Lihat ke Halaman Asli

Djamaluddin Husita

TERVERIFIKASI

Memahami

Ketika Anak-anak Tidak Mau Jadi Presiden

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1296128911860788555

[caption id="attachment_87340" align="alignleft" width="300" caption="Sumber Ilustrasi Gambar: http://irfanrachmat.files.wordpress.com/2010/03/anak-sd.jpg"][/caption] Dulu rasanya menjadi Presiden merupakan cita-cita yang sering diucapkan oleh anak-anak terutama yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika kita tanya apa cita-cita mereka, saat itu banyak anak-anak dengan spontan akan menjawab: “Aku Mau Jadi Presiden”.

Bahkan ketika Soeharto berkuasa, saat melakukan temu ramah bertemu dengan anak-anak di berbagai daerah sering menanyakan cita-cita mereka dan pasti banyak diantara mereka menjawab: “Mau Jadi Presiden”. Mungkin banyak diantara yang masih sangat ingat bagaimana ekspresi wajah Pak Harto saat itu ketika mendengar jawaban anak-anak yang sangat polos dan lugu itu. Sangat sumringah dengan senyum khasnya. Apalagi para hadirin yang mengikuti pertemuan itu memberi aplus. Lalu, tidak lupa dengan gaya khasnya pula Pak Harto menyemangati anak-anak itu agar belajar yang rajin sehingga kelak akan menjadi presiden seperti beliau.

Kenyataan tersebut sangat jauh berbeda dengan serombongan anak-anak SD teman sekolah anak saya. Ketika saya tanya apa yang menjadi cita-cita mereka bila mereka besar nanti. Tidak satupun yang menyebutkan cita-cita ingin menjadi Presiden.

Awalnya saya menganggap itu biasa-biasa saja karena (mungkin) memang mereka tidak mau jadi presiden. Pikiran saya mengatakan bila mereka tidak mau jadi presiden bukanlah sebuah persoalan. Sebab anak-anak juga punya hak untuk tidak mau menjadi presiden. Apalagi cita-cita seorang anak itu dipengaruhi oleh berbagai faktor termasuk latar belakang keluarga, lingkungan mereka sehari-hari dan banyak faktor lain. Jadi bebas saja anak-anak itu bercita-cita jadi dokter, guru, pilot, pemain Timnas dan termasuk tidak mau menjadi Presiden.

Kemudian, secara spontan saya mengarahkan pertanyaan kepada mereka kenapa mereka tidak satupun mau jadi presiden. Asumsi saya, mungkin mereka menjawab karena dipengaruhi oleh jawaban teman sebelumnya. Maklum anak-anak, biasanya bila menjawab pertanyaan seseorang sering ikut-ikutan.

Namun, perkiraan saya salah. Sebagian dari mereka memiliki pendapat sendiri kenapa tidak mau menjadi presiden. Ada yang menjawab kalau jadi Presiden tidak bisa bermain bola secara bebas. Tidak bisa jalan-jalan ke mana mereka suka. Sementara sebagian yang lain menjawab kalau jadi presiden takut didemo dimana-mana. “Takut di demo, ngeri!” Jawab salah seorang dari mereka.

Terus terang, hampir saja saya tanyakan sebuah pertanyaan mengelitik, apa bukan karena takut dicap sebagai pembohong? Untung pertanyaan tersebut spontan saya urungtanyakan, karena saya terpikir mereka masih anak-anak tidak bijak kalau saya ucapkan kata-kata bohong. Karena terminalogi itu tidak pantas diberikan kepada mereka yang masih anak-anak. Namun satu hal yang perlu dicatat, seandainya satu saja dari mereka sempat menjawab “takut dicap berbohong” ini sudah keterlaluan. Saya kira sangat berbahaya bagi perkembangan psikologis anak-anak terutama terhadap sikap berbangsa dan bernegara mereka kelak.

Bagi saya, jawaban anak tidak mau menjadi presiden karena takut didemo saja sudah merupakan pembelajaran yang tidak baik bagi perkembangan psikologis mereka. Bila dari sedari kecil mereka sudah mampu menilai sejauh itu. Mengindikasikan bahwa lembaga kepresiden bukan sesuatu yang bagus, yang baik atau sesuatu yang perlu dibanggakan lagi. Takut didemo, artinya dalam pandangan mereka meskipun mereka belum tahu menahu tentang apa yang terjadi, sesungguhnya telah terpatri dalam benak mereka bahwa ada yang tidak beres di sana. Mereka pasti berpikir bila tidak terjadi apa-apa tidak mungkin setiap saat kemanapun presiden pergi selama ini di demo.

Mungkin permasalahan ini tidak terpikirkan oleh mereka yang berada dalam lingkaran istana. Atau tidak terpikirkan oleh kita semua. Padahal menurut saya situasi seperti ini akan membawa efek buruk dalam perkembangannya di masa-masa yang akan datang, terutama dalam rangka berbangsa dan bernegara. Sehingga anak-anak ini akan selalu menyimpan memori negatif kepada siapa saja yang akan menjadi pemimpin bangsa ini.

Saya kira satu hal yang perlu dan wajib dilakukan oleh pemimpin bangsa ini adalah segera menormalisasikan keadaan ke arah yang lebih sejuk. Jalankan roda pemerintahan dengan jujur dan tidak memiliki interes apa-apa. Pemerintah harus pro rakyat dan tidak boleh sekterian. Tegas dan berkeadilan sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Tidak terkesan menutupi sesuatu dengan intrik-intrik kotor. Sebab akar dari munculnya anarkisme karena pemimpin kita dinilai kurang jujur dalam mengelola bangsa. Demi anak-anak bangsa yang masih kecil-kecil, mari wujudkan suana yang kondusif dalam berbangsa dan bernegara.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline