Lihat ke Halaman Asli

Jurnalis Cendekia

Aktivis-Ekonom-Penulis

Penolakan Transmigrasi di Papua: Perspektif Kritis Axel Honneth

Diperbarui: 12 Desember 2024   00:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: abc.net.au

Penulis: Fatkhul Manan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Fenomena penolakan transmigrasi di Papua telah menjadi isu yang semakin mencuat pada tahun 2024. Program transmigrasi yang digalakkan pemerintah bertujuan untuk pemerataan pembangunan dan kesejahteraan di wilayah-wilayah tertinggal, termasuk Papua. Namun, di tanah Papua, program ini justru menghadapi resistensi yang kuat dari masyarakat lokal. Penolakan tersebut tidak hanya mencerminkan ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga mencerminkan kompleksitas sejarah, sosial, dan ekonomi di kawasan ini.

Konteks Sejarah dan Sosial Penolakan Transmigrasi

Salah satu alasan utama penolakan transmigrasi adalah kekhawatiran masyarakat Papua terhadap potensi kehilangan hak atas tanah adat mereka. Tanah adat bukan hanya menjadi sumber kehidupan ekonomi, tetapi juga merupakan bagian integral dari identitas budaya masyarakat Papua. Dalam program transmigrasi, pendatang dari luar Papua sering kali diberikan akses ke lahan yang dianggap bagian dari tanah adat, sering tanpa konsultasi atau persetujuan yang memadai (Elmslie & Webb-Gannon, 2019). Akibatnya, masyarakat adat merasa terpinggirkan dan dirugikan.

Selain itu, program transmigrasi dianggap sebagai ancaman terhadap keberlanjutan budaya lokal. Pendatang membawa sistem nilai, tradisi, dan praktik ekonomi yang sering kali berbeda atau bahkan bertentangan dengan masyarakat asli. Perubahan ini, dalam banyak kasus, menciptakan ketegangan sosial yang signifikan. Sebagai contoh, data dari Lembaga Penelitian, Pengkajian, dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) menunjukkan bahwa 70% konflik tanah di Papua terkait dengan pemberian lahan kepada transmigran (LP3BH, 2023). Konflik ini memunculkan resistensi masyarakat lokal yang semakin meningkat.

Dampak Sosial dan Ekonomi: Ketimpangan dan Peminggiran

Penolakan transmigrasi juga dipicu oleh dampak sosial ekonomi yang dihasilkan. Kehadiran transmigran sering kali dianggap meminggirkan masyarakat asli Papua dalam akses terhadap sumber daya ekonomi. Misalnya, transmigran cenderung memiliki akses yang lebih baik terhadap fasilitas umum, lapangan pekerjaan, dan bantuan pemerintah dibandingkan masyarakat lokal (Sawaki, 2021). Fenomena ini menciptakan ketimpangan yang memperburuk stigma bahwa program transmigrasi adalah alat dominasi budaya dan ekonomi.

Ketimpangan tersebut juga tampak pada distribusi infrastruktur. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua (2023), daerah yang dijadikan lokasi transmigrasi sering kali mendapatkan prioritas pembangunan infrastruktur, seperti jalan dan fasilitas kesehatan, dibandingkan dengan wilayah masyarakat adat. Hal ini memunculkan rasa tidak adil di kalangan masyarakat asli, yang semakin memicu aksi protes dan demonstrasi. Sebagai contoh, pada awal 2024, terjadi demonstrasi besar-besaran di Jayapura, Nabire, dan Sorong, di mana masyarakat menolak kebijakan transmigrasi yang mereka anggap sebagai upaya eksploitasi lahan adat. Demonstrasi tersebut menggambarkan tingginya resistensi terhadap program ini, yang dianggap gagal memahami aspirasi dan kebutuhan masyarakat Papua.

Perspektif Teori Pengakuan: Axel Honneth

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline