Lihat ke Halaman Asli

Pengalaman Hidup dengan Jepang

Diperbarui: 17 Juni 2015   22:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PENGALAMAN HIDUP  DENGAN JEPANG.

Dan apa yang bisa dipetik dalam pikiran

Penulisan ini terdorong setelah membaca koran Kompas Selasa 30 September2014 tentang pandangan Aiko Kurasawa seorang Professor wanita Jepang yang mencoba mengangkat harkat seharusnya pandangan Indonesia terhadap Jepang. Saya bukan seorang ahli apalagi  jelas bukan untuk melawan pendapat seorang Professor;  tetapi apa pengalaman hidup dan kesan saya terhadap Jepang dan orang Jepang itulah yang saya sampaikan dalam tulisan ini. Sedikit juga suatu pertanyaan kapan bangsaku bisa maju.

Saya lahir pada tanggal  17 Oktober tahun 1936 di sebuah desa terpencil  yang sekarang dikenal dengan nama Desa Siponjot, Kecamtan Lintongnihuta. Kabupaten Humbang Hasaundutan, Provinsi Sumatra Utara. Tanggal dan tempat kelahiran saya ini perlu disampaikan karena ada hubungan langsungnya dengan penulisan ini. Ya, tahun 1942 ketika Jepang merebut negeri ini dari tangan penjajah, Belanda, saya baru berumur 6 tahun. Belum banyak yang saya ketahui apalagi mengerti. Yang pasti saya tau adalah bahwa sejak itu kehidupan di desa saya sangat dan sangat sulit. Nasi hanya dapat dimakan sekepal tangan anak kecil seperti saya, setelah terlebih dahulu dijejali dengan seonggok godokan ubi jalar. Ini dimakan hanya dengan secuil garam. Ya secuil garam karena garampun sulit diperoleh. Garam olahan rakyat di Barus dan dibawa ke daerah saya dengan kuda beban. Inipun tak boleh diketahui Jepang karena kalau sampai ketahuan akan disita untuk keperluan dapur prajurit mereka. Kenapa tidak makan nasi? Ya padi rakyat disita untuk kepentingan logistik perang Jepang. Di desa saya waktu itu ada lumbung padi Jepang. Saya yakin di setiap desa lain pun seperti itu, karena lumbung seperti ada hanya ada selama penjajahan Jepang. Sebelum dan setelah itu tak ada lagi. Lauk pauk bagaimana? Yang ada pada waktu itu hanya yang dikenal dengan istilah ikkan busuk, ya ikan asin yang sudah tidak karuan aroma dan bentuknya. O ya perlu disampaikan, desa saya sangat jauh dari laut dan berada di dataran tinggi Humbang yang uadranya sangat dingin dwaktu makam. Ikan danau Toba bagaimana? Ya hanya itulah yang kadang-kadang bisa diharapkan, karena kalau ketemu dengan sedadu Jepang juga di ambil paksa dari penjualnya, yang kalau melawan akan di pukul dengan popor senapan dan diancam dengan bayoyet disertai bentakan: bagero ne?  Ternak apa tidak ada? Tidak ada. Ayam, bebek, angsa,  babi, sapi dan kerbau semua diambil Jepang; hanya anjing tidak. . . .itu barangkali yang menyebabkan samapai sekarang orang Batak Toba banyak yang mau makan daging anjing.

Bagaimana dengan pakaian? Itupun sangat dan sangat susah. Sebahagian besar rakyat desa terpaksa mengenakan pakain yang terbuat dari “benang” kulit kayu. Namanya benang kulit kayu, ya bentuknya macam-macam. Ada yang benangnya agak halus, agak putih, dan menghasilkan baju yang sedikit agak baik, tetapi tidak  jarang yang berasal dari kulit kayu kasarpun terpaksa dipakai. Warnanya agak kecoklatan. Oleh rakyat dinamakan takki; penulis tak tau asal kata ini dari mana. Kalau tidak sedang bekerja di ladang termasuk para remaja, semua memintal benang yang oleh kaum perempuan dikait menjadi pakaian. Ya dikait, jadi ada lubang-lobang halus. Di lobang-lobang ini berkembang  biak banyak kutu. Apa tidak di cuci? Ya di cuci dengan cara tersendiri, karena tak ada sabun, yaitu  dengan digodok dalam air panas, sekaligus untuk membunuh kutu dan telornya. Hati-hati, jangan dijemur  di terik matahari, kalau demikian tak bisa dipakai lagi karena akan menjadi kasar dan kaku. Harus di angin-angginkan ditempat teduh. Masalah lain: kudis merajalela, pertama karena kurang gizi, kedua karena tak ada bahan sanitasi dan ketiga dan terutama karena tak ada obat-obatan. Saya teringat akan saudara saya yang terserang kudis terpaksa hanya diobati/ diolesi  dengan jerangan belerang dicampur dengan banyak bawang. Perih nian.

Setelah saya berumur hampir 8 tahun saya baru disekolahkan oleh orangtua saya. Bagaimana dengan alat tulis menulis? Ini yang sangat parah. Kakak-kakak saya yang terlebih dahulu sekolah katanya mereka memakai batu-tulis dengan  gerep-nya. Guru kami mengajar pakai papan tulis butut dengan  kapur tulis yang terbuat dari sejenis tanah liat yang sering tulisannya kabur. Kami menulis diatas sejenis daun tebal yang di desa saya dinamakan sibatukon, alat penulisnya terbuat dari lidi ijuk yang di haluskan dan sedikit ditajamkan. Sebagai sarana hitung setiap murid diwajibkan membawa minimal 50 batang lidi dengan panjang kurang lebih 10 cm. Sempat mengalami adanya kertas merang yang permukaannya sebelah halus dan sebelah lagi kasar. Permukaan halus itulah yang dapat ditulisi dengan mata-pena tulis dan tinta bikinan rakyat.

Satu lagi pengalaman yang tidak bisa saya lupakan. Sebelum saya sekolah kakak perempuan saya kawin dengan suaminya dari lain kecamatan yang buat saya selaku anak-kecil cukup jauh untuk di tempuh dengan berjalan kaki, tetapi harus dilakukan karena tak ada (tak boleh ada) cara dan sarana  lain. Sempat ada sepeda yang di daerah saya waktu itu disebut kereta angin karena ban dalamnya diisi pakai pompa  dengan angin. Lama-lama ban dalam dan ban luar ini tak ada lagi dipasaran. Sempat digunakan yang namanya ban mate (mati) yaitu ban yang terbuat dari lingkaran karet utuh tetapi agak agak ngulet dan kaku. Sering lepas sendiri dari lingkarnya, akhirnya tak pernah dipakai lagi.  Jarak perjalanan ke kampung kakak saya sebenarnya hanya kurang lebih hanya 13 kilometer tetapi harus ditempuh lebih dari 20 km. Kami harus melewati jalan setapak yang jauh melingkar sebab tidak boleh lewat jalan raya.  Jepang akan menangkap perempuan-perempuan muda yang melewat di jalan raya yang melintas dari kota kecamatan apalagi kalau perempuan itu sedikit agak cantik. Selain itu tetap membekas di ingatan saya, waktu Jepang datang ke kampung saya untuk mengambil ternak yang masih sisa. Mereka bertindak main pukul dengan popor sejatanya, mengancam dengan bayonetnya, menendang dan mengijak dengan sepatu botnya, orang yang ketahuan menyembunyikan ternaknya.. Jepang bikin  susah semua orang termasuk anak kecil. Pandangan/kesan saya terhadap orang Jepang: Jepang  orang sangat kejam. Untung Jepang tidak terlalu lama berkuasa di Indonesia.

Tahun 1973 saya selaku perwira TNI-AD mendapat kesempatan tugas belajar mengenai perlindungan terhadap penggunaan senata nuklir, biologi dan kimia (NUBIKA) di Jerman yang di dahului dengan kursus bahasa Jerman. Tempat belajar bahasa Jerman ini adalah pada Bundes Sprachen Amt di Huerth Hermulhaim dekat kota Koeln. Semua siswa dari luar negeri Jerman yang hendak belajar di lembaga pendidikan tentara Jerman, harus menempuh pendidikan bahasa dulu di tempat ini. Seorang perwira siswa yang akan mengikuti pendidikan di Fuehrung Akademi (semacam SESKOAD) berasal dari Jepang. Kalu tak salah ingat Tanaka nama kawan ini, kebetulan satu kelas dengan saya di lembaga bahasa itu. Kami berkenalan dan akhirnya berkawan.  Beliau ramah dan baik. Suatu saat pada masa liburan musim panas dia mengajak saya untuk berkunjung ke Aachen di negeri Belanda. Kota ini saya tau terkenal selain sebagai kota pendidikan tinggi tentang teknik, juga merupakan kota tua yang terpelihara dengan sangat baik. Hal itulah yang mendorong saya untuk mengikuti ajakan kawan Tanaka tersebut. Selama perjalanan pergi dan pulangnya serta selama di Aachen beliau sangat bersahat dan ramah. Kesan saya: Orang Jepang ternyata juga orang baik.

Tahun 1990an, setelah pensiun, karena pekerjaan mengharuskan, saya sering belanja alat-alat teknik di pasar Kenari dekat Salemba. Karena seringnya saya belanja di tempat itu  akhirnya saya berkenalan dan berlangganan dengan seorang tauke yang baik. Suatu saat beliau bercerita kalau orang-orang pemerintah belanja, kwitansinya harus dua macam satu yang resminya satu lagi dengan harga yang sudah di mark up bahkan ada yang sampai berlipat kali.  Kalau orang asia lainnya rata-rata juga demikian tetapi hanya beberapa porsen saja  diatas harga yang sebenarnya. Keculai, nah ini kecuali katanya, orang Jepang. Nah kalau orang Jepang tidah pernak minta kwitansi dobbel. Kesan saya orang Jepang orang baik dan jujur. Dan saya berfikir makanya Jepang bisa cepat bangkit dari keterpurukan setelah hancur lebur akibat perang  pertengahan tahun 40-an.

Pikiranku: Oh bangsaku kapan kau bisa maju kalau pemimpin-pemimpinmu banyak yang korrup dan tidak mau jujur mengakui dan menerima  kekalahannya? Tirulah bangsa di utara itu. Janganlah kelihatannya dan pengakuannya religious tapi hidupnya penuh kebusukan.

Horas-ma hita.  oleh HMU Silaban/ hmusilaban2011@gmail.com




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline