Ayah, sosok laki-laki yang telah membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Bahu lebar dan dada bidangnya adalah tempatku bersandar dan berkeluh.
Perkenalkan, aku anak perempuan pertama dan satu-satunya dalam keluarga ini jadi jangan heran jika aku sangat dekat dengan ayahku. Aku dan ayah entah kenapa memiliki begitu banyak kesamaan.
Golongan darah kami sama, selera makanan kita sama, gaya hidup kita sama, bahkan jurusan kuliah pun sama. Sifat kami pun hampir mirip, ayah adalah seseorang yang penuh welas asih, ayah tidak akan segan membeli dari penjual peyek dipinggir jalan, atau membeli koran yang dijajakan di lampu merah walau sebenarnya ayah tidak begitu membutuhkannya.
Hubunganku dengan ayah bisa dibilang cukup baik. Kami jarang bertengkar atau berselisih pendapat. Pun aku tidak pernah menuntut ayah menjadi sosok yang sempurna.
Kalau ada seseorang yang mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama anak perempuannya, maka itu 100% valid untukku. Banyak hal pertama di dunia ini yang aku lakukan dengan ayah, belajar naik sepeda pertama, diberi kesempatan mengambil keputusan pertama, dan jatuh cinta pertama.
Salah satu peristiwa yang sangat membuatku merasa bahwa ayah adalah sosok yang selalu ada untuku yaitu ketika aku pertama kalinya harus menjalani sebuah operasi. Karena operasi itu, mau tidak mau aku harus rawat inap dan hanya ditunggu oleh ayah saja.
Waktu itu, jam sholat telah tiba. Sedang aku benar-benar tidak bergerak bahkan untuk sekedar tayamum. Tanpa kusangka ayah berbaik hati membantuku berwudhu, yaitu dengan cara mengelap bagian tubuhku bahkan kakiku. Seketika aku terdiam dan merasa sangat beruntung memiliki sosok ayah seperti beliau.
Namun, jarang bertengkar bukan berarti kami tidak pernah bertengkar. Aku kecil pernah dilempar botol saos oleh ayah dan itu sangat membekas dalam ingatanku.
Namun, setelah bertahun-tahun memikirkan mengapa ayah melakukan hal itu aku akhirnya mengerti. Waktu itu aku sedang mengambil makan di ruang makan dan di situ ada ayah yang juga sedang makan.
Setelah aku mengambil makan, aku ingat aku malah ngedumel karena sebenarnya aku sedang memikirkan sesuatu dan ngedumel secara tiba-tiba. Tapi ayahku menanggapinya lain, beliau kira aku sedang mengatakan sesuatu padanya dan beliau tidak begitu mendengar.
Tapi kini aku paham, betapa tidak enaknya menganggap orang lain mengatakan sesuatu kepada kita kemudian kita bertanya ada apa, eh malah orang itu tidak jadi mengatakan sesuatu. Ayah mungkin merasa tidak dihargai karena aku berbiacara tidak jelas dan ketika ayah bertanya memastikan, aku malah tidak menjawab dengan baik pula. Maafkan aku yah :(