Dewasa ini pengelompokkan guru di Indonesia semakin beragam. Kita semua mafhum bahwa segmentasi guru di Indonesia pada dasarnya hanya ada dua, yaitu guru ASN dan honorer. Dimana keduanya jelas dan mudah dikenali spesifikasi perbedaannya, yaitu pada status golongan dan gaji. Nah, menarik untuk dibahas dan dipertanyakan eksistensinya bahwa sekarang ini muncul istilah Guru Kreator Konten (GKK). GKK tidak dapat ditelisik perbedaannya sebagaiman guru ASN dan honorer. GKK menjadi kasta pada dunia keguruan sebagai bentuk role model dan komoditas masyarakat informasi (netizen/pengguna sosial media). Hingga detik ini, definisi GKK sebagai sebuah realitas dan identitas baru dalam dunia pendidikan belum ada kejelasan. Namun demikian, Kemendikbud sebagai pemangku jabatan telah secara masif memanfaatkan GKK ini dalam promosi kebijakan dan programnya.
Dalam penelusuran dan pembacaan secara umum, diketahui bahwa GKK merupakan seorang/kelompok guru yang aktif membuat konten di lapak-lapak jagat digital (media sosial). Pertanyaan mendasarnya, kriteria konten seperti apa yang layak dan masuk ketegori GKK? Hal tersebut juga belum ada jawaban yang spesifik. Fakta yang pasti adalah keberadaan GKK ini secara masif dimanfaatkan oleh Kemendikbud guna mempromosikan, mem-branding, sekaligus mem-framing "Kurikulum Merdeka" beserta turunannya. Hal tersebut nampak terlihat ketika momentum peringatan hari guru nasional pada masa menteri pendidikan Nadiem Makarim. GKK mendapatkan undangan jalur khusus guna menghadiri setiap perhelatan megah memperingati hari guru yang diselenggarakan Kemendikbud. Pada titik ini identitas baru ini mendapatkan perhatian kemendikbud dan menanjak branding image-nya.
Peluang Diskriminatif dan Belenggu Kapitalisme
Kemunculan identitas Guru Kreator Konten (GKK) akan menjadi peluang bertambahnya rentetan problematik kasta keguruan di Indonesia. Karena sebelum hadirnya GKK ini, lipatan permasalahan kasta guru di Indonesia sudah cukup kronik. Jangan sampai GKK ini menambah lipatan masalah yang tak pernah terlihat ujung penyelesainnya. Men-justifikasi bahwa GKK akan membuka pintu-pintu diskriminatif nampaknya tidak berlebihan. Jikalau GKK ini begitu istimewanya, lantas bagaimana guru yang tidak senang dengan budaya konten digital, tidak suka rekam video eksis, goyang lagu, dan sejenisnya? Apakah guru-guru tersebut harus ikut membuat konten sebelum akhirnya diundang Kemendikbud? Lebeling yang jelas dapat ditangkap bahwa guru yang tidak "ngonten" adalah guru yang tidak transformatif, kurang up to date, tidak mengikuti perkembangan zaman. Tidak sejalan dengan semangat pendidikan Ki Hajar Dewantara tentang didiklah anak sesuai kodrat zaman. Fenomena GKK justru terkesan eksklusif dan jauh dari slogan besar kurikulum merdeka yaitu inklusifitas dan fleksibilitas. Para GKK seolah mendapat ruang khusus dalam dunia keguruan hanya bersebab mereka membuat "konten".
Kalau kita jujur mencermati akun-akun media sosial GKK satu persatu, akan ditemukan produksi konten mereka beragam dan campur aduk seperti gado-gado. Atributnya kerap tak konsisten dan tidak terkait. Variasinya sangat kompleks, banyak konten berupa curhatan nasib guru, vidoe aktivitas murid dan sekolah, adaptasi konten viral, self branding. Poinnya mengikuti yang sedang trending dan viral.Lalu lebih rancunya lagi, goal setting dari konten GKK ini mengarah pada endorsment, iklan, dan afiliasi. Padahal, jelas dan meyakinkan setiap postingan konten GKK melibatkan murid sebagai bintang , ruang kelas, dan atribut sekolah lainnya. Jika sudah begini dapat dipastikan bahwa para GKK akhirnya jatuh pada belenggu kapitalisme digital. Murid menjadi bintang iklan tanpa dibayar, ruang kelas dan sekolah menjadi studio kreatif. Akhirnya hal tersebut, mengkrucut pada self branding dan popularitas serta keuntungan sepihak GKK.
Jadi GKK Memang Salah?
Mungkin timbul pertanyaan, "jadi guru kreator konten, salah ya?" Kan menyelaraskan perkembangan zaman. Fenomena GKK tidak dapat dijawab dengan benar atau salah. Melainkan fenomena ini perlu dicermati bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang semata-mata harus dibranding dan dilabeli identitas khusus. Karena nyatanya dengan semakin menjamurnya GKK, pola konsumtif pada pendidikan bukan pada substansi kurikulum, program atau kebijakan. Pola-pola manipulatif, citra, setting kondisi dan apresiasi semu pastilah termuat dalam konten para GKK. Sehingga dalam beberapa kolom komentar media sosial, mempertanyakan bagaimana kualitas murid para GKK? Apa keadaan sebenarnya dari postingan konten GKK senyata "itu" seperti ditampilkan dalam video? Apakah para GKK tidak mengatrol nilai? Lalu apa perbedaan paling signifikan dari siswa yang diajar oleh GKK dengan murid yang diajar oleh non-GKK? Apabila jawaban atas pertanyaan tersebut terdapat perbedaan antara realitas dengan konten, maka hal tersebut benar-benar buruk bagi pendidikan di sebuah bangsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H