JAKARTA - Setelah pertarungan selama 6 tahun, akhirnya Pemerintah RepubIik Indonesia yang dalam hal ini diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasona H. Laoly, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Cahyo R. Muzhardan, sekali lagi memenangkan perkara gugatan "Churchill Mining Plc dan Planet Mining Pty Ltd. ("Para Penggugat") melawan Republik Indonesia" di forum arbitrase International Centre for Settlement of Investment Disputes ("ICSID") di Washington D.C. Amerika Serikat pada tanggal 18 Maret 2019. Dalam perkara No. ARB/12/14 and ARB/12/40, Komite ICSID yang terdiri dari Judge Dominique Hascher, Professor Karl-Heinz Bckstiegel dan Professor Jean Kalicki("Komite ICSID") mengeluarkan putusan yang memenangkan Republik Indonesia dengan menolak semua permohonan annulment of the award yang diajukan oleh Para Penggugat.
"Kemenangan yang diperoleh Pemerintah Indonesia dalam forum ICSID ini bersifat final, berkekuatan hukum tetap, sehingga tidak ada lagi upaya hukum lain yang dapat dilakukan oleh Para Penggugat," Kata Menkumham Yasonna, saat Press Conference, di Jl. HR. Rasuna said, kuningan, Jakarta Selatan. Senin (25/3/19).
Yasonna Juga menjelaskan bahwa, Kasus ini bermula saat Para Penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UKdan RI-Australia.Pelanggaran dimaksud adalah melakukan ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment) melalui pencabutan Kuasa Pertambangan/ Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi).anak perusahaan Para Penggugat (empat perusahaan Grup Ridlatama) seluas lebih kurang 350 Km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010.
"Para Penggugat mengklaim bahwa pelanggaran tersebut telah menimbulkan kerugian terhadap investasinya di Indonesia, dan mengajukan gugatan sebesar 1.3 Milyar USD (lebih kurang Rp 18 Triliun)," imbuhnya.
Terhadap gugatan tersebut, pada tanggal 6 Desember 2016, Tribunal yang terdiri dari Professor Gabrielle Kaufmann-Kohler, Michael Hwang SC, dan Professor Albert Jan van den Berg("Tribunal ICSID") menolak semua klaim yang diajukan oleh Para Penggugat terhadap Republik Indonesia. Tribunal ICSID selanjutnya juga mengabulkan klaim Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar 9,4 Juta USD.
Dalam jalannya persidangan yang kemudian ditegaskan dalam putusannya, Tribunal ICSID menerima argumen dan bukti-bukti, termasuk keterangan ahli forensik yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia dapat membuktikan adanya pemalsuan, yang kemungkinan terbesar menggunakan mesinautopen.
"Terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general surveydan eksplorasi) yang seolah-olah merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh pelbagai lembaga pemerintahan di Indonesia, baik pusat maupun daerah," ujar Yasonna.
Tribunal ICSID kata Dia, sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa "investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional". Tribunal ICSID juga menemukan bahwa "Para Penggugat tidak melakukan kewajibannya untuk memeriksa mitra kerja lokalnya serta mengawasi dengan baik proses perizinannya (lack of diligence)". Sehingga berdasarkan di antaranya, fakta dan pertimbangan sebagaimana telah dikemukakan, Tribunal ICSID menyatakan klaim dari Para Penggugat ditolak.
Pada tanggal 31 Maret 2017, Para Penggugat mengajukan permohonan pembatalan putusan (annulment of the award) berdasarkan Pasal 52 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States (Konvensi ICSID). Argumentasi yang diajukan Para Penggugat adalah sebagai berikut:
1. Bahwa Tribunal ICSID dianggap telah melangkahi kewenangan (ultra vires);
2. Bahwa telah terjadi suatu penyimpangan yang serius dari aturan prosedur yang mendasar;