Lihat ke Halaman Asli

Rio Estetika

Dengan menulis maka aku Ada

Merawat Tradisi Intelektual, Mendamaikan Kemajemukan

Diperbarui: 20 Oktober 2019   11:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: unida.gontor.ac.id

Sejarah itu hidup seperti halnya pohon. Ia akan tumbuh kuat menjulang manakala ada sinergi yang kokoh antara akar hingga pucuknya yang salingbahu-membahu menjaga kelangasungan srtuktur pohon. 

Pohon akan tegak dengan akar-akar yang menghujam kuat ke tanah bumi. Demikian hal nya dengan tradisi intelektual akan kuat dalam sebuah bangsa jika akar kesejerahan intelektual yang dirawat dengan benar. 

Indonesia lahir juga atas pikiran-pikiran kuat para pendirinya, yang mendayagunakan intelegensi dan intuisi nalarnya memikirkan sebuah konsep negara yang mampu mengayomi kemajemukan. Miris di hati sakit dinalar, kini negeri ini menghadapi badai ujian yang amat besar namun halus. 

Yaitu diskoneksi akar sejarah intektual yang semakin nyata. Gagasan dan ide besar tokoh-tokoh masa lalu yang menjadi pondasi berdirinya negeri ini seolah semakin dilupakan. Kebanyakan dari kita sangat gandrung dengan pemikir-pemikir barat dan bagian timur tengah. 

Semisal, Aristoteles, Plato, Ibnu Rushd, Muhammad Abduh. Tidak masalah kita menggandrungi pemikir-pemikir itu. Namun, apakah kita pernah sedikit saja membaca pemikiran dan ide besar tokoh-tokoh lokal Indonesia? 

Semisal H.O.S Cokroaminoto, Hamka, Dawam Raharjo atau pemikir-pemikir yang masih ada dikisaran 90an seperti Cak Nur, Gusdur, Syafi'i Ma'arif. Padahal, jika ditilik lebih jauh mereka semuanya menawarkan gagasan agar negeri yang majemuk ini tetap dalam kesatuan tanpa ada harus ada lebelling radikalisme, teroris, dan rasisme.

Nyatanya, tradisi intelektual berupa sikap inklusif dan duduk berbincang bersama yang diajarkan para cendikiawan Indonesia terdahulu kini telah terabaikan. Publik semakin was was dengan sebuah labeling teroris dan radikalis bahkan makar terhadap negara. 

Era keterbukaan menjadi ajang saling tebar benci dan pelintir fakta, demi sebuah hegemoni kekuasaan kelompok. Tentunya hal ini bukan tradisi bangsa yang berintelektual. Tradisi intelektual berupa kepakaran semakin nampak memperlihatkan kematiannya. 

Lihat saja, kini banyak orang berbicara suatu hal yang sebenarnnya bukan keahliannya. Dan fatalnya orang yang berbicara itu malah justru banyak diikuti bahkan dipuj-puji.

Akhirnnya, marilah kita mulai kembali menghidupakan dan merawat tradisi intelektual. Tradisi untuk inklusif, duduk berbincang bersama sebelum menghukumi, dan berbicara pada porsi keahlian masing-masing. Agar persatuan dalam kemajemukan ini tetap terjaga hingga akhir masa nanti




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline