Pemberitaan jatuh pesawat selama ini mulai dari pesawat Malaysia MH730, kemudian MH17 termasuk yang baru terjadi yaitu tragedi jatuhnya pesawat Air Asia QZ8501 ternyata berdampak pada anak-anak. Saya sedikit terkejut ketika hari Minggu (4/1/2015) anak lak-laki saya yang baru TK A pulang dari bermain-main dengan teman-temannya.
Secara iseng saya bertanya padanya: “Adek dari mana?”. Anak saya menyebut dari rumah salah satu temannya, rumah tetangga. “Main apa di sana?” . Dia menjawab: “Nggak main apa-apa, cuma ngomong pesawat jatuh”. Terus terang saya terkejut, masak anak baru 6 tahun cerita tentang pesawat jatuh. Kemudian saya berpikir itu wajar karena selama ini berita tentang pesawat jatuh setiap hari tersaji di layar televisi.
Lalu anak saya bertanya: “Kenapa pesawat bisa jatuh, Yah?, Saya jawab: “Itu, karena sudah musibah saja”. Saya tidak mungkin menjelaskan secara detail penyebab pesawat jatuh kepada anak saya yang masih kecil itu. Saya kira, karena sudah musibah sudah cukup memberi jawaban. Rupanya, meskipun dalam versi anak-anak (entah mereka dengar di TV, atau mendengar percakapan orang tuanya) yang jelas sudah ada teman-temannya yang lain menceritakannya. Anak saya bilang: “Kata temannya, pesawat jatuh karena tertabrak awan”.
Kemudian saya bertanya pada dia: “Apakah adek mau naik pesawat?” Jawab anak saya: “Nggak, takut tertabrak awan!”. Lanjutnya, “Teman-temannya juga takut naik pesawat terbang!”.
Terus terang, anak saya ini memang belum pernah naik pesawat terbang. Tetapi dia tahu, beberapa kali saya ikut pelatihan pasti naik pesawat terbang. Selama ini selalu saya ceritakan bahwa naik pesawat itu sangat menyenangkan. Kita dapat melihat–lihat awan-awan putih di bawah kita lewat jendela pesawat. Bila perjalanan jauh ke luar negeri misalnya, saat malam hari melewati kota-kota besar, pasti akan terlihat warna-warni lampu-lampu kota yang kita lewati. Pokoknya cerita-cerita yang menyenangkan. Termasuk foto-foto yang menyenangkan saat berada dalam badan pesawat.
Dok Pribadi: Foto diambil Lewat Jendela Pesawat KLM beberapa tahun yang lalu
Dok Pribadi: Saat Transit di Schipool Amsterdam
Karena itu, dalam pikiran anak saya selama ini naik pesawat itu sangat menyenangkan. Bahkan dia cemberu pada anak tetangga yang pulang ke Jakarta selalu naik pesawat.
Perasaaan takut naik pesawat terbang yang ada dalam pikiran anak saya sebenarnya bukanlah sesuatu yang merisaukan. Apalagi naik pesawat bukanlah sebuah perioritas yang akan dilakukan dalam waktu dekat. Namun secara psikologis anak hal ini akan menjadi permasalahan tersendiri. Pasti, peristiwa yang beruntun itu dengan pemberitaan yang terkadang bombastis terutama melalui media televisi akan sangat melekat dalam pikiran mereka.
Barangkali hal inilah yang menjadi sedikit problematika. Ketika pada suatu saat naik pesawat terbang, apa yang dia tonton selama ini akan kembali muncul di bawah alam sadar mereka. Seyogyanya naik pesawat itu enjoy akan berubah menjadi perasaan was-was yang berlebihan. Dan itu akan terus menerus menjadi beban dalam pikiran mereka bila mau naik pesawat. Meskipun di usia mereka yang semakin dewasa nantinya.
Memang serba salah, di satu sisi berita-berita atau informasi mengenai jatuhnya pesawat terbang seperti yang terjadi saat ini sangat dibutuhkan, apalagi untuk keluarga korban dan juga kita sebagai bangsa yang ikut prihatin dan simpati terhadap musibah yang terjadi. Kendatipun anak-anak kecil yang kebetulan ikut mendengar dan melihat berita-berita itu ikut trauma juga. Maka, pendampingan dari orang yang lebih dewasa dan penjelasan yang tepat sesuai usia mereka saat mendengar dan melihat berita-berita yang mengerikan adalah sesuatu yang mesti dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H