Nama/NIM : 1. Farah Purwandani Shaleha/2010912320029
2. Hidayati/2010912320032
3. Humaira Afifah/2010912220033
4. M. Surya Hermawan/2010912310022
Budaya yang dimiliki oleh Indonesia sangat kaya dan beragam. Madura merupakan salah satu suku Indonesia yang kaya akan budaya. Hasil studi pendahuluan dan data Kemenkes (2012) menunjukkan bahwa terdapat beberapa budaya pada etnik Madura yang berhubungan dengan kesehatan ibu dan anak, salah satunya yaitu sosio budaya gizi ibu saat hamil dan menyusui. Sosio budaya gizi saat menyusui misalnya praktik membuang kolostrum karena dianggap kotor (1). Kolostrum atau ASI yang pertama keluar biasa dikenal di masyarakat dengan nama susu jolong. Kolostrum merupakan cairan pra-susu yang dihasilkan oleh ibu dalam 0-48 jam pertama setelah melahirkan (pasca-persalinan). Menurut Kemenkes RI tahun 2015 pemberian kolostrum di Indonesia hanya sebesar 34,5%. Berdasarkan data yang ada, dapat diketahui bahwa angka pemberian kolostrum di Indonesia masih cukup rendah. Masalah ini tentunya dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya yaitu adanya pengaruh budaya atau mitos-mitos yang beredar (2).
Ada banyak mitos beredar tentang menyusui yang belum diketahui oleh para ibu. Salah satunya adalah tentang kolostrum/ASI hari-hari pertama yang dianggap kotor atau basi sehingga harus dibuang karena dapat menjadi racun dan membahayakan bayi. Banyak yang mengira bahwa ASI hari-hari pertama/kolostrum berwarna putih seperti susu, sehingga ketika kolostrum keluar dan berwarna kuning keemasan/oranye, kental, dan lengket terdapat persepsi bahwa kolostrum adalah ASI yang tidak sehat sehingga harus dibuang. Kemudian ada juga mitos yang mengatakan bahwa kolostrum lebih baik diganti dengan madu atau air kelapa muda. Mereka percaya bahwa praktik pemberian madu sebagai makanan prelakteal akan memberikan hal-hal baik kepada bayi. Harapannya anak-anak yang mereka lahirkan akan bersifat manis dan memberikan banyak manfaat seperti madu dan disukai banyak orang (3).
Berdasarkan pernyataan tersebut, pemberian ASI eksklusif oleh ibu didukung oleh kepatuhan terhadap budaya yang ada di masyarakat. Kepatuhan budaya merupakan sikap seseorang untuk taat terhadap budaya yang ada. Meskipun sudah ada penyuluhan dari puskesmas mengenai ASI eksklusif, namun ibu tetap mempertahankan kepercayaan terdahulu sebagai bentuk kepatuhan masyarakat terhadap adat istiadat yang ada. Faktanya, ASI ibu merupakan asupan penting dan bergizi yang dibutuhkan oleh bayi. Kolostrum sangat penting untuk melindungi bayi dari infeksi bakteri, jamur, maupun protozoa karena kaya akan Immunoglobin G yang berguna untuk melawan penyakit. WHO (World Health Organisation) menyatakan bahwa menyusui satu jam pertama kehidupan yang diawali dengan kontak kulit antara ibu dan bayi serta pemberian kolostrum satu jam setelah kelahiran dapat menyelamatkan 22% bayi yang meninggal sebelum usia satu bulan (1).
Warna kuning pada kolostrum merupakan tanda dari kandungan beta-carotene yang tinggi, yang merupakan salah satu anti oksidan. Meski sedikit, kolostrum sangat padat nutrisi, kaya akan karbohidrat, protein, serta tinggi antibodi yang melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Kolostrum mengandung sejumlah besar antibodi yang disebut Immunoglobulin. Immunoglobulin adalah kelompok protein yang memberikan kekebalan/imunitas. Di dalam kolostrum terdapat 3 macam Immunoglobulin yaitu IgA (immunoglobulin A) , IgG (immunoglobulin G) dan IgM (immunoglobulin M). Dari ketiga Immunoglobulin ini, IgA menempati konsentrasi tertinggi. IgA ini akan melindungi bayi dari serangan kuman di daerah membran mukus tenggorokan, paru-paru, juga melindungi sistem pencernaan bayi termasuk usus (4).
Kolostrum in sangat dibutuhkan oleh bayi baru lahir sebagai nutrisi awal yang berpengaruh pada perkembangan dan pertumbuhan bayi, selain itu kolostrum juga berperan dalam pembentukan awal sistem kekebalan tubuh bayi. Namun seringkali ibu-ibu kurang mendapatkan informasi tentang manfaat dari kolostrum ini, sehingga mereka tidak tahu betapa pentingnya kolostrum untuk bayinya. Sebanyak 3 juta anak di antaranya meninggal tiap tahun akibat gizi kurang. Rendahnya tingkat pemberian kolostrum menjadi salah satu pemicu status gizi bayi dan balita di Indonesia rendah. Menurut data dari SDKI (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia) tahun 2017 cakupan pemberian kolostrum nasional sebesar 28,9%, lebih rendah dibandingkan dengan target cakupan di Indonesia sebesar 34,5%. Berbagai kendala yang menyebabkan kegagalan dalam pemberian kolostrum diantaranya pengetahuan ibu, budaya di masyarakat dan kurang informasi dari petugas kesehatan dalam mempromosikan pentingnya pemberian kolostrum. Masih banyak ibu yang kurang mengetahui tentang pentingnya pemberian kolostrum pada bayi baru lahir tersebut karena kolostrum dianggap kotor, dan mengandung obat yang tidak seharusnya diberikan kepada bayi (5).
Meskipun kolostrum telah diketahui sangat penting bagi bayi, sayangnya lebih dari 90% para ibu masih membuang kolostrumnya dan bahkan memberikan makanan padat dini pada bayinya. Ada bermunculan fakta dan mitos kolostrum ASI yang dianggap sebagai racun bagi sebagian masyarakat salah satunya yaitu, keengganan ibu untuk memberikan kolostrum dikarenakan masih adanya kepercayaan bahwa kolostrum merupakan cairan kotor/susu kotor, warna masih kuning tidak baik buat bayi dan bahkan menyebabkan sakit perut. Keengganan tersebut bisa disebabkan karena faktor pengetahuan, faktor pendidikan, faktor pengalaman, faktor budaya dan sosial ekonomi (7).