Tepat tanggal 15 Agustus 2005 sepuluh tahun yang lalu di Kota Helsinki Finlandia terjadi peristiwa penting dalam kehidupan orang Aceh bernegara. Pada saat itu terjadi penandatanganan MoU (Moratorium of Understanding) antara pihak Aceh Merdeka (AM) dengan pemerintahan Indonesia.
Sebagaimana diketahui sebelumnya, selama lebih 30 tahun Aceh (baca: GAM) berkonflik dengan pemerintahan Indonesia. Selama itu, masyarakat Aceh terutama di daerah kantong-kantong konflik seperti hidup tidak menentu. Serba salah karena terjepit diantara dua kubu yang sangat berseberangan. Tak jarang, tanpa diduga-duga, tiba-tiba terdengar suara rentetan tembakan lalu mereka harus menyelamatkan diri.
Oleh karena itu ketika peristiwa penandatangan MoU yang dimotori oleh sebuah organisasi di bawah pimpinan Martti Ahtisaari Crisis Management Initiative (CMI) disambut gembira oleh seluruh masyarakat Aceh. Meskipun pada saat itu, banyak yang menanggapi dingin Sebab sebelumnya pada masa permerintahan Megawati Soekarno Putri pernah diadakan perundingan serupa. Tetapi pada saat itu gagal total. Bahkan konflik bersenjata semakin tajam antara GAM dan Pemerintahan RI.
Tanpa terasa tanggal 15 Agustus 2015 ini, peristiwa penting itu sudah berlalu selama 10 tahun. Pertanyaan sekarang apa yang terjadi selama sepuluh tahun ini?
Ada beberapa hal penting yang perlu dicermati berkaitan dengan 10 tahun sudah berlangsungnya perdamaian di Aceh yaitu masalah keamanan, ekonomi, sosial politik dan pendidikan.
Setelah MoU Helsinki kondisi keamanan di Aceh sudah sangat kondusif meskipun akhir-akhir ini ada kelompok bersenjata yaitu kelompok Din Minimi yang sedang diburu pihak keamanan. Meskipun demikian, masyarakat Aceh atau masyarakat diluar Aceh yang ingin berkunjung ke Aceh tidak perlu risau dan takut.
Kalau dulu mau bepergian baik siang apalagi malam hari harus berpikir sepuluh kali lipat dan harus memantau situasi dan kondisi terlebih dahulu. Bahkan, saat itu terutama di daerah konflik mau kencing saja tidak berani takut terdengar suara yang mungkin bisa berakibat fatal.
Efek dari kondusifnya situasi dan kondisi keamanan di Aceh aktivitas masyarakat semakin terlihat. Denyut kehidupan semakin normal. Aktivitas ibadah di mesjid-mesjid dan meunasah-meunasah kelihatan semakin mantap dibandingkan pada masa lalu. Begitupun warung-warung kopi tempat kebanyakan masyarakat berinteraksi sesamanya sambil minum kopi sudah buka sampai larut malam bahkan ada yang sampai pagi. Hal yang jarang ditemukan pada masa konflik terutama di daerah yang rawan.
Namun begitu ada satu hal yang menganjal dan ini dapat menimbulkan efek yang kurang baik bagi keamanan yaitu mengenai proses reintegrasi para mantan kombatan GAM. Menurut mantan ketua Aceh Monitoring Mission (AMM), Pieter Feith, proses reintegrasi para mantan kombatan GAM masih belum maksimal.
Lalu bagaimana dengan sector-sektor lain? Agaknya sektor lain masih membutuhkan multivitamin plus untuk membuat bergairah. Termasuk sector ekonomi.
Pembangunan ekonomi Aceh, meskipun bukan pengamat ekonomi, dengan mudah dapat kita lihat bahwa pembangunan ekonomi masih sangat lemah. Padahal dana untuk Aceh berlimpah setiap tahunnya. Total dana otsus sekitar Rp 41, 23 triliun yang diterima Aceh sejak 2008 hingga 2015 dan terus meningkat 8,8% setiap tahunnya.