Lihat ke Halaman Asli

Pak Guru PPKn

Guru PPKn

Dilematika Seorang Elit-Intelektual

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Tiga kejahatan terbesar seorang mahasiswa salah satunya adalah ‘tidak bicara’/ no talk (Kossa-PKnH).”

Dewasa ini di ruang-ruang kuliah jarang terdengar mahasiswa yang aktif dalam pergumulan intelektual untuk mencari suatu jawaban ideal terkait dengan pengetahuan baik berupa pengajuan pertanyaan kepada dosen ataupun dengan berdiskusi diselang-selang waktu kuliah dengan mahasiswa lain. Kebanyakan aktifitas berbicara dilakukan ketika ‘harus’ berbicara yaitu ketika presentasi. Dan terkadang kebanyakan didominasi oleh ‘satu dua’ orang mahasiswa, sedang yang lain aktif mendengarkan dengan seksama. Walau sebenarnya hal ini kurang mencerdaskan karena kurang ada pengungkapan akademis untuk bersama-sama mencari kebenaran akademis, ketika banyak hal yang dirasa perlu diklarifikasi, dan mungkin pada gilirannya akan melahirkan para akademisi yang jumut-intelektual atau kurang berilmu(atau dalam bahasa umum disebut dengan pas-pas-an).

Persoalan di atas bukan terjadi secara spontanitas. Tapi cenderung terkontruksi dalam waktu yang cukup lama. Bisa jadi pada tahun pertama tingkat keaktifan mahasiswa relatif tinggi dari pada tahun-tahun selanjutnya dengan berbagai alasan. Pertama, mahasiswa semakin lama mengenyam bangku kuliah semakin keteteran untuk mengikuti perkuliahan dikarenakan grade pemahaman materi perkuliahan semakin sulit, apabila ditunjang dengan ketidak ikutan mahasiswa dalam mempelajari materi-materi kuliah secara holistic yang butuh kemandirian tanpa terjerembab hanya di ruang kuliah saja. Kedua, mahasiswa terlalu tersibukkan oleh hal-hal yang tidak menunjang studinya yang dalam beberapa kesempatan oleh para analis sering disebutkan bagaimana keterjebakkan mahasiswa dalam dunia hedonisme dan matelialisme (ditunjukkan dengan kegiatan shopping yang berlebihhan, nongkrong, nonton film, terlalu memikirkan fesyen, dll). Ketiga, mahasiswa terjangkit penyakit ‘no talk’ karena memang dia tidak suka bicara, yang dalam beberapa hal bisa jadi tingkat antusias untuk belajarnya sangat tinggi dibanding dengan mahasiswa yang selalu aktif. Mereka lebih suka mencari kebenaran dengan menunggu ‘sapa tahu akan ada yang bertanya sesuai apa yang dirisaukan’ atau dengan mencari literatur-literatur lain ketika sedang belajar mandiri untuk mencari jawaban atas apa yang ingin dia ‘tahu’ atau sebuah klarifikasi akademis.

Ketiga alasan diatas yang cukup menjadi perhatian positif adalah alasan yang ketiga. Mungkin alasan ketiga ini bisa dikatakan apologis(ada alasan pemaaf). Tapi bukan tanpa harus dicari problem solving-nya. Karena ketika seseorang telah terjun kedunia akademisi suatu hal yang mutlak keaktifan di perkuliahan dan di luar kelas untuk mencari pengetahuan atau untuk menganalisis suatu keadaan empiris dengan teori-teori yang telah didapatkan di ruang kuliah. Jadi perlu ada penyelesaian kontruktif dari mahasiswa yang terjangkit penyakit jenis ketiga. Mahasiswa perlu melakukan ‘pemaksaan’ kepada dirinya agar tidak lagi ‘tidak bicara’ dalam pergumulan intelektual.

Karena sempitnya analisis dari penulis maka hanya tida alasan yang baru bias disebutkan kenapa dewasa ini terjadi permasalahan tidak bicara dikalangan elit intelektual, yang oleh penulis dikhususkan dipara mahasiswa yang sedang menempuh jenjang sarjana (S1). Jadi saran dan kritik yang kontruktif sangat diharapkan oleh penulis yang untuk kedepannya dapat menjadi ajang intelektual untuk mengungkapkan suatu relalitas permasalahan dari berbagai perspektif.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline