Lihat ke Halaman Asli

Husen mulachela

Reporter/SEO content writer/scriptwriter

Sosiodrama, Refleksi, dan Budi Pekerti: Korban Perundungan Daring dalam Pusaran Budaya Pengenyahan dan Ketidakberadaban Masyarakat Maya

Diperbarui: 30 Agustus 2024   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu adegan dalam Budi Pekerti (Sumber: IMDb)  

Profesor Sastra Komparatif, Joel Black, dalam bukunya berjudul "The Reality Effect: Film Culture and the Graphic Imperative (2001)" mengungkapkan bahwa film telah mengaburkan batas antara fiksi dan realitas. Buramnya jarak itu kian "mendekatkan (secara emosional)" penonton dengan apa yang mereka tonton. Walhasil, relasi tersebut mendorong pengalaman kolektif penonton dalam menstransformasi atensi, aksi, dan emosi mereka atas kehidupan sehari-hari atau secara singkat disebut sebagai the audience effect oleh Julian Hanich (The Audience Effect on the Collective Cinema Experience, 2018).

Untuk mencapai the audience effect (tak berhenti pada ruang tonton), sineas perlu berkutat pada pedoman transportasi naratif (Green dan Brock, 2000) dengan menjahit aspek fisik, emosional, dan moral secara rapi dalam narasi yang dihadirkan -- aspek terakhir bukanlah pengalaman pasif, melainkan keputusan aktif yang dibuat dan tertanam dari aktivitas menonton film.

Namun tak sedikit film yang dalam upaya menyajikan masalah sosial untuk direnungi oleh para penontonnya, malah menjelma menjadi karya yang menggurui pemirsa. Bekerja keras memenuhi fungsi pendidikan nan penuh pesan moral sebagaimana impian sebagian kalangan, mulai dari akademisi sampai pemerintah.

Tetapi apa yang ditawarkan oleh Wregas Bhanuteja dalam Budi Pekerti (2023) tidak menjebaknya dalam salah satu kutub pengkaryaan; "mendidik" atau "tidak mendidik". Untuk memantik penontonnya -- seperti yang pernah ia katakan dalam wawancara bersama CXO Media (2024) -- agar setidaknya mereka dapat; "berpikir sebelum bertindak", Wregas meletakkan Budi Pekerti pada posisi tengah; merepresentasi realitas.

Maka, posisi Budi Pekerti dapat dipahami sebagai sebuah sosiodrama. Ia (Budi Pekerti) menyajikan masalah universal bagi kalangan digital native, cyber bullying, dengan secara gamblang menunjukkan dampak perundungan terhadap korban yang selama ini jauh dari jangkauan mata masyarakat maya (blind spot).

Intensi Wregas dalam menyuguhkan sosiodrama dapat ditelusuri -- dan diinterpretasi -- pada kecenderungannya menyematkan semacam "permainan" dalam setiap film garapannya (Kinesaurus Jakarta, 2019). Permainan tersebut, kata Wregas, sesederhana permainan korek api pada film pendek Prenjak (2016), atau permainan perebutan lemari pada film pendek Lemantun (2014), juga permainan menangkap orang dengan gangguan jiwa (OGDJ) pada film pendek Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019).

Dengan demikian, "permainan" menjadi kekhasan sekaligus kendaraan narasi bagi Wregas ketika mengangkat isu-isu sosial yang krusial dalam realitas sinema racikannya, pun dalam Budi Pekerti. Letak "permainan" dalam Budi Pekerti tak bisa hanya diidentifikasi pada scene-scene tertentu, melainkan keseluruhan durasinya. Sedari opening sampai finale image, Budi Pekerti mengadapatasi permainan sosiodrama.

Sosiodrama umumnya dipraktikan sebagai metode ajar dalam lingkup pendidikan. Metode ini memungkinkan siswa memeragakan masalah sosial (dengan gerak dan dialog) yang dibimbing oleh guru dengan maksud agar para siswa yang terlibat dapat memecahkan masalah yang timbul dalam kehidupan sosial (Priyandono, 2018). Metode ini, kata Djamarah (2012), dapat memacu siswa agar lebih memahami perasaan orang lain, serta mengambil keputusan dalam suatu situasi kelompok.

Namun, meski mengaplikasikan metode ajar, Wregas bukanlah sosok "guru" yang menuntun penonton untuk berprilaku baik berdasarkan padangan subjektif yang ia yakini atas budi pekerti yang das sollen. Sehingga, alih-alih menyajikan tontonan yang menggurui, melalui permainan sosiodramanya, Wregas semata mendramatisasikan suatu situasi sosial yang mengandung suatu masalah agar individu (penonton) dapat memecahkan masalah itu.

Refleksi adalah Andragogy

Budi Pekerti mengusung judul alternatif Andragogy. Kata yang berasal dari Bahasa Latin ini merujuk pada metode mengajar yang diartikan sebagai ilmu dan seni dalam membantu orang dewasa belajar; fokus pada penerapan suatu ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari (Super Six Principles of Andragogy).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline