Lihat ke Halaman Asli

Menebak Hubungan Jokowi-JK dan Relawan

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Nama-nama calon menteri yang akan duduk di kabinet presiden-wakil presiden terpilih, Joko Widodo-M. Jusuf Kalla, masih misterius.Tim transisi bahkan mengaku tidak tahu siapa saja orang-orang yang akan menjadi pembantu Jokowi-JK periode 2014-2019 yang akan datang. Sebab, yang punya wewenang merekrut calon menteri adalah Jokowi sebagai pemilik hak proregatif. Namun demikian, jika kita mengacu pada hasil polling yang dilansir kabinetrakyat.org dan sudah diserahkan ke Jokowi, dapat dilihat beberapa nama calon menteri, baik dari kalangan elit partai koalisi pendukung, relawan dan profesional.

Mereka yang tercantum dalam hasil polling kabinetrakyat.org itu sebagian besar adalah mereka yang berjasa mengantarkan Jokowi-JK sebagai pemenang pilpres, mengalahkan pasangan Prabowp Subianto-Hatta Rajasa.  Agar tidak lupa pada janjinya, kita tentu harus mengingatkan tentang janji dan perkataan Jokowi dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sendiri yang mengatakan tentang koalisi tanpa syarat. Koalisi tanpa syarat yang dimaksud Jokowi-PDI tentu dapat ditafsirkan bahwa tidak ada pembabgian jatah kursi kekuasaan, baik kepada para partai pengusung maupun kepada para relawan.

Lantas Apakah Jokowi-JK serta PDIP akan konsisten dengan pernyataan koalisi tanpa syarat tersebut? pertayanyaan sederhana ini menarik untuk dikaji karena belakangan ini ada manuver-manuver dari elit partai dan relawan untuk menagih timbal balik atau jasa mereka kepada Jokowi. Misalnya, kita tentu ingat akan adanya aksi demonstrasi dari para relawan kepada rumah transisi Jokowi-JK, di Jalan Situbondo nomor 10, Menteng, Jakarta Pusat, pada Senin (25/8/2014) silam. Mereka mengguruduk rumah transisi Jokowi-JK lantaran ingin meminta penjelasan perihal posisi dan peran para relawan di kolompok kerja (Pokja) di dalam tim transisi sebagaimana dikatakan Juru Bicara Boni Hargens.

Dalam konteks ini, kita sudah bisa membaca perihal akan hubungan atau relasi masa depan antara relawan, partai koalisi, dan Jokowi-JK. Kita juga tahu bahwa mereka para relawan ini memang sepakat secara visi-misi Jokowi-JK menjadi pemenang Pilpres karena kalau pasangan ini dikalahkan pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang didukung parta-partai besar, semisal Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PPP, dan PBB maka para relawan dan partai pengusung Jokowi-JK khawatir proses demokrasi dan kebebasan yang sudah bejalan belasan tahun akan terhambat jika Prabowo-Hatta sebagai pemenang. Dengan begitu, partai pengusung dan relawan tidak henti-hentinya mengawal hasil perolehan suara Jokowi-JK baik pada masa penghitungan di Komisi Pemilihan Umum (KPU) maupun pengawalan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika kerja keras relawan dan partai koalisi tidak Jokowi-JK hargai dengan cara memberikan jatah kursi kekuasaan maka visi-misi Jokowi-JK tidak akan berjalan sesuai harapan. Mereka para relawan ini bisa saja bergabung dengan koalisi merah putih, baik di dalam maupun di luar parlemen untuk menghambat program atau melakukan manuver sebagai upaya dan langkah untuk melakukan impechmen terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Mereka bisa saja melakukan berbagai cara untuk mendongkel Jokowi dari kekuasaan.

Belajar dari Gus Dur

Masih segar dalam ingatan kita tentang beta dipaksakannya almarhum KH. Abdurahman Wahid alias Gus Dur dari kursi kekuasaan. Padahal kita tahu bahwa Gus Dur adalah presiden terpilih secara sah sesuai dengan konstitusi negara. Namun demikian, karena terlalu banyak lawan politik disamping keputusan-keputusannya yang kontroversial, maka Gus Dur dituduh terlibat kasus bulogate dan brunaigete dalam setahun pemerintahannya pada tahun 2000. Tak lama kemudian, Gus Dur juga kembali bermanuver dengan memecat sejumlah menteri semisal Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail dan Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono (sekarang Presiden SBY).

Akibatnya, Gus Dur yang awalnya mendapatkan dukungan mayoritas para elit ternyata hanya mampu bertahan seumur jagung dalam memegang kekuasaan. Gus Dur dilengserkan karena selain memecat sejumlah menteri di kabinet, juga karena memberlakukan dekrit yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Kemudian pemegang kekuasaan diambil alih oleh Megawati Soekarno Putri.

Di sinilah pentingnya membaca ulang sejarah masa lalu untuk kemudian dijadikan pelajaran hidup dalam menata masa depan yang lebih berharga. Bukan tidak mungkin peristiwa runtuhnya pemimpin dari kekuasaan akan terulang dalam satu negara apabila sang pemimpin  tidak bisa mengakomodir kepentingan-kepentingan para elit dan rakyat sekaligus. Apalagi, seperti yang kita saksikan bersama tentang betapa antinya koalisi merah putih di parlemen terhadap pemerintahan yang akan datang. Misalnya hal itu dapat kita lihat dari adanya perubahan UU MD3 dan dan pembahasan Rancangan Undang-Undang Daerah (RUU Pilkada) setelah pilpres ini. Dua RUU ini merupakan tantangan besar pemerintahan Jokowi-JK.

Bukan tidak mungkin kekompakan manuver elit koalisi merah putih itu akan menjadi penyentuh Jokowi-JK untuk membangun keberlangsungan hubungan dengan para partai pengusung, semisal PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI dan para relawan. Sepertinya Tidak ada cara lain yang bisa dilakukan Jokowi-JK, kecuali dengan cara membagi-bagikan jatah kursi kekuasaan. Dengan adanya timbal balik dari jasa-jasa mereka, pemerintahan Jokowi-JK akan mendapatkan pengalawan ketat dari rakyat, sebagai pemenang kedaulatan.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline