Lihat ke Halaman Asli

Husen Kahfi

Jurnalis (2021-Sekarang),Penulis (2016-Sekarang),Penulis Lagu (2020-Sekarang)

Jokowi 10 Tahun Menjabat, Apa Manfaatnya Untuk Indonesia?

Diperbarui: 24 November 2024   19:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi Sedang Berdiskusi, Sumber Foto:PresidenRIarsip.com

Artikel Ditulis Oleh: Husen Kahfi

Dalam dua periode pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membawa berbagai perubahan signifikan, dengan program utama Nawacita yang menjanjikan reformasi besar. Fokus awal pemerintahannya adalah percepatan pembangunan infrastruktur, yang menjadi sorotan utama dari kebijakan Jokowi. Dengan berbagai proyek seperti; jalan tol Trans Jawa, pelabuhan, bandara, dan kereta cepat Jakarta-Bandung, pemerintahannya mencatatkan rekor pembangunan fisik terbesar dalam sejarah Indonesia modern. Namun, capaian ini juga diikuti dengan berbagai tantangan dan kontroversi yang memunculkan pertanyaan: apa dampak yang siginifikan, untuk rakyat ataupun negara ini?

Jokowi sedang berdiri di kereta "Whoosh", Proyek Jakarta-Bandung. Sumber:DPR.id

Jokowi sering kali dipuji karena membawa pendekatan yang lebih pragmatis dalam menjalankan pemerintah. Contohnya? pembangunan infrastruktur jalan tol yang bertambah hingga lebih dari 2.000 kilometer berhasil menghubungkan kota-kota besar dengan daerah terpencil. Dampaknya adalah kemudahan mobilitas, khususnya bagi sektor perdagangan dan distribusi. Proyek ini juga menciptakan lapangan kerja jangka pendek selama masa konstruksi. Namun, dampak positifnya belum terasa optimal karena tingginya biaya logistik di Indonesia, yang tetap menjadi salah satu yang tertinggi di Asia Tenggara.

Di sektor energi, Jokowi memprioritaskan elektrifikasi pedesaan, sehingga rasio elektrifikasi nasional naik dari sekitar 84% pada 2014 menjadi lebih dari 99% pada 2022. Selain itu, proyek besar seperti pembangunan kilang minyak dan investasi pada energi terbarukan menjadi langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi impor. Namun, beberapa proyek ini menghadapi kendala waktu dan biaya yang membengkak, menimbulkan kritik tentang efisiensi manajemen proyek pemerintah.

Sementara itu, kebijakan ekonomi Jokowi juga menuai pujian, khususnya program Tol Laut yang bertujuan menurunkan disparitas harga barang antara wilayah barat dan timur Indonesia. Namun, kritik muncul karena program ini masih jauh dari target. Pengiriman barang sering kali tidak sesuai jadwal, dan infrastruktur pendukung di pelabuhan belum memadai, sehingga biaya distribusi tetap tinggi.

Di sisi lain, kebijakan kontroversial seperti omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja menjadi sorotan tajam. Kebijakan ini dirancang untuk menarik investasi asing dengan memangkas birokrasi dan memberikan kemudahan bagi pengusaha. Namun, kebijakan ini juga dianggap mengurangi hak-hak pekerja dan merugikan masyarakat kecil, sehingga memicu gelombang protes besar.

Aksi Demonstrasi dengan skala besar, terhadap protes mengenai OMNIBUSLAW CIPTA KERJA. Sumber Gambar:BBC.com

Dalam hal ekonomi makro, salah satu pencapaian Jokowi adalah pertumbuhan ekonomi yang stabil, meskipun pandemi COVID-19 menjadi tantangan berat. Pada 2019, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,02%, tetapi menurun tajam pada 2020 menjadi -2,07% akibat pandemi. Berkat berbagai kebijakan pemulihan ekonomi seperti bantuan langsung tunai (BLT) dan program PEN (Pemulihan Ekonomi Nasional), pertumbuhan kembali positif di atas 5% pada 2022. Namun, pertumbuhan ini sering kali tidak merata, dengan sektor manufaktur yang terus mengalami penurunan kontribusi terhadap PDB.

Utang negara juga menjadi isu yang banyak dikritik selama era Jokowi. Rasio utang terhadap PDB naik dari sekitar 24% pada 2014 menjadi 39% pada 2023. Meskipun angka ini masih dalam batas aman menurut standar internasional, banyak yang mempertanyakan efektivitas penggunaan utang tersebut. Sebagian besar dialokasikan untuk proyek infrastruktur, yang hasilnya sering kali baru terasa dalam jangka panjang. Sementara itu, sektor produktif seperti pendidikan dan kesehatan cenderung menerima alokasi yang lebih kecil.

Pada aspek politik, Jokowi mendapat kritik karena dianggap terlalu kompromistis terhadap kekuatan politik lama. Hal ini terlihat dalam pemberantasan korupsi, di mana pengesahan revisi UU KPK pada 2019 melemahkan independensi lembaga anti-korupsi tersebut. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 stagnan di angka 34, yang menunjukkan minimnya perbaikan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline