Lihat ke Halaman Asli

Rio Estetika

Dengan menulis maka aku Ada

Kesalahan Pengasuhan (1): Membiasakan Tidak Mengambil Tanggung Jawab

Diperbarui: 11 Mei 2024   15:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi/dok.pribadi

Masih segar dalam ingatan kita, ketika seorang anak kecil sedang senangnya bermain berlarian. Tiba-tiba ia terjatuh dan menangis, lantas ayah-ibu, kakek-nenek atau pengasuhnya akan menolong anak sembari memukul lantai atau benda yang membuat jatuh si anak. "Sudah-sudah, kodoknya sudah lari" atau "Nakal ya, lantai licin bikin jatuh". Perkataan tersebut sepintas tampak lucu dan bisa menjadi sarana penghiburan untuk anak agar menyudahi tangisnya. Namun, perlu kita pahami bahwa dalam perkataan tersebut menyiratkan bahwa secara tak sadar para orang tuan sedang mengajarkan anak untuk "TIDAK BERTANGGUNG JAWAB" atas kejadian dan peristiwa yang menimpanya. Dalam perkataan tersebut ada kesan mencari kambing hitam dan menyalahkan pihak lain dan sekaligus menampakkan perilaku kebohongan. Nah, satu peristiwa kecil tersebut ternyata tanpa kita sadari telah banyak menanamkan nilai yang salah. Maka, imbas dari kesalahan asuh tersebut menimbulkan generasi era sekarag yang kita temui sebagai sosok generasi yang sukar mengakui kesalahan dan kerap mencari kambing hitam.

Padahal, jika untuk sekedar penghiburan dan meredakan tangis anak, ada ucapan yang lebih baik untuk dikatakan ketika anak kecil terjatuh seperti, "Mari nak ayo berdiri! Ayo kita obati bagian yang sakit sambil bermain dokter-dokteran. Siapa dokternya? Bunda atau kamu? Lalu setelah tenang dan mereda tangisnya, ajak anak mengevaluasi peristiwa yang baru dialaminya, "Adek, supaya adek tidak jatuh seperti tadi maka ketika jalan harus apa? Kemungkinan anak akan menjawab, " Adek jalan pelan-pelan" atau "Aku akan liat depan saat berjalan". Apapun jawaban anak, biarkan dia mengeksplorasi sendiri dengan memulai dari kata saya atau menyebut namanya sendiri. Sehingga dengan demikian anak terbiasa untuk mengambil tanggung jawab atas perilakunya sendiri. Berikan ruang dan penghargaan untuk setiap jawaban sejalan dengan umurnya. Hal ini juga berlaku juga pada ayah dan bunda, apakah ketika ditegur oleh pasangan langsung bersedia mengakui dan mendengarkan atau justru mencari alasan?

Kasus di atas mungkin terlihat sepele, namun sebenarnya hal tersebut adalah hal mendasar dalam prosesi pengasuhan anak. Perlu diingat bahwa anak usia kecil, mereka adalah peniru ulung dan segala bentuk pengalaman masa kecinya akan menjadi kontruksi alam bawah sadarnya. Dan kemudian hari, alam bawah sadar akan memproduksi perilaku-perilaku di masa akan datang. Jika pengasuhan di masa kecil penuh dengan nilai positif maka tentunya hal positif tersebutlah akan membimbing perilakunya. Setiap anak lahir dengan kondisi fitrah, yaitu suci dan memiliki potensi baik. Jadi anak, bukan seperti ibarat kertas kosong tanpa noda. Melainkan ia juga dibekali dengan potensi-potensi kebaikan. Potensi tersebut, yaitu potensi iman, bertahan hidup, hasrat belajar hingga mahir, kasih sayang, interaksi, seksualitas, dan tanggung jawab.  Sehingga pengasuhan menjadi proses untuk mengarahkan potensi-potensi tersebut tidak rusak, lebih jauh lagi pengasuhan berupaya agar potensi itu semakin baik seiring berjalannya kehidupan anak hingga ia dewasa. Sehingga dalam hal ini, model pengasuhan tidak boleh asal dan mendidik tidak bisa mendadak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline