Kamis, 22 Oktober 2015 sekitar jam 20.00 WIB saya mendapat telepon dari saudara sepupu (sebut saja D) yang ada di Jakarta. Dia langsung nanya..”Kke, Kurikulum 2013 itu apa sih tujuannya? Tematik tuh seperti apa? Ko anak gua banyak banget PR ya? Apa emang harus begitu? Masa setiap hari ada PR bisa sampai untuk 3 (tiga) mata pelajaran... mana mereka pulang sore, kapan waktu mereka untuk bersantai, masih bagus sempet mandi juga... emang target gurunya apa sih? Terus ko ada PR mengerjakan soal berkelompok tapi dibagi-bagi setiap bagiannya? Pertanyaan yang lain melebar kepada persoalan orang tua yang “sepertinya” ingin membantu anaknya dalam mengerjakan tugas.
Sebetulnya pertanyaan tersebut bukan yang pertama (banyak orang tua dan guru yang sering mengeluh) dan menggelitik saya untuk mengungkapkan apa yang saya tahu dan rasakan. Berdasarkan pengalaman saya sebagai pendidik (pernah guru sampai kurikulum 2006 dan sekarang menjadi dosen di LPTK) dianggap tahu dan mampu untuk menjelaskan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Pengetahuan saya tentang kurikulum 2013 terbatas pada materi yang saya baca dan pelajari sendiri. Saya belum pernah mendapat pelatihan menjadi Instruktur Kurikulum 2013, tetapi rasa penasaran dan ingin tahu membawa saya untuk terus membaca hal-hal baru yang terkait dengan perubahan kurikulum. Namun sedikit banyak saya mengetahui tentang kompetensi inti, kompetensi dasar, pendekatan pembelajaran, serta penilaian dalam kurikulum 2013.
Berdasarkan pengalaman menjadi instruktur di PLPG dan sempat menjadi narasumber workshop guru yang diselenggarakan oleh salah satu direktorat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai aplikasi Kurikulum 2013, pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena berbagai hal. Pertama, ketidaksiapan kurikulum itu sendiri yang ditunjukkan dengan “kegalauan” pemerintah terutama kementerian yang terkait pada saat mengaplikasikan kurikulum tersebut. Terkesan terburu-buru dan dipaksakan sebelum semua komponen pelaksana siap melaksanakan kurikulum tersebut. Hal ini terlihat ketika Menteri Anis Baswedan mengembalikan pelaksanaan Kurikulum 2013 kepada Kurikulum 2006 bagi sekolah yang baru melaksanakan 1 (satu) semester. Dampaknya adalah rapot yang diberikan kepada anak kelas awal di masing-masing tingkatan menjadi berbeda untuk semester 1 dan semester 2 karena ada mata pelajaran yang berbeda, proses pembelajaran berbeda serta format penilaian yang berbeda. Sebaiknya pemerintah betul-betul mematangkan konsep kurikulumnya sebelum launching di lapangan. Yang terjadi Permendikbud sebagai juklak dan juknis pelaksaan saja banyak mengalami perubahan, bahkan di tahun yang sama.
Kedua, kebingungan guru untuk menerapkan Kurikulum 2013 terutama ketika dihadapkan pada pendekatan saintifik serta penilaian otentik. Pendekatan saintifik dianggap memberikan beban tambahan kepada siswa dengan konsep 5 M (Mengamati, Menanya, Mengumpulkan Informasi, Mengasosiasi, dan Mengkomunikasikan). Setiap tahapannya merupakan pekerjaan tambahan untuk siswa (mungkin ini tahap ini yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan D di atas). Hal ini mungkin terjadi karena gurunya pun belum paham sepenuhnya tentang aplikasi pendekatan dan model pembelajaran yang diminta di Kurikulum 2013. Penilaian otentik dianggap sebagai beban guru. Bisa dibayangkan, guru di kelas harus mengajar minimal 30 orang siswa. Mungkin tidak terlalu masalah untuk guru SD yang berstatus sebagai guru kelas. Tetapi akan bermasalah untuk guru yang mengajar mata pelajaran dan biasanya secara pararel mengajar di beberapa kelas.
Melihat lembar kerja penilaian otentik, ada 3 intrumen penilaian yang harus dirancang oleh guru terkait penilaian sikap, pengetahuan dan keterampilan. Instrumen penilaian sikap meliputi observasi, penilaian diri, penilaian antar peserta didik dan membuat jurnal. Intrumen penilaian pengetahuan ada tes tertulis (pihan ganda dan uraian), tes lisan dan tes penugasan. Sementara instrumen penilaian keterampilan meliputi tes praktik, tes proyek/produk, dan fortofolio. Setiap instrumen yang dibuat, harus dibuat juga rubrik penilaiannya yang terdiri dari kriteria-kriteria yang ditentukan oleh guru. Oleh karena itu dapat dibayangkan, proses penilaian menjadi sangat rumit dan banyak. Kadang suka tersenyum simpul kalau membaca rapot kurikulum 2013 terutama deskripsi untuk masing-masing mata pelajaran. Mungkin lupa atau saking banyaknya yang harus ditulis, kadang deskripsi dikopi dan disalin, sehingga ada saja muncul pendeskripsian untuk mata pelajaran A tapi isinya adalah mata pelajaran B.
Nah, jika sudah begini, apakah perubahan kurikulum dapat menjadi sebuah perbaikan? Atau dianggap sebagai beban bahkan siksaan bagi penggunanya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H