Lihat ke Halaman Asli

HUMAS BAPAS JEMBER

ASN BAPAS JEMBER

90 Anak Berkonflik dengan Hukum di Karasidenan Besuki

Diperbarui: 20 September 2024   16:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok humas bapas jember

Pada 20 September 2024 Balai Pemasyarakatan (Bapas) Kelas II Jember mencatat terdapat 90 (sembilan puluh) Anak yang terlapor berkonflik dengan hukum di wilayah Karesidenan Besuki. Tindak pidana yang dilakukan Anak ada berbagai macam, didominasi oleh tindak pidana pencurian, kekerasan, farmasi/kesehatan hingga perlindungan anak. Bahkan beberapa dari mereka ada yang melakukan aksi kriminal lebih dari satu kali.

Donald Yulianto selaku Pembimbing Kemasyarakatan Ahli Muda di Bapas Jember menjelaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang belum berusia 18 tahun di Karesidenan Besuki didominasi oleh latar belakang ekonomi dan lemahnya pengawasan dari orang tua.

"Sejak Januari hingga Agustus 2024, tercatat ada 90 Anak yang berkonflik dengan hukum dan telah dilakukan pendampingan oleh Bapas Jember dan faktor utamanya adalah karena faktor ekonomi dan lemahnya pengawasan orang tua terhadap anak", ungkapnya.
Donald menjelaskan bahwa dalam perkara pidana Anak, proses dan perlakuannya akan berbeda dengan perkara pidana orang Dewasa. Dalam penanganan perkara pidana Anak, mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA), yang mana dalam UU tersebut mengedepankan adanya upaya Restorative Justice.  

"Menurut UU SPPA, bahwa pemidanaan penjara terhadap anak merupakan upaya/pilihan terakhir, sehingga masih ada pilihan lain dalam upaya penyelesaian perkara ataupun memberikan sanksi terhadap Anak , seperti Diversi, Pidana dengan Syarat, Pidana dalam Lembaga, pelatihan kerja, dll", tuturnya.

ABH didominasi oleh anak yang berlatar belakang putus sekolah saat duduk di bangku SMP hingga SMA/SMK. Selain karena kurangnya pengawasan dari orang tua, anak melakukan tindak pidana karena pengaruh dari pertemanan hingga sosial media. "Terkadang para pelaku anak yang putus sekolah, mengaku melakukan tindak pidana karena adanya ajakan dari teman, ikut-ikutan hingga adanya rasa penasaran dari anak atas sesuatu hal".

Donald menambahkan bahwa dalam penanganan perkara anak, Aparat Penegak Hukum (APH) wajib saling melakukan koordinasi demi terwujudnya kepentingan terbaik bagi anak, baik anak sebagai pelaku, sebagai korban maupun sebagai saksi. 

"Jika bicara terkait penanganan anak sebagai pelaku tindak pidana, koordinasi antar APH saja tentunya tidak cukup, perlu adanya peran aktif dari pemerintah daerah dan kepedulian dari pihak swasta sebagai upaya mewujudkan generasi penerus bangsa yang lebih baik kedepannya". pungkas Donald

-Mukti Satrio-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline