Oleh : Husen Bafaddal
Jakarta sebagai pusat pemerintahan, tentu juga menjadi pusat perhatian para aktivis yang tergabung dalam ormas untuk melakukan pengontrolan secara eksternal terhadap kinerja pemerintah. Bicara soal ormas khususnya di Jakarta tentu sangat banyak dan sulit terhitung dari mana dan tujuannya apa ormas-ormas yang ada. Namun dari sekian banyak ormas yang ada dan yang paling popular dikenal adalah Ormas Front Pembela Islam atau dikenal dengan dengan sebutan FPI.
Orang lebih banyak mengetahui dan mengenal nama ormas FPI melalui media-media mainstream baik elektronik maupun media cetak dan lebih khususnya lagi publik lebih mengenal FPI dengan karekternya yang ekstrim, radikal, anti Pancasila/NKRI dan segalanya yang buruk adalah milik FPI, paradigma publik yang miring terhadap FPI dikarenakan pemberitaan media yang memicu label radikal terhadap FPI. Bahkan dahulu cara pandang saya sama dengan kebanyakan orang yang melihat FPI seperti pemberitaan media massa, terlebih lagi saya berpikir jika ada ormas seperti itu semestinya negara menembak mati aktivis FPI dari pada mengganggu situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pada awal tahun 2013 saya memulai adaptasi dengan lingkungan Jakarta, melihat aktivitas individu dan berbagai kelompok ormas termasuk ormas FPI, saking penasaran saya iseng untuk telusuri ormas dan berbagai kegiatannya, ternyata yang saya temui FPI sangat berbeda jauh dengan pemberitaan media mainstream, FPI juga sangat berbeda dengan ormas-ormas yang ada, FPI bukan seperti ormas yang dibentuk untuk cari lapak parkiran, FPI bukan seperti ormas yang dibentuk untuk demo bayaran, FPI bukan seperti ormas yang dibentuk untuk jaga lahan tanah sengketa, FPI bukan seperti ormas yang melacurkan diri (idealisme) untuk menerima uang dari kekuasaan, FPI bukan ormas yang mengawal kepentingan cukong, FPI bukan ormas yang dibentuk untuk pegang senjata tajam melainkan pegang ballpoint, dan FPI bukan seperti ormas separatis yang anti Pancasila dan NKRI.
Atas perbedaan itu, FPI harus dibubarkan atau setidaknya dibunuh saja dan memang harus dibunuh, lah kenapa…? Karena FPI sering kritik kebijakan pemerintah yang tidak populis, FPI sering kritik praktik korupsi dilingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif, FPI sering kritik Pemerintah yang mengizinkan membuka tempat perzinahan, dan fatalnya lagi FPI suka melakukan kegiatan sosial membantu orang susah baik muslim maupun non muslim, FPI suka melakukan dakwah membentuk penguatan tauhid dan sikap nasionalis ummat dan lebih brutalnya lagi karena FPI mengusung revolusi akhlak.
Sampai dititik ini tentu saya bingung, ormas seperti FPI yang memiliki tingkat kesadaran terhadap kepincangan sosial politik dan memiliki kepekaan sosial serta selalu mengasah Nurani mengapa harus dibubarkan atau harus dibunuh, bukankah selama ini negara yang bersikap ambigu: negara sendiri yang membuat undang-undang larangan korupsi tetapi pejabat negara yang korupsi, dan negara sendiri yang membuat aturan larangan perzinahan tetapi negara memberikan izin membuka tempat perzinahan, dan apakah salah jika FPI mengusung Revolusi Akhlak.
Walaupun begitu pada pokoknya FPI harus dibunuh, lah kenapa…? Karena negara telah kehilangan rasionalitas, cara perssuasif untuk menina-bobokan FPI dengan berbagai tawaran menggiurkan tidak berhasil. Maka negara harus bertindak radikal (extra judicial killing) menggunakan senjata api, 6 (enam) nyawa laskar FPI seketika menghadap sang pencipta. Semoga Husnol Khotimah….!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H