Kemiskinan selalu melahirkan cerita-cerita pilu kehidupan, mereka novel-novel terpendam yang menunggu ditulis oleh pena tajam keberanian.
Sementara mental miskin adalah penjara pikiran, layaknya angin yang meniup dedaunan kering, memberangus kepercayaan dan harapan manusia untuk keluar dari kemiskinan.
Apa miskin itu warisan? Aku tidak tahu, yang jelas dari kakek buyutku dari zaman Belanda, keluarga kami memang miskin.
Lalu, mengapa tidak ada yang berusaha keluar dari kemiskinan? Apa mental miskin sudah kadung melekat lama, mengendap menjadi darah daging yang susah kami singkirkan?
Aku pun tak tahu jawabannya. Yang pasti, malam ini aku hanya menatap gerobak dagangan yang masih penuh.
Gerobak dan isinya itu merupakan uang pesangon setelah bekerja selama 6 tahun, yang kemudian aku modalkan untuk membuka usaha.
Jika ada yang bertanya, kemana saja gajiku selama ini? Apa tidak ada tabungan sedikitpun? 6 tahun itu waktu yang cukup lama.
Sayangnya, tidak. Semua gajiku hanya numpang lewat setiap bulan. Bukan karena tagihan kartu kredit atau cicilan.
Namun, biaya hidup untuk 5 orang itu tidak murah. Belum lagi uang kontrakan, uang listrik, dan segala tetek bengek yang harus dikeluarkan tiap bulannya.
Aku si bungsu dari 3 bersaudara, menanggung makan kedua orang tuaku dan kedua kakakku.