KITA belum beranjak dari abad introspeksi, masa ketika egoisme merupakan rute favorit menuju hidup bahagia. Kita menghabiskan banyak waktu demi memuaskan keinginan batin, harapan, dan mengejar status-status pribadi.
Dengan mudah, saat ini, kita bisa bertemu cara cepat menjadi kaya raya di rak-rak buku terbaru dan terlaris di toko buku. Cara mudah mewujudkan mimpi semacam itu bahkan menyamar sebagai karya fiksi yang dicetak berulang-ulang dalam tempo singkat dan melahirkan banyak penulis kaya dan angkuh. Buku-buku semacam itu sering kali menjebak kita dalam pusaran hidup mementingkan diri sendiri.
Era introspeksi adalah kesalahan, kata seorang pemikir bernama Roman Krznaric. Abad ke-21 mestinya sudah berubah menjadi era outrospeksi. Tampaknya, kata “outrospeksi” belum ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi terbaru. Introspeksi sering digambarkan sebagai tindakan bercermin, melihat ke dalam diri sendiri. Sementara itu, outrospeksi adalah tindakan keluar dari diri sendiri dan belajar dari kehidupan orang lain. “Empati adalah seni hidup yang menjadi ciri utama abad outrospeksi,” kata Krznaric dalam bukunya The Wonderbox: Curious Histories of How to Live.
Mestinya outrospeksi bukan hal yang asing bagi masyarakat Bugis dan Makassar di mana saya lahir dan tumbuh besar, masyarakat pemeluk budaya Siri’ na paccé/pessé. Paccé (Makassar) atau pessé (Bugis) berarti merasakan luka-derita orang lain, berempati. Saya kira, filosofi hidup semacam itu, meskipun dengan penyebutan berbeda, sudah hidup lama di negeri ini. Tapi, ajaran-ajaran hidup itu barangkali juga sudah hilang ditelan masa introspeksi.
•
LIBURAN adalah fenomena menarik untuk melihat dan menjelaskan kegagalan abad instrospeksi. Kita melakukan perjalanan wisata untuk bersenang-senang dan melarikan diri dari himpitan rutinitas, juga kejamnya hidup yang dipenuhi para pengejar mimpi. Kita rela bekerja dan tenggelam dalam kepadatan dan kesibukan Senin hingga Jumat semata untuk menunggu waktu rehat dan menghabiskan uang pada akhir pekan yang selalu terasa singkat.
Ketiklah kata ‘wisata’ di mesin pencari Google dan temukanlah tempat-tempat indah, berbagai paket liburan, juga agen-agen perjalanan yang siap mengaman-nyamankan suasana hati Anda. Para penggemar kesenangan bertualang dengan riang juga telah memajang kisah-kisah liburan di blog-blog mereka lengkap dengan foto-foto indah jepretan mereka. Bagi yang tak memiliki jaringan Internet, ada banyak pilihan majalah wisata yang bisa dibeli. Atau, cukup duduklah di depan televisi.
Jauh sebelum hari ini, Thomas Cook, pendiri agen wisata yang tersohor sejak abad ke-19 memiliki ide ganjil ihwal perjalanan wisata. Pada 1841, dia mengajak 500 orang mengikuti perjalanan kereta api sejauh 22 mil dari Leicester ke Loughborough. Tujuan perjalanan itu adalah bertemu orang-orang saleh yang akan menceramahi para peserta tur agar bisa terlepas dari pengaruh buruk minuman keras. Ide Cook itu tampaknya merupakan lelucon bagi para pencari kenyamanan wisata saat ini.
Pelajaran dari Cook adalah bahwa liburan bukan ruang untuk bersenang-senang, melainkan kesempatan untuk mempertanyakan nilai-nilai dan seni kehidupan. “To travel is to dispel the mists of fable and clear the mind of prejudice taught from babyhood, and facilitate perfectness of seeing eye to eye,” kata Cook.
Terinspirasi dari visi Cook, Krznaric mengusulkan liburan yang revolusioner. Dia menyebutnya wisata empati. Petualangan menggunakan sepatu orang lain dan belajar melihat dunia dari perspektif mereka.
•