Lihat ke Halaman Asli

Menakar Masa Depan KPK Era Firli

Diperbarui: 6 Juli 2021   17:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Husen Bafaddal (dokpri)

Sebelum menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Firli Bahuri pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, posisi ini dapat dibilang sebagai posisi yang sangat strategis, dan jantungnya KPK dalam hal pro justicia seperti tindakan Operasi Tangkap Tangan (OTT), penyelidikan dan/atau Penyidikan pada kasus korupsi, maka tidak heran penyelidik dan atau penyidik KPK sering kali mendapat ancaman dari pihak-pihak yang masuk dalam daftar OTT atau Penyidikan, salah satunya adalah, Novel Baswaden yang menjadi korban penyiraman air keras yang mengakibatkan sebagian tubuhnya mengalami cacat permanen.

Kejadian terhadap Novel Baswedan, kita hanya menduga upaya melumpuhkan KPK hanya datang dari pihak eksternal, namun ternyata sebaliknya hal itu seringkali datang dari internal KPK, bocornya Operasi Tangkap Tangan, Intervensi pengaturan Penyidik, adalah indikasi kuat oknum orang dalam KPK, dugaan itu tertuju kepada "Firli" satu diantaranya, Jabatan Deputi Penindakan yang melekat padanya tentu memiliki pengaruh untuk melakukan intervensi pembatasan tindakan dan pengaturan penyelidik atau penyidik dalam penanganan kasus-kasus korupsi, sampai pada pembocoran informasi rencana Operasi Tangkap Tangan (OTT) kepada oknum pelaku yang memiliki relasi dengannya.

Firli memang akrab dengan beberapa oknum pelaku korupsi, beberapa tahun lalu ketika KPK sedang fokus mengusut kasus dugaan korupsi terkait divestasi saham PT. Newmont Nusa Tenggara, Firli justru sedang asik bermain tenis bersama dengan orang yang menjadi target KPK, dan keberadaan Firli dengan orang yang ditarget tentu ada satu dan lain hal yang direncanakan, salah satunya kasus yang sedang diusut. sanksi etik telah dijatuhkan kepadanya akibat pertemuan dengan modus bermain Tenis, namun sanksi etik tidak berefek pada perilaku etik Firli, justru manuver Firli semakin menjadi-jadi dan sangat terlihat kalau Firli tidak sendiri, seperti ada kekuatan besar didalam maupun diluar KPK yang mem-back-up Firli untuk melemahkan KPK.

Perilaku seperti Firli ini tentunya disukai oleh orang yang memiliki mental koruptif, setidaknya mereka dapat mengambil keuntungan jika Firli tetap berada di KPK, terlebih lagi menyuksesi Firli menjabat sebagai Ketua KPK adalah suatu kabar gembira, karena Porsi kekuasaan yang besar memudahkan Firli untuk intervensi segalanya di KPK termasuk semua insan KPK yang menjadi bawahannya untuk mengikuti aturan main (the rule of game) yang dibuat oleh Firli.

Belum setahun menjabat sebagai Ketua KPK, Firli kerap melakukan tindakan yang dianggap kontroversi, salah satunya dugaan gratifikasi sehubungan dengan penyewaan helikopter swasta pada tanggal 20 Juni 2020 untuk perjalanan ke Palembang dan Baturaden selama 4 (empat) jam. Berdasarkan data ICW, harga sewa helikopter yang digunakan Firli adalah Rp 39,1 juta per/jam, maka total harga sewa yang harus dibayar oleh firli adalah sebesar Rp. 172,3 Juta. Akan tetapi dalam sidang etik Firli memberikan keterangan yang berbeda, yakni Penyewaan harga pesawat per/jam sebesar Rp. 7-Juta dan total pembayaran sebesar Rp. 30,8 Juta. Hal ini sesungguhnya membuktikan Firli telah menerima Gratifikasi dalam bentuk discount sebesar Rp. 141,5 Juta. Namun Dewan Pengawas KPK hanya melihat dari aspek etik gaya hidup (life style) dan menjatuhkan sanksi etik teguran dengan dasar pelanggaran pada Pasal 4 Ayat (1) huruf n dan Pasal 8 Ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK, karena dianggap Firli berpola hidup mewah.

"Hilangnya Independensi Etis"

Hal yang paling terpenting bagi Pelaku Pembuat Undang-Undang, Pelaksana Undang-Undang, Maupun Penegak Undang-Undang, adalah memiliki Independensi etis yang menuntut setiap individu untuk cenderung kepada kebenaran, obyektifitas, kejujuran dan keadilan, yang harus diinternalisasi oleh mereka secara maksimal sehingga terbentuk moralitas yang baik, karena hukum membutuhkan moralitas, sebab moralitas adalah alat keadaban manusia, untuk menjalankan misi keadaban diperlukan idealisme, karena tanpa idealisme, hukum dapat diperalat untuk maksud dan tujuan jahat serta mudah berbelok dan dibelokan menjadi alat kejahatan, atau yang diistilahkan oleh Marx sebagai "an evil thing".

Kualitas produk hukum yang baik dan benar merupakan wujud dari nilai etis perilaku pembuat undang-undang, yang mengerti tentang kemanfaatan dan kepedulian terhadap lingkungan kehidupan kemanusiaan, dan dilaksanakan serta ditegakkan oleh orang-orang pilihan (Primus Inter Pares) yang memenuhi syarat Independensi etis.

Akan tetapi, kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini hanya ditemui para elite negara memanfaatkan jabatan publik sekedar gaya-gayaan, mereka menegaskan statusnya hanya melalui gaya hidup tinggi (high life style), bukan dengan kinerja dan prestasi. Hal ini yang dikatakan oleh Ignas Kleden sebagai sindrom ekshibisionisme sosial yang terjangkit pada pejabat negara saat ini, Menurutnya juga, ekshibisionisme itu tampil angkuh dalam kasus korupsi, mengumpulkan hasil korupsi, bukannya merasa malu, tetapi malah memamerkannya dengan cara yang amat mencolok. (Baca : Ignas Kleden "Masyarakat dan Negara").

Betapa buruknya kewenangan pembuatan undang-undang di negara kita diisi oleh oknum-oknum yang bermental korup yang menduduki peringkat pertama, dalam survey Transparansi Internasional Indonesia (TII), yang dirilis dengan tajuk Global Corruption Barometer 2020. Hal ini tentu sangat memalukan untuk lembaga yang dilabeli kata "Terhormat" namun terjangkit sindrom ekshibisionisme sosial, kiranya label tersebut hanya dimaknai sekedar teks yang tidak bisa dijewantahkan secara konteks tanggungjawab etis selaku wakil rakyat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline