Lihat ke Halaman Asli

Punggungmu

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Punggung. Dulu aku begitu menyukai punggung, terutama punggungmu. Punggung yang selalu terasa hangat dan kokoh setiap kali aku sandarkan kepalaku padanya. Sejenak, beristirahat tetapi bukan lari, dari rutinitas. Punggungmu itu yang selalu membuatku kembali menjejak bumi setiap kali aku lelah terbang.

Punggung... yang hangat dan kokoh, yang membuatku kecanduan kenyamanan.

Tapi kenapa sekarang aku malah muak berhadapan dengan punggungmu? Aku yang berubah, atau punggungmu yang tidak lagi hangat? Sudah sejak dua jam yang lalu kamu tidak mau menghadapiku. Aku tahu kamu menghindar, kenapa?

Sekarang aku benci punggungmu karena punggung itu kini kamu jadikan sebagai tameng. Tameng dari apa Sayang? Dari aku? Dari diri kamu sendiri? Sekilas aku bisa melihat wajahmu kini sepekat awan mendung yang aku lihat melalui jendela. Sepekat awan mendung, dan seperti awan mendung. Tampak menahan sesuatu, amarahkah itu? Salahku apa?

Punggung itu sekarang dingin. Aku lelah berhadapan dengan punggung, aku ingin kita bicara. Apakah sekarang punggungmu berfungsi sebagai voicemailmu? Aku tidak ingin bicara pada punggungmu, aku ingin membaca matamu.

Sayang, tolong, jangan lagi beri aku punggung.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline