Lihat ke Halaman Asli

Palmerah Memang Merah

Diperbarui: 30 Desember 2020   16:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. pribadi

Oleh : Husen Bafaddal

Di Jakarta siapa yang tidak kenal Palmerah, sebuah daerah yang terletak di antara Jakarta barat dan Jakarta selatan, konon katanya asal usul namanya berasal dari kata Pal yang artinya batas atau patok, yang berwarna merah.

Menurut sejarah, pada masa lalu patok berwarna merah itu dijadikan sebagai batas wilayah kota Batavia (sekarang Jakarta) ke arah Bogor. Dahulu jika gubernur Belanda hendak ke Istana Bogor, maka pasti melewati jalur berpatok merah tersebut, para rombongan gubernur biasanya naik kereta kuda menuju Bogor dan mengistirahatkan kuda-kudanya di lokasi yang tidak jauh dari situ, yakni Pos Pengumben.

Lama-kelamaan patok merah tersebut menjadi penanda kawasan Palmerah dan dikenal oleh masyarakat dengan sebutan Palmerah. Namun, sekarang patok merahnya sudah tidak ada lagi dan yang ada hanyalah tinggal patok berwarna hitam-pitih-kuning, di pinggir jalan raya.

Saat ini palmerah sebagai salah satu daerah yang sangat strategis di ibukota Jakarta karena dekat dengan pusat-pusat perkantoran (office), perbelanjaan (market), olah raga (sport) dan lain sebagainya ada di Palmerah. Hal ini yang membuat saya dan istri memilih Palmerah sebagai tempat domisili karena jarak aktivitas kerja saya dan istri tidak jauh dengan Palmerah.

“PENTOLAN PALMERAH”

Di setiap daerah pasti dikenal pentolannya termasuk juga di daerah Palmerah dan bahkan pentolan Palmerah inilah yang sangat berani dibandingkan didaerah lainnya, yaitu Kompas dan Tempo, keduanya adalah warga asli Palmerah yang saling bertetangga dan paling ditakuti di seantero republik, keduanya sering disebut sebagai anak “bandel” yang suka mencari atau membuat gara-gara/masalah serta kegaduhan di republik, jika terjadi suatu kegaduhan yang besar pasti keduanya dituduh sebagai biang keroknya.

Tempat nongkrong anak Palmerah ini juga terbilang luar biasa, kerjaannya nongkrong di semua perkantoran negara hanya bermodalkan kamera dan alat tulis, jika ada pejabat yang jalannya pincang keduanya akan berikan suatu Pal (Patokan) yang mengindikasikan adanya hal yang buruk dan kemudian dimuat dalam catatan Merah (Red Notice), itulah kerjaan anak Palmerah yang dianggap suka cari gara-gara melalui coretan tinta.

Saking dianggap suka mencari gara-gara, maka tidak sedikit yang memusuhi mereka, masih teringat pada tahun 2013 Kantor Tempo diserang oleh kelompok preman, satpam dianiaya, property loby kantor dihancurkan, pada tahun yang sama Wartawan Kontributor Kompas (Rahman Patty) di kota Ambon di aniaya ketika sedang menjalankan aktivitas peliputan dan tahun 2014 Wartawan Kompas (Michael Aryawan) di aniaya dan pelakunya merampas kamera di Yogyakarta.

“PALMERAH VS BANTENG MERAH”

Tipekal anak Palmerah yang suka cari gara-gara itu sudah biasa, bahkan sudah menjadi kultur dan identitas tersendiri yang menggambarkan “Gue anak Palmerah” yang dulu dianggap sebagai anak pinggiran batas kota Batavia (Jakarta), tetapi sekarang ketika anak Palmerah sudah bicara, maka semua anak-anak kota berdiri dipinggiran jalan membaca coretan tinta anak Palmerah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline