Korupsi, sebuah kata yang bisa dibilang familiar dan ketenarannya layak disetarakan dengan ketenaran artis papan atas, terutama bagi warga negara Indonesia. Bagaimana tidak, keberadaan korupsi di Indonesia bila diibaratkan, mirip dengan condiment pelengkap sebuah sajian makanan, rasanya tak lengkap jika membahas Indonesia tanpa melengkapinya dengan catatan korupsinya.
Mencoba menggunakan kata dan pendalaman lain, sebagian riset menyebutkan bahwasanya munculnya korupsi tersebut bisa jadi dihasilkan oleh perilaku 'abuse of power' atau dalam Bahasa Indonesia berarti 'penyalahgunaan kekuasaan'. Tentunya, abuse of power ini gak semena-mena dilakukan oleh semua kalangan masyarakat, hanya sebagian besar orang yang memiliki power, layaknya pemerintah, wakil rakyat, pemimpin, dan masih banyak lainya.
Kembali ke Indonesia, menghilangkan dan melenyapkan tindakan korupsi di Indonesia, terutama yang sering dilakukan oleh para pemilik kekuasaan atau power, telah menjadi prioritas utama dan musuh terbesar bagi negara ini, atau mungkin setidaknya untuk rakyatnya. Untuk rakyat yang hidup dalam ketidakpastian di setiap harinya, untuk rakyat yang hidup dengan seadanya, setidaknya memang begitu.
Tapi, bagi sebagian masyarakat mungkin kian berat rasanya untuk memperjuangkan keadilan dan melawan korupsi di Indonesia yang kemudian lebih memilih acuh terhadap kenyataan tersebut. Sebab, melenyapkan korupsi di Indonesia bisa dibilang seperti mengharapkan kehidupan yang utopia, kehidupan yang sempurna, tanpa kecurangan dan kekotoran sedikit pun. Bak teman sohib yang setia, berita korupsi di setiap tahunnya selalu hadir menemani lika-liku kehidupan masyarakat Indonesia, beritanya pun beragam mulai dari susunan birokrasi terkecil hingga terbesar layaknya nasional sekalipun ada, dari korupsi di jenis industri a sampai industri z pun ada. Yap intinya di mana-mana.
Keberadaanya yang sulit diminimalisir dan bahkan dihilangkan ini sampai-sampai memberikan sebuah ide atau gagasan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dengan memberikan asumsi umum bahwasanya keberadaan korupsi di Indonesia sudah menjadi 'budaya' yang mana budaya tersebut sulit untuk dilenyapkan. Dan tidak sedikit orang yang percaya akan asumsi tersebut. Lantas, apakah pernyataan atau asumsi tersebut memang benar adanya?
Jawabannya menurut penulis iya dan tidak. Kita bahas alasan dari jawaban 'tidak' terlebih dahulu, jawaban tersebut didasari oleh salah satu riset yang dilakukan oleh Al Hafis & Yogia (2017) yang menyebutkan dalam penelitianya jika abuse of power di Indonesia bukan disebabkan karena orang Indonesia memiliki budaya yang abusive terhadap power dan berperspektif secara materialistis melainkan, disebabkan oleh hukuman yang tidak memberikan efek jera dan taraf hidup atau pendapatan masyarakat yang rendah. Selanjutnya, jawaban 'iya' penulis masih berkaca dari riset tersebut, menyebutkan bahwa orang-orang Indonesia mulai melakukan tindakan korupsi ketika kecilnya upah atau pendapatan yang mereka terima ketika dalam masa penjajahan Jepang dan Belanda, maka dari itu, bukankah perilaku yang telah dilakukan sejak lama dan tetap bertahan hingga kini dapat dikategorikan sebagai 'budaya'?
Terlepas dari benar dan salahnya asumsi tersebut, penulis rasa sebagai warga Indonesia kita tidak boleh dibuat nyaman dengan keberadaan korupsi di Indonesia, baik itu kecil atau besar, tinggi atau rendah ukuranya, sekali korupsi tetaplah korupsi, maka dari itu lawanlah hal tersebut, singkirkan kebiasaan tersebut, agar asumsi tersebut tidak terealisasikan menjadi budaya yang sakit bagi Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H