Lihat ke Halaman Asli

Prestasi Bima Arya: Pencitraan Menjelang Pilwalkot

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13782575711001821341

Rekor mengajar terlama. Inilah ‘prestasi’ yang baru diraih oleh calon walikota Bogor bernama Bima Arya. Beberapa media heboh memberitakan, para tokoh pun latah ikut memberikan apresiasi. Entah karena faktor kedekatan mereka pada sosok Bima atau hanya sekedar basa-basi ala tokoh publik. Kalau saya jadi Bima Arya, saya justru malu dengan prestasi ini. Agaknya ambisi kekuasaan telah membuat seorang Bima mencari cara apapun untuk memoles citra dirinya, termasuk mempecundangi perannya sebagai akademisi. Mengapa saya bilang mempecundangi? Pertama, tugas mulia mengajar seharusnya tidak dikomersialisasi dengan atribut pemecahan rekor. Biaya rekor muri tidak sedikit. Pendaftar harus merogoh kantong minimal 25 juta rupiah untuk bisa mengikuti event ini. Saat diujung pelosok sana para guru dengan penuh pengabdian mengajar di daerah terpencil tanpa reward, Bima justru berbangga diri dengan rekor mengajar 16 jamnya yang tidak seberapa. Masyarakat yang kritis pasti akan mengerti bahwa upaya rekor muri ini tidak lain hanyalah untuk menarik simpati publik atau pencitraan politis belaka. Kedua, jika Bima memang tulus mengajar, mengapa harus mengenakan baju berwarna oranye yang menjadi trademark atribut kampanyenya?Mengapa rekor tidak dipecahkan dengan mengajar anak jalanan yang juga membutuhkan pendidikan? Jawabannya simple, karena misi Bima yang sebenarnya adalah ‘kampanye terselubung’. Meski Bima Arya sering tampil di televisi, popularitasnya belum mampu menyentuh seluruh segmen. Bima memang tenar di kalangan politisi atau mereka yang jadi penikmat berita, tapi untuk kalangan pelajar? ‘Kegalauan’ segmen pemilih pemula untuk menentukan pilihan saat pilwakot Bogor, dimanfaatkan Bima melalui pemecahan rekor muri ini. Memasuki sekolah satu demi satu, akan menguntungkan Bima dalam menarik simpati mereka. Mengajar anak jalanan jelas tidak menguntungkan Bima sehingga segmen ini tidak menjadi pilihannya. Rata-rata anak jalanan tidak mempunyai KTP (karena tempat tinggalnya pun tidak jelas), apatis terhadap pemilihan walikota (karena makan pun sudah sulit), jadi tidak ada keuntungan apapun yang bisa diperoleh jika menyentuh mereka. Belum lagi jika kita menakar ketulusan seorang Bima Arya saat berada di sekolah-sekolah tersebut. Beberapa foto menunjukkan bahwa Bima menggunakan kaos berwarna oranye yang menjadi trademark aksi kampanyenya. Jika seorang Bima Arya memang benar-benar tulus, mengapa ia tidak meninggalkan seluruh atribut tersebut selama proses pemecahan rekor Muri? Toh hanya 16 jam. Ketiga, soal 16 jam. Apa yang istimewa dengan 16 jam tersebut? Banyak guru yang beban mengajarnya melebihi seorang Bima, namun orang-orang istimewa tersebut tidak mendapatkan reward apapun. Agaknya kita harus kembali pada “doktrin” masa lalu, bahwa yang namanya guru adalah profesi tanpa tanda jasa. Profesi mulia yang tidak perlu dicatat atau digembor-gemborkan oleh media secara berlebihan. Sekali lagi, kekuatan modal bicara disini. Seorang Bima Arya mampu membeli popularitas dengan uang 25 juta, sedangkan para guru biasa tidak mampu melakukan hal tersebut. Tragisnya calon pemimpin dengan model pikiran dan laku seperti ini. Memanfaatkan seluruh kesempatan dengan kekuatan modal yang ia miliki untuk menarik simpati publik. Mempecundangi esensi mulia dari mengajar, demi pencitraan politis.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline