Lihat ke Halaman Asli

Jurnalis Cendekia

Aktivis-Ekonom-Penulis

Manipulasi Kebutuhan pada Iklan Media Sosial: Perspektif Teori Kritis Herbert Marcuse

Diperbarui: 11 Desember 2024   20:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ditulis Oleh: Wisnu Wardana

Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta

Di era digital, media sosial telah menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Facebook tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga mesin ekonomi yang menggerakkan konsumsi. Di balik keasyikan menggulir layar, terdapat algoritma yang dirancang untuk mendorong pembentukan kebutuhan baru, banyak di antaranya adalah kebutuhan palsu. Dengan meminjam perspektif teori kritis Herbert Marcuse, kita dapat melihat bagaimana iklan di media sosial tidak hanya mempromosikan produk, tetapi juga membentuk kebutuhan artifisial yang menguntungkan kapitalisme, sekaligus mengaburkan kebebasan sejati individu. Menurut laporan datareportal.com. tahun 2024, pengguna media sosial global telah melampaui 5 miliar orang, dan rata-rata waktu yang dihabiskan setiap harinya mencapai lebih dari 2 jam. Di Indonesia, angka ini lebih tinggi, mencapai 3 jam per hari. Iklan di media sosial tidak hanya menargetkan konsumen berdasarkan demografi, tetapi juga memanfaatkan data pribadi untuk menyesuaikan promosi dengan preferensi individu. Misalnya, algoritma Instagram dan TikTok mengumpulkan informasi perilaku pengguna untuk menyajikan iklan yang relevan, mendorong konsumsi impulsif.

Dalam konteks ini, Marcuse berbicara tentang false needs atau kebutuhan palsu, yaitu kebutuhan yang diciptakan oleh sistem kapitalis untuk mempertahankan dominasi ekonomi (Herbert,1964). Iklan di media sosial dirancang untuk membuat individu merasa bahwa mereka membutuhkan produk tertentu agar diterima secara sosial atau merasa puas. Ini menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan dan identitas pribadi dapat diperoleh melalui konsumsi barang dan jasa.

Iklan dan Manipulasi Kebutuhan

Salah satu strategi utama iklan media sosial adalah menciptakan rasa kurang atau ketidakcukupan. Misalnya, kampanye produk kecantikan sering membuat narasi "kekurangan" pada kulit pengguna dan menawarkan solusi instan melalui produk tertentu. Dalam pandangan Marcuse, teknik ini adalah cara kapitalisme memanipulasi individu untuk terus mengonsumsi. Kebutuhan yang sebenarnya tidak ada sebelumnya diciptakan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, sementara kebebasan manusia untuk memilih secara kritis semakin tereduksi(Herbert,1964). Sebagai contoh, penelitian dari Statista.com 2024 menunjukkan bahwa pengeluaran global untuk iklan digital mencapai $626 miliar pada tahun 2023, dengan mayoritas investasi ditujukan ke media sosial. Kampanye pemasaran yang mengandalkan influencer dan kreator konten juga memperkuat mekanisme ini, karena mereka dianggap lebih autentik dan relatable dibandingkan iklan tradisional.

Algoritma dan Budaya Konsumsi

Marcuse mengkritik bagaimana teknologi digunakan untuk memperkuat dominasi kapitalisme (Herbert,1964). Di media sosial, algoritma bukan hanya alat teknis, tetapi juga agen ideologis yang memengaruhi pola pikir pengguna. Algoritma mengedepankan konten yang mendorong konsumsi, baik melalui iklan langsung maupun konten organik yang disponsori. Dalam ekosistem ini, pengguna tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produk, karena data mereka dijual kepada pengiklan untuk memperbaiki strategi pemasaran. Sebagai contoh, TikTok memanfaatkan algoritma berbasis machine learning untuk menganalisis preferensi pengguna dan menampilkan iklan yang sangat personal. Akibatnya, pengguna sering kali membeli produk yang sebelumnya tidak mereka pertimbangkan. Fenomena ini menunjukkan bagaimana teknologi membatasi kebebasan individu untuk membuat keputusan berdasarkan refleksi kritis, yang menjadi inti pandangan Marcuse tentang one-dimensional society (masyarakat satu dimensi) (Herbert,1964).

Dampak Sosial Kebutuhan Palsu

Dampak dari pembentukan kebutuhan palsu meluas hingga aspek sosial. Individu yang terus-menerus terpapar iklan di media sosial sering kali merasa tidak pernah puas dengan apa yang mereka miliki. Hal ini memicu perilaku konsumtif dan utang, serta meningkatkan tekanan psikologis akibat kebutuhan untuk "selalu memiliki" apa yang sedang tren. Sebuah survei oleh deloitte.com ahun 2023 menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna media sosial mengaku membeli produk karena merasa terdorong oleh tren yang dipromosikan di platform tersebut. Di sisi lain, fenomena ini juga memperburuk ketimpangan sosial. Mereka yang tidak mampu mengikuti tren konsumsi sering merasa tertinggal atau tidak diterima dalam lingkaran sosial tertentu. Media sosial, yang seharusnya menjadi ruang inklusif, justru menjadi tempat reproduksi hierarki sosial berbasis konsumsi.

Alternatif: Kesadaran Kritis

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline