Lihat ke Halaman Asli

Pak Guru PPKn

Guru PPKn

RAPI ’BELUM TENTU’ BERKARAKTER

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

RAPI ’BELUM TENTU’ BERKARAKTER

ajining dhiri ana lathi, ajining raga ana busana

”harga diri seseorang terletak pada bibir(perkataan)

dan penampilan mencerminkan keperibadian”

(Pepatah Jawa)

Adagium Jawa ini mengisyaratkan secara explisit tentang kontruksi keperibadian diri. Melalui konsep kausalitas menuju idealita yang berproses secara kontinuitas. Simpel bahasanya tapi jelas maknanya yang mengandung nilai filosofis-moralitas yang tinggi.

Ajining dhiri ana lathi, artinya harga diri seseorang terletak pada bibir. Bibir dalam hal ini maksudnya perkataan atau ucapan. Ketika seseorang bisa memilah dan memilih kata-kata yang tepat dalam berkomunikasi dengan berbagai orang yang heterogen secara kultural, kedudukan, dan etnisitas maka cerminan kepribadian yang baik akan terjawantahkan seiring alunan kata-katanya. Berbeda dengan orang yang waton ngomong (bicara seenaknya), ceplas-ceplos (bicara tanpa memperhatikan etika) saat berkomunikasi maka cerminan keperibadian yang buruk terungkap dari apa yang dikatakan.

Ajining raga ana busana, artinya penampilan mencerminkan kepribadian. Cara berbusana atau berpakaian seseorang menentukan keperibadian orang tersebut. Konsep yang diambil mengisyaratkan bahwa ’pakailah pakaian pada tempatnya’, artinya ketika bekerja maka pakailah pakaian untuk kerja (misal: seragam atau batik bagi guru), ketika rekreasi maka pakailah pakaian bebas-sopan, jangan dibolak-balik karena masing-masing sudah ada etikanya masing-masing. Penerapan konsep ini dalam contoh lain misal ketika siswa bersekolah maka pakailah seragam yang telah diatur oleh sekolah, sedang ketika bermain maka pakailah pakaian bebas-sopan. Kuncinya jangan ’dibolak-balik’. Penyalahan pemakaian pakaian dalam beberapa acara dapat menimbulkan efek buruk kepada diri sendiri (penilaian buruk dari orang lain).

Beberapa paparan di atas sengaja penulis fokuskan untuk menelaah konsep adagium Jawa terkait dengan konstruksi keperibadian seseorang guna menjadi gambaran idealis fokus bahasan yang diambil-dan yang lebih berkorelasi kalimat Ajining raga ana busana, artinya penampilan mencerminkan keperibadian. Telah dipaparkan bahwa bagaimana peran busanaataupakaian yang dikenakan seseorang dalam mengkonstruksi keperibadiaanya.

Di era kontemporer ini konseptual adagium ini seolah terkaburkan relevansinya. Konsep busana baik berkorelasi dengan pribadi baik tidak relevan dalam beberapa kasus. Lihat saja para koruptor kelas kakap (white collor crime) busana/ pakaian mereka rapi-rapi, pakai jas, berdasi, sepatu mengkilap dan diimbangi dengan rambut yang selalu tersisir rapi tapi perilaku mereka tidak dibenarkan secara hukum maupun moral. Korupsi yang menjarah uang negara(uang rakyat) merupakan pelanggaran hukum bahkan extraordinary-crime. Dalam bahasa  Hidayat Nur Wahid koruptor adalah the real of terrorists. Betapa buruknya status ini-walau kadang yang menyandang tidak merasa betapa buruknya status yang disandang. Lalu yang jadi pertanyaan apakah para ’orang rapi’ ini masih bisa dibilang berkeperibadian baik? Tidak! Itu jawabannya.

Dalam kasus lain ada beberapa fenomena dimana orang yang berpakaian biasa sak onone justru mempunyai keperibadian yang baik. Integritas yang tinggi dan mempunyai rasa gotong royong yang kuat-yang kedua-duanya menjadi ’mimpi tiada henti’ jika diharapkan pada para pejabat-khususnya yang korup. Pada akhirnya sesuai dengan kenyataan empiris yang ada dapat ditarik kesimpulan bahwa rapi belum tentuberkarakter. Bungkus baik belum tentu menjamin isinya juga baik. Jangan terpedaya dengan kilauan bungkus yang terkadang memanjakan mata.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline