Lihat ke Halaman Asli

Perempuan Bali Tidak Dihargai? (Sebuah Tinjauan Persfektif Hukum Hindu)

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13472016991805191074

[caption id="attachment_204813" align="alignnone" width="608" caption="Tukang Suun di Pasar (Doc Pribadi)"][/caption]

Berbicara kehidupan seringkali kita berhadapan dengan kesenjangan social. Di Bali sebagian besar perempuan Bali sering beranggapan bahwa kaum perempuan sering ditindas . Ada yang beranggapan hal ini disebabkan sistem kekeluargaan yang dianut di Bali . Sesuatu sistem apabila tidak dipahami secara  benar maka akan melahirkan anggapan yang keliru dan menyesatkan.

Berdasarkan asal kata “perempuan” berarti orang yang dihormati, Kata dasarnya adalah empu (per-empu-an), Empu adalah gelar kehormatan, seorang ahli, seorang yang mampu memimpin.  Untuk menyebut seorang perempuan sering digunakan kata wanita . “Menurut Prof. Moh. Yamin, menyebut istilah lain untuk wanita adalah “perempuan” yang berasal dari kata ‘empu’ atau’pu’ dan suffix ‘an’. Kata perempuan berarti mereka yang utama, dimuliakan atau dihormati” (Wayan Sukarma).  Dari asal kata perempuan adalah keliru jika mengatakan wanita sebagai manusia yang hina atau mengatakan wanita Bali tidak dihargai.

Lebih jau didalam kitab suci dinyatakan “Dimana perempuan dihormati disana para dewa merasa senang, akan tetapi dimana perempuan tidak dihormati disana tidak ada upacara suci yang berpahala”. (MDs, III:56), “Dimana perempuan hidup sedih, keluarga itu akan cepat mengalami kehancuran, sebaliknya, dimana perempuan tidak hidup menderita, keluarga itu akan hidup bahagia” (MDs, III: 57).

Ada seorang wanita Bali menyatakan bahwa wanita Bali tidak dihargai karena tidak mendapatkan warisan, seperti yang dinyatakan oleh Ni Nengah Hardiani . “Dahulu saya kira semua laki-laki Bali tidak menghargai perempuan seperti didikan mereka secara adat. Secara adat perempuan Bali tidak dihargai, tidak diberikan warisan. Lama kelamaan saya tahu, ternyata ada juga sedikit laki-laki Bali yang menghargai perempuan”, ungkapnya seperti statusnya pada dinding Spiritual Indonesia Perempuan.

Sepertinya ia telah keliru memahami sistem hukum adat Bali , dimana sistem yang dianut di Bali adalah patrilineal dan matrilineal (khususnya perkawinan nyentana). Kedua sistem ini sejalan dengan ajaran hukum Hindu. Apabila  menganut sistem matrilineal seperti di Minangkabau, maka lelaki sepeserpun tidak mendapatkan warisan, bahkan ada kewajiban untuk merantau. Demikian pula halnya dengan perkawinan nyentana di Bali, dimana lelaki tidak mendapatkan warisan dari keluarga kandungnya karena ia akan menikmati warisan dari istrinya. Hal ini terjadi karena lelaki diangkat statusnya menjadi wanita. Sistem ini berdasarkan ajaran agama Hindu atau dengan kata lain sistem ini sejalan dengan ajaran Hindu khususnya hukum hindu.

Putu Mariasa menyatakan bahwa perkawinan bagi umat Hindu-Bali dimaknai secara fisik dan non fisik (maksudnya Sekala - niskala). Jika dalam upacara perkawinan itu diikuti dengan upacara "mepamit" dari lingkaran leluhur keluarga semula, maka si mempelai perempuan akan ikut lahir bathin di keluarga besar suaminya. Dia akan meninggal kemudian menitis / lahir kembali/reinkarnasi di lingkungan keluarga suaminya. Jika mempelai perempuan tidak mepamit kepada keluarga besarnya semula, secara non fisik (niskala) ia masih menjadi bagian dari keluarga pertamanya dan numitis disana. meskipun secara fisik (skala) ia sudah tidak ada di keluarganya.

Dari perkawinan ( hukum perkawinan ) akan timbul beberapa hukum lainnya seperti hukum waris. Hukum Waris merupakan bagian dari Hukum Kekayaan, akan tetapi erat sekali dengan Hukum Keluarga, karena seluruh pewarisan menurut undang-undang berdasarkan atas hubungan keluarga sedarah dan hubungan perkawinan. Dengan demikian ia masuk bentuk campuran antara bidang yang dinamakan Hukum Kekayaan dan Hukum Keluarga.

