Lihat ke Halaman Asli

Efek Rumah Kaca, Badiou, dan Bahasa Cinta

Diperbarui: 24 Januari 2017   10:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Trio Pop Minimalis, Efek Rumah Kaca | KOMPAS/LUCKY PRANSISKA

PADA 2007, sehari sebelum perayaan kemerdekaan Indonesia, tiga anak muda merilis album pertama berisi selusin lagu. Mereka menyebutnya Efek Rumah Kaca—judul salah satu lagu di album tersebut, sekaligus nama grup musik mereka.

Efek Rumah Kaca (ERK) muncul ketika industri musik Indonesia sedang didominasi lagu cinta yang cengeng, mendayu-dayu, dan miskin makna. Single pertama mereka, Jatuh Cinta Biasa Saja, adalah sindiran ringan atas kenyataan tersebut. Lagu itu membuat nama mereka dikenal. Tapi, seperti judulnya, penerimaan masyarakat juga biasa saja.

Setelah mengeluarkan single kedua, Cinta Melulu, para penikmat musik Indonesia segera menyadari keistimewaan grup musik ini. Kepingan cakram padatnya laku, lagu-lagunya diputar di mana-mana, dan harus sibuk mengatur jadwal naik pentas.

Cinta Melulu dibuka dengan musik yang riang dan lirik yang terus-terang: Nada-nada yang minor/ Lagu perselingkuhan/ Atas nama pasar semuanya begitu klise.Sindiran ERK terhadap industri musik Indonesia kian jelas di lagu ini. “Oh, oh… Lagu cinta melulu,” kata mereka.

Sebagai penggemar lagu-lagu ERK, saya menganggap Jatuh Cinta Biasa Sajadan Cinta Melulu bukan sekadar kritikan atas dunia musik Indonesia. Grup musik yang lagu-lagunya sarat tema sosial-politik ini tidak hanya menumpahkan kejengahan karena cinta jadi komoditas murahan.

Melalui kedua lagu tersebut, ERK sesungguhnya mengkritik cara kita memahami dan memusnahkan cinta. Bahkan, lebih jauh dari itu, mereka sedang melakukan apa yang diharapkan oleh Arthur Rimbaud dalam salah satu puisi di bukunya Une Saison en Enfer (A Season in Hell). “Seperti kita tahu, cinta butuh ditemukan kembali, kata penyair Prancis yang pernah berada di Jawa selama beberapa minggu pada 1876 itu.

*

DI Paris, setahun setelah ERK meluncurkan album debut, berlangsung percakapan antara Alain Badiou, dan wartawan Le Monde, Nicolas Truong, di hadapan pengunjung Festival Avignon. Mereka juga berusaha menemukan cinta kembali.

Badiou muak melihat cinta menjadi komoditas yang kering—terutama dipelopori oleh situs-situs kencan di Internet. Perlakuan semacam itu, bagi Badiou, juga berarti penghancuran atas cinta. Dalam ancaman musnahnya cinta sebagai kebenaran, atau ideadalam istilah Plato, Badiou melihat tugas filsafat untuk menyelematkannya—atau menemukannya kembali seperti kata Rimbaud.

Dalam banyak ulasan, Badiou memang sering dianggap sebagai pemikir terdepan yang meletakkan filsafat kembali ke posisinya yang penting. Lebih jauh tentang pikiran-pikiran Badiou, sila baca buku Martin Suryajaya, Alain Badiou dan Masa Depan Marxisme (ResistBook, 2011).

Setelah mengalami sedikit revisi, pada 2009, transkrip percakapan antara Badiou dan Troung tersebut terbit sebagai buku, Éloge de l’amour, meminjam judul film Jean-Luc Godard.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline