Setelah membaca berita online tentang info kehilangan kontak Pesawat Sriwijaya Air SJ182. Kembali membuka memori saya tentang perjalanan bersama Sriwijaya Air.
Pada saat itu Sriwijaya masih membuka rute Banda Aceh-Jakarta. Paling kurang ada dua kali saya menempuh perjalanan bersama Sriwijaya Air. Bahkan pernah sekali sampaya Bandara Juanda Surabaya.
Saya punya kesan naik pesawat Sriwijaya Air itu nyaman. Bahkan ketika itu saya sempat ceritakan ke isteri saat menjemput saya di Bandara bahwa naik Sriwijaya Air enjoy-enjoy saja. Bahkan landingnya lebih soft. Sebab, pernah merasa naik pesawat yang 'hard landing'. Selama ini saya kurang menemukan ada pemberitaan yang kurang menarik tentang Sriwijaya Air.
Lalu saya berpikir, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air itu betul-betul sebuah musibah. Maksudnya bukan faktor pesawat. Mungkin karena cuaca atau petir, atau awan pekat terjadi tuber.
Namun tidak boleh diambil kesimpulan sebelum tim investasi bekerja. Atau sebelun kotak hitam dibuka untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjafi. Sebab, menurut berita baru 5 menit take off dari Bandara Soekarno Hatta.
Apapun yang terjadi kita berdoa dan berharap kecelakaan Sriwijaya Air SJ 182 adalah yang terakhir.
Pertanyaan yang muncul apakah setelah ini takut naik pesawat? Apakah kita akan phobia perjalanan via Pesawat?
Jawabannya, mungkin untuk sementara lumrah ada pikiran seperti itu. Namun, menghindari naik pesawat saat kini sesuatu hal yang tidak mungkin. Karena lebih mudah dan cepat.
Bahkan untuk perjalanan yang bisa satu malam saja banyak orang yang memilih pesawat. Sebagah contoh perjalanan Banda Aceh-Medan, bila ditempuh dari darat hanya membutuhkan waktu sekitar 12 Jam. Namun, ternyata pesawat tetap penuh meskipun baru saja terjadi kecelakaan.
Tadi malam ada tetangga yang paginya (hari ini) berangkat naik pesawat.
Tak Dapat Menghindari Pesawat.