Berbicara warisan memang seolah-olah ada ketimpangan didalam hukum adat Bali, tetapi sejatinya tidak demikian. Berbicara warisan adalah berbicara hak dan kewajiban. Perempuan Bali pada umumnya hanya sedikit mendapatkan warisan sedangkan lelaki mendapat warisan lebih besar. Perempuan yang menikah keluar wajar sedikit mendapat warisan dari orang tua kandungnya karena ia akan melakukan kewajiban di rumah suaminya dan mendapat warisan bersama sang suami. sedangkan seorang lelaki akan melaksanakan kewajiban yang besar terhadap leluhurnya misalnya upacara "ngaben", sehingga wajar ia mendapatkan warisan lebih besar. Perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya warisan bukan uttuk dibagi-bagi melainkan untuk dipelihara dan dijaga bersama, terutama warisan yang berupa tanah dan pura keluarga.

Seorang wanita yang menikah juga mendapat "bekel" atau harta bawaan, bahkan mendapatkan hibah. Apabila seorang wanita dari keluarga anda menikah, apakah tidak diberikan "bekel" ataupun hibah? jika tidak , bisa jadi keluarga anda miskin (maaf, ini sebagai bahan argumen) karena biasanya seorang wanita yang menikah pada umumnya akan mendapat "bekel" atau harta bawaan yang diberikan orang tua kandungnya maupun hasil jerih payahnya sendiri sewaktu ia masih berstatus anak pada keluarga kandung. Kalau keluarga bersangkutan miskin mungkin saja tidak mendapatkan bekel atau harta bawaan dan hibah. hal itu bisa dimaklumi karena kehidupan yang serba pas-pasan, apa yang hendak diberikan? bisakah hutanng ditanggungg oleh anak wanita?, apabila hutang berupa materi masih bisa  tetapi hutang kepada leluhur berupa yadnya dan sebagai penerus kawitan maka hal itu tidak bisa dibayar kecuali melakukan perkawinan "nyentana" (sistem matrilineal ala Hindu Bali).

Dari sudut pandang Hukum Hindu, wanita mendapat seperempat bagian warisan dari lelaki dan mendapat warisan peninggalan ibunya. Seperempat bagian dari anak lelaki artinya seperempat dari keseluruhan warisan bukan seperempat dari masing-masing saudara lelakinya. Hal ini hampir serupa dengan pembagian warisan dalam hukum adat Jawa tengahan yang menganut asas "sepikul segendongan" , artinya anak laki-laki mendapatkan dua bagian dan anak perempuan mendapatkan satu,  Berbeda sedikit dengan sistem yang ada pada ajaran Hindu.

Jika berbicara warisan tidak berpedoman pada hak dan kewajiban maka akan terjadi kesesatan dalam berpikir. Seperti yang kita ketahui kewajiban anak lelaki di Bali begitu berat.

Konsep warisan dalam hukum Hindu (adat) Bali memiliki beda makna dengan warisan dalam pengertian hukum barat, yang selalu merupakan hak dan bersifat materiil atau memiliki nilai uang. Di Bali warisan mengandung hak dan kewajiban yang tidak bisa ditolak bersifat materiil maupun inmaterial. Laki-laki menerima warisan biasanya berupa:

1) Kewajiban terhadap Desa Adat (Desa Dinas)

2) Kewajiban menjaga kelangsungan ibadah pura, pemerajan yang bersifat dewa yadnya

3) Kewajiban melakukan manusia yadnya dan pitra yadnya terhadap anggota keluarga, orang tua maupun saudari perempuannya yang janda atau gadis.

4) Kewajiban melanjutkan keturunan dengan memiliki anak kandung atau anak angkat

5) Mewarisi harta kekayaan keluarga sebaliknya juga semua hutang piutang.

6) Memelihara hidup anggota keluarga termasuk saudari-saudari yang menjadi tanggungjawabnya.

Dari 6 angka di atas ternyata 5 merupakan kewajiban dan hanya satu hak mewaris harta kekayaan. Akan sangat beruntung anak laki-laki bila orang tua kaya, tetapi lebih banyak yang apes/tidak beruntung bila hidup mereka pas-pasan dan bahkan bila sangat miskin seperti itu, tanggungjawab tetap harus dipikulnya.

Biasanya orang-orang dari agama lain akan mencibir pembagian harta warisan menurut Hukum Adat Bali dan Hukum Hindu atas ketidaktahuannya dan mereka tidak mengetahui ribetnya menjadi orang Hindu, khususnya tanggungjawab lelaki terhadap "nyama braya" (bermasyarakat) dan leluhur serta pengabdian kepada Tuhan.

Hanya pemikiran yang sempit yang mengatakan bahwa wanita Bali tidak di hargai. memang pada kenyataan ada beberapa oknum lelaki Bali yang kerjaannya hanya metajen (berjudi) dan mabu-mabukan sedangkan wanita sibuk bekerja. ketimpangan sosial seperti itu yang dilakukan oleh beberapa oknum lelaki Bali bisa terjadi dimana-mana. Apa yang dilakukan oleh oknum lelaki Bali sudah jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Hindu yang merupakan jiwa dari hukum adat Bali itu sendiri.

Beberapa fakta yang terjadi bahwa beberapa wanita Bali bekerja banting tulang dengan bekerja kasar , seperti menjadi buruh pekerja dijalan (membantu mengaspal jalan, tukang suun) untuk mempertahankan kehidupan keluarga sedangkan suaminya sibuk berjudi maupun mabuk-mabukan. Hal ini merupakan pelanggaran atas Dharma (hukum Hindu). Hal seperti itu tidak bisa dijadikan cap bahwa wanita Bali tidak dihargai. Agar tidak seperti pepatah nila setitik rusak susu sebelanga.

Apa yang dilakukan oleh beberapa oknum lelaki Bali hal itu telah terjadi pelanggaran hukum keluarga terutama perihal kewajiban suami. Didalam kitab suci telah tegas dinyatakan kewajiban seorang suami sebagai berikut (seperti dikutip dari  situs paduarsana.com) :

“Wahai mempelai laki-laki, lakukanlah yadnya(pengorbanan suci) yang akan mengantarkan keluargamu mencapai kebahagiaan dan perkawinan yang penuh rahmat. Senantiasa berbaktilah kepada Hyang Widhi, berikannlah kegembiraan kepada semua makhluk.”(Yajur Weda VIII,4)

Dalam Kitab Sarasamuccaya 242 disebutkan kewajiban suami antara lain:

  1. Sarirakrt artinya, mengupayakan kesehatan jasmani anak-anaknya.
  2. Prana data, membangun jiwa anak-anaknya.
  3. Anna data, artinya: memberikan makan.

Dalam Grhya Sutha, seorang suami mempunyai 2(dua) kewajiban antara lain:

  1. Memberikan perlindungan pada istri dan anak(patti).
  2. Bhastri, artinya seorang suami berkewajiban menjamin kesejahteraan istri dan anak-anaknya.

Dalam Nitisastra VIII.3 ada 5(lima) kewajiban seorang suami yang disebut panca vida, antara lain:

  1. Matuluning urip rikalaning baya artinya: menyelamatkan keluarga pada saat bahaya.
  2. Nitya maweh bhinoajana artinya: selalu mengusahakan makanan yang sehat.
  3. Mangupadyaya artinya: memberikan ilmu pengetahuan kepada anak-anaknya.
  4. Sang ametwaken artinya: suami sebagai penyebab kelahiran bagi anak-anaknya.

Didalam Weda Smrti IX.3 disebutkan:

PITARAKSATI KAUMARE, BHARTA RAKSATI YAUWANE,RAKSANTI STHAVIRE PUTRA NA, STRI SWATANTRYAM ARHATI.

Artinya: Selagi masih kecil seorang ayahlah yang melindungi, dan setelah dewasa suaminyalah yang melindunginya dan setelah ia tua putranyalah yang melindungi, wanita tidak pernah layak bebas(harus selalu dilindungi).

Kewajiban suami dalam Weda Smrti IX:2,3,9,11 dapat diuraikan sebagai berikut:

  1. Wajib melindungi istri dan anak-anaknya serta memperlakukan istri dengan wajar dan hormat. Wajib memelihara kesucian hubungannya dengan saling mempercayai sehingga terjamin kerukunan dan keharmonisan rumah tangga.
  2. Suami hendaknya menyerahkan harta kekayaan dan menugaskan istrinya untuk mengurus artha rumah tangga, urusan dapur, yadnya serta ekonomi keluarga.
  3. Bila harus dinas keluar daerah suami suami berusaha menjamin istrinya untuk memberikan nafkah.
  4. Suami wajib menggauli istrinya dan mengusahakan agar antara mereka sama-sama menjamin kesucian keturunannya serta menjauhkan diri dari hal-hal yang mengakibatkan perceraian.
  5. Suami hendaknya selalu merasa puas dan bahagia bersama istrinya karena akan terpelihara kelangsungannya.
  6. Suami wajib menjalankan dharma grhastin, dharma keluarga(kula dharma),dhama dalam bermasyarakat(vansa dharma).
  7. Suami berkewajiban melaksanakan sraddha,pitrapuja(pemujaan kepada luluhur)memelihara cucunya serta melaksanakan panca yadnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline