Lihat ke Halaman Asli

Seorang Ibu dan Novel yang Mengubah Dunia

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HARRIET Beecher Stowe lahir pada 14 Juni 1811 bukan dari keluarga kelas bawah. Ia lahir dari keluarga yang intelek dan alim. Ia mendapatkan pendidikan istimewa pada masa ketika kebanyakan perempuan tidak bisa mendapatkan akses pendidikan formal. Singkatnya, ia menikmati semua kenyamanan terbaik yang ditawarkan zamannya. Kecuali bahwa ia menikah dengan seorang profesor pendiam dan kurang bergairah yang mengingatkan kita pada Edward Casaubon dalam novel George Eliot, Midllemarch.

Stowe tumbuh di tengah isu besar perbudakan. Ia menyaksikan bagaimana keluarganya memperlakukan budak. Namun, pada 1840, ketika koran-koran dipenuhi perdebatan mengenai masalah tersebut, ia berbalik menentang perbudakan.

Kehidupan Stowe berubah secara radikal pada 1852, ketika ia menerbitkan novel Uncle Tom’s Cabin. Pada minggu pertama, novel tersebut terjual 10 ribu eksemplar dan membawanya menjadi penulis paling terkenal di dunia saat itu.

Ketika perang sipil meledak pada 1861, Uncle Tom’s Cabin secara menakjubkan terjual hingga 4 juta kopi. Setahun kemudian, ketika ia diundang ke Gedung Putih dan bertemu dengan Abraham Lincoln, ia disambut oleh sang Presiden dengan kalimat, “Jadi, kau wanita kecil yang menulis buku yang memulai perang besar ini!”

Uncle Tom’s Cabin merupakan salah satu novel yang paling berpengaruh di dunia. Novel tersebut sering diejek karena penuh melodrama. Tidak mengherankan George Orwell menyebutnya “novel buruk yang baik”. Sebab, yang berharga dari novel itu bukan prestasi sastranya, tapi keseriusannya berurusan dengan dunia nyata.

Berpusat pada kehidupan seorang budak kulit hitam, Uncle Tom’s Cabin membawa pembaca ke dunia jual-beli manusia. Dalam novel itu kita bisa melihat bagaimana anak-anak dipisahkan dari ibu mereka oleh pedagang kulit putih yang dilindungi oleh sistem perbudakan terlembaga.

APA yang mendorong Stowe menulis novel yang memicu perang saudara itu? Mengapa seorang perempuan berkulit putih yang santun dan hidup nyaman menulis novel yang menginspirasi banyak bangsa untuk berempati pada nasib kaum tertindas? Anak.

Pada 1848, Stowe melahirkan Charley, anak keenamnya. Ia menyebut anak tersebut sebagai “kebanggaan dan harapanku”. Secara terbuka, ia memberinya lebih banyak perhatian dibanding anaknya yang lain. Namun, ketika berusia satu setengah tahun, Charley meninggal karena wabah kolera. Wabah itu menewaskan 9.000 orang. Duka ekstrem itu menelan dan menghantui hidup Stowe. Ia tidak bisa terlepas dari bayangan penderitaan yang merenggut jiwa anaknya dan menyesal karena tak mampu melakukan apa pun.

Kematian Charley adalah inspirasi yang berkelindan menjadi kisah penuh kehidupan dalam Uncle Tom’s Cabin. Peristiwa tunggal yang merobek hati itu membuat Stowe memahami apa yang dirasakan oleh sesama perempuan ketika anak-anak mereka diambil paksa dan dijual menjadi budak. Kesedihan melimpahkan bahan bakar dan wawasan empatik kepada Stowe.

BUKAN semata perihal kehebatan cinta ibu kepada anak yang bisa kita pelajari darikisah Uncle Tom’s Cabin dan penulisnya. Kisah tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa aktivitas menulis dan membaca karya sastra rupanya bisa mengubah dunia. Uncle Tom’s Cabin membakar jiwa-jiwa manusia untuk merasakan penderitaan sesamanya dan menggerakkan mereka menentang penindasan.

“Melalui novel, untuk pertama kalinya, aku menyadari ada dunia lain di luar diriku sendiri. Aku bisa membayangkan kemungkinan untuk merasakan derita orang lain,” tulis novelis Julian Barnes dalam salah satu esainya. Kita sering kali berpikir seperti itu ketika membaca novel. Itu bukti bahwa membaca karya sastra dapat membantu kita menghindari kungkungan ego dan memperluas semesta moral kita. Karya sastra yang baik, seberapa halus pun dituturkan, selalu mengandung seruan untuk bergerak.

Ada banyak karya sastra lain yang sering disebut-sebut dan masuk dalam daftar buku yang mengubah dunia. Sebagai contoh, tentu kita ingat novel Things Fall Apart karya Chinua Achebe yang memberikan suara perlawanan kepada Afrika yang selama bertahun-tahun dibungkam penjajah.

Pernyataan yang lebih tegas ada dalam salah satu karya George Orwell. “I write because there some lie that I want to expose, some fact to which I want to draw attention, and my initial concern is to get a hearing,” tulis Orwell dalam esainya yang terkenal, Why I Write.

Orwell menganggap menulis sebagai aktivitas politis. Jika penulis menganggapnya demikian, berarti membaca juga harusnya dipandang sebagai tindakan subversif, bukan semata hiburan atau hobi.

Tapi, betulkah demikian? Jujur saja, tidak selalu demikian. Tidak banyak penulis pada zaman sekarang yang mau melakukannya. Jika ada penulis yang sadar melakukannya, kadang lalu dikaburkan oleh kritikus yang lebih tertarik membahas hal lain dalam karya yang mereka ulas. Parahnya lagi, pembaca lebih sering hanya ingin terhibur. Atau, menjadikan pengetahuan yang mereka dapatkan sebagai anak tangga untuk mencapai status-status pribadi dan menjadi penindas lain.

Menyedihkan kala menyadari hal semacam itu terjadi di tengah kepungan masalah sosial-politik. Tidak semua orang beruntung dan berani menjadi ibu yang mau terjun dari kenyamanan hidup dan mengubah kesedihan menjadi kekuatan seperti Harriet Beecher Stowe.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline