Hingga kini umat beragama masih didera dengan beragam persoalan kehidupan yang berpengaruh tidak hanya pada privasi melainkan juga kepentingan masyarakat universal. Kemiskinan, korupsi, perundungan stunting, bencana, kekerasan dan lain sebagainya. Sejumlah problema tersebut tentunya juga menjadi persoalan kemanusiaan yang tidak hanya harus diselesaikan oleh agama tertentu. Persoalan-persoalan tersebut merupakan problem universal, di mana setiap lapisan agama dan lintas budaya mengalami dan merasakan dampaknya. Untuk mengurainya, diperlukan kerja sama antar orang-orang yang berbeda, baik suku maupun agama. Diperlukan juga literasi yang baik tentang perbedaan agama dan kebudayaan, agar mampu menjembatani kesepahaman bersama untuk mengurai problem universal baik dalam ekonomi, pendidikan, sosial, maupun politik.
Literasi keagamaan lintas budaya (LKLB) patut dijadikan sebuah kerangka kerja untuk mencapai kesepahaman bersama dalam menyelesaikan problem-problem universal, tanpa harus mengorbankan prinsip keyakinan agama pribadi. Literasi tentang keagamaan lintas kebudayaan perlu semakin digelorakan, mengingat begitu pentingnya sebuah pemahaman utuh terhadap realitas perbedaan. Sebab, pemahaman yang sempit tentang perbedaan, kerap melahirkan ujaran kebencian pada agama maupun budaya sehingga memasung toleransi. Akhirnya, upaya-upaya mengurai problem universal hanya akan menjadi sebuah wacana tanpa aksi.
Belajar dan bersikap bijak menghadapi sebuah perbedaan memerlukan pengalaman langsung dan dibarengi dengan perenungan mendalam. Saya menemukan arti penting perdamaian dan titik temu toleransi dalam menyelesaikan problem universal di Desa Baran Mundu. Desa Baran Mundu merupakan desa yang terletak di Kecamatan Eromoko, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah. Masyarakat di desa ini merupakan etnis suku Jawa yang memiliki penganut agama Islam dan Kristen mayoritas. Menarik untuk dikisahkan, bahwa penduduk desa ini tetap hidup berdampingan dalam damai kendati terdapat perbedaan keyakinan. Kristen yang mayoritas tidak lantas merasa superior dengan propaganda, begitupun Islam yang minoritas tidak merasa terusik eksistensinya atau merasa terkerdilkan.
Melalui perbincangan saya dengan Pakdhe Mardi, salah satu pengurus Masjid Al-Barokah di Desa Baran Mundu, saya menemukan hal menarik bahwa masing-masing individu di desa ini beragama dengan prinsip "sak madya" (baca: sak madyo), artinya "yang sedang-sedang saja". Di mana urusan agama yang berkaitan dengan ritual ibadah adalah ranah privasi dan dalam pelaksanaannya tidak dilebih-lebihkan. Pakdhe Mardi pernah bertutur, "wong kene iki yen masalah ngibadah dadi urusane dewe-dewe,gur sak madyo ora podho fanatik. Ananging yen urusan kanggo hajat bareng-bereng yo disonggo bareng-bareng" (Orang di sini kalau masalah ibadah menjadi urusan masing-masing, sedang-sedang saja tidak fanatik. Tetapi kalau urusan untuk hajat bersama, ditanggung bersama). Luar biasa! kultur dan budaya di Desa Baran Mundu telah mendidik masyarakatnya memiliki literasi keagamaan yang cukup baik. Hal tersebut saya saksikan sendiri saat interaksi antarwarga dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai pendatang, saya mencoba menempatkan diri sejalan alur budaya setempat. Kerukunan terjalin dengan adanya sikap saling "aruh dan weruh". Misalnya saja, jika ada salah satu tetangga meninggal dunia, maka penduduk Baran Mundu akan saling tahu dan berkabar pada yang lainnya. Jika yang meninggal adalah seorang muslim, maka penganut Kristen turut berbela sungkawa dengan mengunjungi keluarga yang ditinggalkannya. Kemudian, bapak-bapak yang Kristen turut membantu mempersiapkan tempat pemakaman, turut menyiapkan pemandian untuk memandikan jenazah. Sementara perawatan jenazah secara khusus tetap menjadi hak dan tugas bagi pihak yang beragama Islam. Pola hubungan tersebut juga berlaku kebalikannya. Jika yang meninggal adalah seorang Kristen, maka yang beragama Islam pun tidak sekedar berbela sungkawa melainkan turut mempersiapkan segala rupa-rupa yang dibutuhkan untuk perawatan jenazah dan pemakan. Sedangkan, eksekusi perawatan menjadi hak dan tanggung jawab yang beragama Kristen. Karena merekalah yang paling paham dengan tata aturan agamanya masing-masing.
Corak kerukunan dan guyub rukun masyarakat Baran Mundu tidak terhenti sampai pada realitas di atas. Masih segar dalam ingatan tentang peristiwa pandemi Covid-19. Dimana dampak pandemi tersebut melumpuhkan banyak sektor kehidupan, salah satunya pendidikan. Pembelajaran daring tidak efektif bagi anak-anak Baran Mundu, kesulitan akses sinyal menjadi kendala utama. Akibatnya, pembelajaran dari sekolah tidak ada makna dan tidak membekas pada siswa. Kala itu anak-anak menjadi lebih malas dan terguncang pertumbuhan psikologisnya. Problem tersebut membuat para orang tua utamanya ibu-ibu di Baran Mundu harus berpikir keras menjaga pola asuh atas anak-anak mereka. Akhirnya, gerakan ibu-ibu PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) menginisiasi sebuah kelompok belajar di Balai Desa. Mereka mengumpulkan anak-anak di Balai Desa Baran Mundu pada setiap hari Rabu, Jumat, dan Minggu untuk belajar bersama. Para ibu saling bahu-membahu memberikan pengajaran membaca, menulis, membuat kerajinan tangan, hingga memasak. Ibu Sumartini, ketua PKK Baran Mundu mengatakan, "Tinimbang bocah-bocah ki kakehan dolan ora manfaat, luwih becik diajak gawe keterampilan lan sinau ning Mbale Ndeso, ora ketang seminggu ping telu" (Daripada anak-anak itu banyak bermain hal yang tidak bermanfaat, lebih baik diajak membuat kerajinan tangan dan belajar di Balai Desa, paling tidak seminggu tiga kali). Inisiasi tersebut disambut baik oleh semua orang tua baik Islam maupun Kristen, mereka saling berbagi keterampilan kepada anak-anak.
Domain pembelajaran agama tidak dicampuradukkan, mereka tetap menyerahkan kepada keluarga masing-masing. Anak-anak muslim tetap belajar agama di masjid ketika ada kelas Taman Pendidikan Al Quran (TPA). Begitupun anak-anak Kristen juga mendalami agamanya bersama Romo yang seminggu sekali datang ke Baran Mundu, selain mereka juga belajar bersama dari orang tua mereka. Dengan demikian, efek keterpurukan pendidikan karena pandemi tidak begitu memberatkan masyarakat Baran Mundu kala itu. Mereka berhasil melewati masa pandemi tanpa harus mengorbankan keyakinan masing-masing. Tidak ada bantuan sosial berselubung propaganda Kristesnisasi maupun Islamisasi di sana. Kepentingan bersama (universal) untuk tetap bisa bertahan dalam situasi pandemi menjadi salah satu alasan kuat bagi mereka untuk rukun dan bahu membahu mengurai problem yang ada. Kepentingan umum lebih diutamakan dari pada superioritas agama masing-masing.
Dalam LKLB, keyakinan (aqidah) adalah prinsip dan tidak boleh dipaksakan kepada orang lain melalui metode apapun. Kita diajak untuk memiliki cara pikir yang memaklumi perbedaan keimanan dan peribadatan orang lain yang berbeda agama, tanpa berupaya mencampur aduknya. Lalu, bekerja sama untuk mengurai tantangan bersama. Pada akhirnya, kultur budaya dan pola interaksi masyarakat Baran Mundu menunjukkan pada saya soal literasi keberagamaan: menerima perbedaan, menundukkan ego superioritas agama, serta bekerja sama untuk kemaslahatan. Toleransi agama akan subur jika domain iman dan ibadah ritual saling dihormati. Kaidah "LOVE" yaitu Listen (mendengar), Observe (mengamati), Verify (memverifikasi), dan Engange (terlibat/berpartisipasi) telah secara apik mewarnai kehidupan masyarakat Baran Mundu.
Author: Rio Estetika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H