Lihat ke Halaman Asli

Jurnalis Cendekia

Aktivis-Ekonom-Penulis

Narasi Kecurangan Pemilu: Krisis Kepercayaan Pada Demokrasi dan Diskursus Publik dalam Perspektif Kritis Albrecht Wellmer

Diperbarui: 10 Desember 2024   21:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Koleksi Pribadi

Penulis: Fatkhul Manan

Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi

Sekolah Pascasarjana Universitas Sahid Jakarta

Pemilu sebagai institusi demokrasi idealnya mencerminkan transparansi dan keadilan dalam memilih pemimpin. Namun, realitas politik kerap kali mempertanyakan kepercayaan publik terhadap proses tersebut, terutama ketika indikasi kecurangan pemilu mencuat. Dalam konteks Indonesia, Pemilu 2024 menjadi contoh yang memperlihatkan kompleksitas masalah ini. Dengan pendekatan kritis Albert Wellmer, kita dapat mengeksplorasi bagaimana fenomena kecurangan pemilu memengaruhi diskursus publik dan legitimasi demokrasi.

Krisis Kepercayaan terhadap Demokrasi

Kecurangan pemilu bukanlah isu baru dalam demokrasi modern. Dalam Pemilu 2024, Indonesia menghadapi berbagai laporan pelanggaran yang merusak kepercayaan publik. Dugaan manipulasi data pemilih, politik uang, dan netralitas aparatur negara menjadi perhatian utama. Sebagai contoh, praktik politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara kerap dilaporkan selama masa kampanye dan masa tenang (Kompas, 2024; ICW, 2024). Kondisi ini menciptakan paradoks dalam demokrasi, di mana idealisme transparansi dan keterbukaan berlawanan dengan kenyataan yang koruptif. Albrecht Wellmer, seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt, menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang bebas dari distorsi untuk menjaga legitimasi demokrasi. Dalam hal ini, kecurangan pemilu bukan hanya persoalan teknis, tetapi juga menghambat diskursus publik yang sehat. Publik kehilangan ruang untuk mendiskusikan pilihan politik mereka secara rasional ketika informasi didistorsi melalui praktik kecurangan (Wellmer, 1991).

Manifestasi Kecurangan Pemilu

Dalam Pemilu 2024, berbagai temuan menunjukkan bahwa kecurangan terjadi di setiap tahap, mulai dari penunjukan pejabat daerah hingga kampanye. Misalnya, netralitas aparatur sipil negara (ASN) menjadi masalah utama, dengan laporan bahwa sejumlah ASN secara terang-terangan mendukung kandidat tertentu. Video viral anggota Satpol PP yang mendukung salah satu pasangan calon dalam Pilkada 2024 menjadi salah satu contoh nyata yang memancing kritik publik (Kompas, 2024; ICW, 2024). Selain itu, koalisi masyarakat sipil menemukan 53 dugaan kecurangan di 10 provinsi yang mencakup manipulasi hasil suara, penyalahgunaan media sosial resmi pemerintah untuk kampanye, dan pelanggaran prosedur penghitungan suara. Praktik-praktik ini mempertegas keberadaan "politics of deception" yang melemahkan integritas demokrasi (ICW, 2024).

Perspektif Kritis Albrecht Wellmer: Demokrasi dan Diskursus Publik

Dalam kerangka pemikiran Albrecht Wellmer, kecurangan pemilu merusak kepercayaan publik melalui "distorsi komunikasi." Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi publik yang didasarkan pada informasi yang valid dan rasional. Ketika informasi dipalsukan atau manipulasi dilakukan, ruang diskursus publik berubah menjadi arena konflik kepentingan yang tidak adil. Wellmer menegaskan bahwa dalam demokrasi, komunikasi publik harus membangun konsensus melalui rasionalitas, bukan intimidasi atau manipulasi (Wellmer, 1991). Fenomena kecurangan pemilu juga menunjukkan kegagalan institusi negara dalam menjaga independensi dan transparansi. Ketika penyelenggara pemilu, seperti Bawaslu atau KPU, dianggap tidak efektif dalam menangani aduan kecurangan, maka legitimasi institusi demokrasi secara keseluruhan dipertanyakan. Hal ini menciptakan "krisis kepercayaan," yang menurut Wellmer dapat merusak hubungan antara negara dan warga negara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline