Rasanya tidak perlu menutupi lagi, bahwa telah ada bagian yang hilang dari pendidikan Indonesia. Budaya dan iklim sekolah telah tercabut dari jiwa-raga pendidikan Indonesia. Keduanya, terasing dalam orientasi kajian dan luput menjadi atribut penentu. Upaya pengkondisian peserta didik selalu menjadi pemikiran primer. Sehingga, warna-warni utak dan atik beragam strategi, model, metode, serta teknik pembelajaran selalu menjadi sajian primadona. Seolah problem utamanya adalah persoalan tentang cara dan metode. Perlu dipahami bahwa, cara dan metode yang sama tidak dapat berjalan pada situasi dan kondisi yang berbeda. Sekolah, guru, yayasan, lingkungan, dan keluarga juga perlu dipahami sebagai entisitas yang berbeda. Impian merealisasikan bidang keilmuan yang diperoleh dari tempat pelatihan senantiasa terbentur dengan iklim dan budaya sekolah.
Budaya sekolah memiliki korelasi positif dengan prestasi belajar. Michael Fullan, mengatakan bahwa budaya sekolah yang kuat dan inklusif adalah kunci dalam meningkatkan pembelajaran siswa dan mencapai hasil yang berkelanjutan. Budaya dan iklim sekolah juga mempengaruhi kinerja guru, sebagaimana pendapat Wheelock bahwa para guru berupaya atau bekerja membangun budaya sekolah menghasilkan pandangan-pandangan yang memiliki standar tinggi dari pembuat kebijakan bermanfaat untuk pengembangan proses yang lebih mendalam mengenai peningkatan cara mengajarnya. Dari sini, sesungguhnya pemangku kebijakan pendidikan perlu melakukan refleksi. Sejauh mana budaya dan iklim sekolah di masing-masing tempat bekerja? Apakah belajar itu hanya fokus untuk peserta didik? Apakah kepala sekolah dan guru pernah bertanya, sudakah semua menjadi pembelajar?
Misalnya, menjamurnya jargon-jargon literasi semenjak Ujian Nasional dihilangkan dan berganti AKM (Asesmen Kompetensi Minimum) dengan fokus literasi, numerasi, dan karakter. Hal tersebut sontak memantik jajaran kependidikan dari hulu hingga hilir mengglorifikasi pentingnya literasi. Peserta didik dipacu untuk gemar membaca, menulis, dan berlogika. Memangnya guru-guru sudah membaca buku apa saja? Berapa banyak bukunya di rumah, apakah tidak lebih banyak dari pakaiannya? Lalu, kepala sekolah dan jajarannya apakah sudah berupaya untuk membangun perpustakaan nyaman dengan koleksi literatur yang aktual?
Budaya dan iklim sekolah dimulai dari jawaban atas pertanyaan di atas. Apabila, pada level dasar saja sulit terpenuhi, maka harapan pada hasil maksimal hanyalah kalkulasi spekulatif. Mutu yang diharapkan jauh dari harapan karena budaya sekolah belum terbentuk dalam setiap unit. Segalanya selalu dibebankan , difokuskan, diprioritaskan kepada peserta didik. Praktik ganti-ganti kurikulum, strategi dalam setiap kebijakan justru mengkonfirmasi bahwa bangsa ini gagap dalam mengelola problem-problem dasar pendidikan. Seolah problem utamanya adalah tentang cara. Padahal, nyatanya kita belum memiliki ruang untuk mengimplementasikannya.Selama ini sekolah sebagian besar menerapkan aspek apa, mengapa, bagaimana dari beragam materi, tugas-tugas, dan praktik yang semua itu diramu dalam bentuk pembelajaran. Kita enggan untuk mempertanyakan, semua itu atas dasar kebutuhan atau keinginan? Kehendak kurikulum, guru, atau orang tua? Atau jangan-jangan siswa datang ke sekolah selama ini hanya sebagai aktivitas kesehariannya? Maka tidak mengherankan, jika peserta didik fasih pada hal-hal yang bersifat hafalan. Karena basis geraknya berupa perintah, bukan atas dasar keinginan. Padahal, keinginan adalah upaya internal dari seseorang untuk bergerak dan melangkah. Hal ini merupakan sesuatu fundamental yang hingga kini justru semakin terpinggirkan akibat dampak orientasi pencapaian nilai, kelulusan, prestasi, dan akreditasi.
Keinginan dan kebutuhan untuk belajar harus diposisikan sebagai pondasi perwujudan budaya dan iklim sekolah. Jika unsur kebutuhan dan keinginan peserta didik tidak dilibatkan secara penuh, proses pembelajaran akan terus berkutat pada standarisasi. Bahwa harus ikut ini, ikut itu dan sebagainya. Pendidikan Indonesia terlampau silau melihat kesuksesan pendidikan negera lain. Selalu bangga dengan hasil pendidikan Jepang, Finlandia, Amerika, dan lainnya. Negara-negera tersebut menjadi kiblat, diadopsi berbagai aspek kurikulumnya, cara mengajarnya lalu dikombinasikan. Fatalnya aspek mendasar tidak pernah dikaji, yaitu bahan dasar kesuksesan pendidikan negara tersebut apa? Jajaran pendidikan Indonesia selalu fokus melihat barang jadinya. Modal apa yang dimiliki Indonesia untuk mewujudkan pendidikan seperti negara-negara tersebut? Hal ini perlu dipikirkan.