 hingga 2020 aku lalui dengan kontrol rutin tiap bulan dengan psikiater. Mulanya aku sempat ditangani oleh psikolog juga, namun karena aku lebih membutuhkan obat sebagai treatmen akhirnya aku beralih ke psikiater. Obat yang diresepkan oleh pskiaterku memang manjur menurutku. Mood swingku lebih bisa dikendalikan, fase stabilku pun menjadi lebih lama.

Yang jelas, mengetahui apa permasalahan diri kemudian dicari solusi yang tepat adalah salah satu caraku untuk survive. Satu hal lagi, jangan dibiasakan untuk menahan diri apabila sudah ada gejala stress atau depresi yang telah lama dirasakan. Semakin cepat kita bertindak mencari akar permasalahannya, maka semakin cepat pula masalah bisa diselesaikan.

Namun, barangkali aku tau kenapa teman-teman yang merasa memiliki gangguan depresi enggan untuk menemui psikolog atau psikiater. Karena stigma masyarakat atau bahkan keluarga, betul ? Memang, akupun mengalami hal yang sama bahkan hingga sekarang padahal hitungannya aku sudah hampir 5 tahun terdiagnosa Bipolar Disorder.

Stigma memang menjadi momok yang menakutkan bagi penyintas gangguan mental, apalagi anggapan bahwa penyintas sama dengan orang gila. Atau anggapan bahwa penyintas adalah orang yang kurang ibadah atau kurang beriman. Banyak sekali orang-orang diluar sana yang beranggapan seperti itu. Kemudian ketakutan selanjutnya adalah masalah biaya. Baiklah akan aku bahas satu persatu ketakutan kalian.

Pertama adalah soal stigma, berapa banyak penyintas yang malah semakin tertekan ketika sudah terdiagnosa memiliki gangguan mental. Cap kurang ibadah, kurang beriman, caper atau baperan memang membuatku makin tertekan (pengalaman pribadi). Akhirnya aku makin takut untuk mengakui bahwa aku memiliki gangguan mental, aku berusaha kuat demi tidak dicap gila yang malah akhirnya membuatku gila beneran karena tidak kuat berpura-pura. Maka solusi yang aku lakukan adalah speak up ketika diperlukan.

Ketika orang yang memberikan stigma masih bisa diedukasi maka aku akan speak up, akan menjelaskan dengan baik perihal kondisiku dan meminta untuk dimengerti. Akupun sering 'berkampanye' melalui media sosialku bahwa penyintas gangguan mental tidak seperti apa yang mereka pikirkan. Namun, jujur aku tidak terlalu sering melakukan hal ini, karena lama-kelamaan aku sudah tidak peduli lagi dengan stigma orang-orang. Apabila orang itu adalah rekan kerja yang setiap hari bersinggungan denganku, selama aku sudah menunaikan kewajibanku yaitu menjelaskan kondisiku aku akan menyerahkan perkara lainnya pada orang itu. Mau terima dan masih mau berteman ya syukur, kalau tidak mau berteman ya sudah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline