Lihat ke Halaman Asli

2XLove (I) 7: Kekalutan Hati

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sambungan dari: Just For Jerry

Siang ini udara kota Jakarta terasa sangat panas, sama seperti biasanya. Mitha membuka jendela kamarnya dan angin yang tak seberapa sejuk mulai masuk ke dalam. Dia baru sekitar sepuluh menit berada di kamar, tapi tubuhnya sudah mulai berkeringat. Dari jendela kamarnya, dia bisa melihat kampusnya, Universitas Bina Nusantara.

Kamarnya masih melompong kosong. Kecuali tempat tidur dan lemari pakaian. Baru seminggu yang lalu dia pindah ke kost ini. Tapi baru benar-benar dia tempati dua hari yang lalu. Sebelumnya dia numpang di kost temannya. Temannya juga yang membantunya mencari kost. Dia masih bingung dengan jalan-jalan di Jakarta. Karena itu selama di Jakarta dia lebih banyak diam saja. Tapi disempatkannya juga jalan-jalan hari ini. Besok dia sudah pulang. Dan ada titipan adik-adiknya yang belum dibelinya.

Arloji di tangannya sudah menunjukkan jam dua. Kemudian dia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Rasa capek perlahan menggiringnya ke dalam tidur lelap.

*****

Di luar jendela, yang terlihat hanya gumpalan awan. Meski begitu, pandangan mata Mitha tetap saja mengarah keluar. Suara orang yang sedang bicara di sampingnya tidak terdengar olehnya. Telingganya ditutupi earphone. Sesekali kepalanya dengan gemulai mengikuti lantunan musik. Sesekali juga pramugari mengumumkan kondisi dan ketinggian pesawat saat itu. Makanan yang tadi dibagikan pramugari masih utuh dipangkuannya. Dia belum merasa lapar.

Mitha lebih mendekatkan kepalanya ke jendela. Dia bisa melihat daratan di bawahnya. Tidak begitu jelas. Seperti tumpukan kotak-kotak kecil. Itu sebenarnya petak-petak sawah. Tapi terlihat berbeda dari atas. Kemudian dia melihat kehijauan yang terpecah-pecah dan berserakan di mana-mana. Itu seharusnya hutan. Ternyata kenyataan sering membawa kekecewaan. Sewaktu SLTP dia sudah terlanjur percaya dengan pernyataan gurunya, ‘hutan di Indonesia, tampak seperti permadani hijau raksasa bila dilihat dari atas’. Tapi kini, bahkan tampak asap membumbung tinggi di tengah-tengah hijaunya hutan. Lahan itu berwarna coklat. Dilihat lagi, ternyata mirip tambalan-tambalan pada kain usang.

*****

Beberapa orang meneriakkan namanya saat Mitha tiba di bandara Polonia, Medan. Dia tak tahu pasti berapa jumlah teman-teman yang menunggu dan menjemputnya. Sebagian besar wajah orang yang menjemputnya adalah teman-teman SMUnya. Sebagian lagi, dia tidak tahu. Mungkin hanya kebetulan berada di rombongan teman-temannya. Cindy tampak paling depan dan tersenyum paling cerah.

Hallo semua. Bagaimana kabarnya?”

Baik saja, Mit. Kamu sendiri bagaimana? Kamu makin cantik saja,” ujar Cindy.

Baik-baik juga. Terima kasih ya. Sudah mau menjemputku.”

Ya ampun! Pakai terima kasih segala. Mendengar kamu datang saja, kita sudah senang”

Rombongan yang berjumlah sekitar duapuluhan itu cukup menarik perhatian para penumpang maupun petugas bandara. Karena mengira orang yang disambut itu seorang artis, mereka pun berduyun-duyun menghampiri. Saat mereka melihat Mitha, mereka tahu dia bukanlah artis. Tapi tetap saja mereka tersenyum dan kekaguman memancar dari wajah mereka saat melihat Mitha. Sejujurnya, Mitha bahkan lebih cantik dari artis-artis yang pernah mereka lihat. Mitha menyadari ada beberapa orang yang tak dikenalnya yang menyertai rombongannya. Dengan sopan dia menanyakan nama mereka. Betapa senang ekspresi orang-orang yang disapa Mitha. Baru pertama kali mereka bertemu dengan orang yang begitu cantik tapi ramah luar biasa.

Rumah Cindy menjadi begitu ramai satu jam setelah tibanya Mitha. Bahkan ada pesta kecil-kecil yang mendadak digelar di sana. Melihat mereka berdua, ingatan teman-temannya kembali pada kenangan saat SMU dulu. CMC yang menjadi ikon sekolah dan kebanggaan mereka. Sayang sekali karena begitu lulus mereka harus terpisah. Christy di Singapura, Mitha di Jakarta dan Cindy di Medan.

*****

Hai Jul!”

Hai juga!”

Cepat sekali kamu datang.”

Iya. Kebetulan bangun lebih cepat.”

Temannya tersenyum. Dia sendiri termasuk cepat datang. Di kelas saat ini hanya ada mereka berdua.

Eh, teringatnya, cerita tentang kamu menolak senior kelas tiga benar ya?”

Aduh. Jangan diungkit lagi dong!” ujar Julia yang mendadak menjadi malu.

Oh, ya sudah. Bagaimana dengan Jerry? Dengar-dengar kamu dekat dengannya.”

Julia menggeleng dan tersenyum. Berharap temannya tak meneruskan pertanyaannya.

Dia memang ganteng. Tapi terlalu dingin. Vera dulu pernah tidak dipedulikan sama sekali. Dan ujung-ujungnya dia dibenci Vera. Terus, ada juga gadis yang menangis karenanya. Gara-gara digoda karena bicara sama gadis itu, Jerry tak mau lagi dekat-dekat dengannya. Malah menghindar. Terus, akhirnya gadis itu pindah sekolah. Padahal anaknya manis.”

Oh ya? Begitu parahnya?”

Iya. Kalau dipikir-pikir dia jahat juga sama perempuan. Dulu padahal dia tak begitu. Kalaupun tak suka dia masih baik-baik saja. Eh, dulu yang suka sama dia lebih banyak lagi!”

Oh ya? Kamu kok bisa tahu banyak?”

Tentu saja. Dari SLTP sampai sekarang kita sekelas terus. Dulu aku juga suka sama dia.”

Wah! Terus sekarang bagaimana?”

Tak ada harapan. Dia tak mungkin suka sama aku. Jadinya aku cuma suka-suka begitu saja. Makanya kalau ada yang suka sama dia, kupikir itu wajar saja.”

Julia tersenyum mendengarnya. Tapi dia tidak lantas memberitahu temannya ini kalau dia juga menyukai Jerry.

Oh ya, kamu perhatikan Vera tidak? Sekarang dia mulai dekat lagi dengan Jerry. Heran juga. Sesudah membencinya, malah akhirnya suka lagi. Memang Jerry sulit dilupakan kayanya,” ujarnya sambil tersenyum malu-malu sendiri.

Perkataan temannya yang barusan ini seperti guyuran air dingin di pagi hari. Tiba-tiba dia merasa membeku. Selama ini dia menepis kenyataan Vera menyukai Jerry. Dia sempat berpikir kejadian yang menyeret mereka ke ruang BP adalah kesalahan Vera. Jadi dia ingin menebus. Tapi ....

Seorang murid laki-laki masuk dan menyapa mereka. Temannya pun kemudian kembali ke tempatnya.

Jul, jangan cerita sama yang lain ya!” ujarnya tersenyum malu-malu.

Julia menganggukkan kepalanya dan kembali larut dalam pikirannya sendiri. Entah yang dikatakan temannya itu benar atau tidak, tetap saja sudah masuk ke kepalanya. Saat ini dia berusaha tidak mempedulikan ucapan temannya barusan. Hanya saja, efeknya yang hanya sedikit pun membuat hatinya resah. Dia benar-benar tak tahu mesti bagaimana.

*****

Tampaknya kelelahan setelah seharian bermain bersama teman-temannya membuat Mitha baru tersadar setelah tertidur cukup lama. Mobil yang ditumpanginya masih melaju dengan kecepatan yang sama seperti sebelum dia tertidur. Cahaya matahari sudah mulai kelihatan di antara celah-celah pepohonan yang rapat. Udara pagi pegunungan yang segar menyejukkan paru-parunya yang telah merasakan efek udara berpolusi kota Jakarta. Sayang sekali tidak ada teman yang bisa diajak bercerita. Beberapa temannya berusaha membujuknya agar tetap tinggal di Medan –sampai mereka selesai ujian penerimaan mahasiswa baru. Tapi, dia sudah terlalu rindu dengan keluarganya, jadi tak bisa menunda lagi kepulangannya sampai minggu depan.

Melihat arloji di tangan kirinya yang masih menunjukkan angka tujuh, Mitha sedikit kaget. Dia telah menyesuaikan perubahan waktu di Jakarta dan kini saat kembali lagi, dia pun bingung. Dia kembali menatap samping jalan. Banyak lahan-lahan kosong dan hutan-hutan belantara. Kalau mobil yang ditumpanginya tepat waktu, maka satu jam lagi dia akan sampai di rumahnya yang dirindukannya. Rasanya sudah begitu lama. Ada kehangatan yang selalu dirindukannya saat berada jauh dari rumah. Kasih Ibunya yang begitu besar dalam membesarkan mereka. Adik-adiknya yang disayanginya. Serta kota kecil yang menjadi saksi dirinya tumbuh dewasa. Ada kenangan-kenangan yang hanya dirinya dan orang-orang dekatnya yang akan selalu mengingatnya.

*****

Kecuali Wandy yang enggan bergabung, mereka hampir selalu duduk di meja kantin bersama. Dan suasana selalu saja ramai. Julia sering tersenyum saat ada murid laki-laki yang menyapanya. Sementara Jerry tidak terlalu mempedulikan murid-murid kelas satu yang curi-curi pandang padanya.

Eh, Jer. Mitha sampai hari ini ya?” ujar Andre mendadak.

Oh ya. Sekarang tanggal enam,” sahut Adrian.

Hmm. Seharusnya sekarang sudah sampai rumah. Dia naik mobil dari Medan tadi malam,” jawab Jerry pelan.

Pasti ramai. Jul, kamu belum kenal kakak Jerry kan? Kamu harus bertemu dengannya,” ujar Lini.

Harus. Dia gadis paling menarik yang pernah kulihat,” sambung Andre.

Hmm. Paling cantik!” tegas Wennendy.

Julia tersenyum mendengar pernyataan teman-temannya. Kemudian dia menoleh pada Jerry. Tampaknya Jerry jadi malu mendengar penuturan teman-temannya. Dia pura-pura tak mendengar.

Oh ya, dia punya senyum yang sangat manis. Mirip dengan senyum Jerry.”

Semua mata menatap Vera. Tapi dia tersenyum dengan tenang.

Memang benar kan?” ujarnya meminta dukungan.

Ah, sudahlah! Kalian bicara apa sih,” ujar Jerry dengan muka memerah yang yang sulit disembunyikan. “Aku duluan!” berkata begitu dia segera beranjak dari tempat duduknya.

Teman-temannya terdiam menatapnya. Kemudian mereka tersenyum-senyum sendiri. Terutama Lini.

Jerry ini memang tak tahan mendengar orang memuji kakaknya. Soalnya pada akhirnya pasti kena dia juga,” ujar Lini akhirnya.

Julia diam saja. Perasaannya kini kacau. Apalagi mendengar langsung penuturan Vera yang begitu jujur di depan Jerry. Dia sudah kalah langkah. Dan kurang tahu banyak mengenai Jerry.

Jerry terlihat diam di tempat duduknya. Karena itu Julia tidak ikut-ikutan temannya yang mau mengganggunya. Dia melihat saja dari tempat duduknya.

Jer, nanti sore kami mau ke rumahmu.”

Tak boleh!”

Kok begitu? Kita mau ketemu Mitha!”

Tak boleh ya tak boleh.”

Biarkan saja dia bilang tak boleh. Kita bukan mau ketemu dia!”

Kalau aku tak ijinkan kalian masuk, bagaimana kalian bisa ketemu dia?”

Pelit! Julia kan juga mau ikut.”

Jerry mengintip ke arah Julia. Julia sedang menatap ke arah lain. Jerry memelankan suaranya.

Pintar ya, bawa-bawa namanya. Tak boleh!”

Jul, kesini sebentar,” ujar Lini akhirnya.

Jerry menggerutkan keningnya dan membelalak kaget. Yang lain menahan senyum. “babi!” makinya dengan suara pelan.

Jul, nanti sore kita mau ke rumah Jerry ketemu Mitha. Kamu ikut ya!”

Julia tak segera menjawab. Dia menatap Jerry dan tersenyum padanya.

Boleh, Jer?” ujarnya dengan suara lembut.

Kalau bukan Julia yang bertanya, jawabannya pasti tak boleh.

Tentu saja boleh.”

Jerry segera merasa teman-temannya tersenyum mengejeknya. Dan dia entah bagaimana harus menghadapi Lini. Selain kesal dia juga senang. Temannya yang satu ini sudah beberapa kali mendesaknya dengan menggunakan Julia. Dan dia tak bisa apa-apa.

*****

JERRY! Jer!”

Mendengar suara berisik panggilan buatnya, Jerry berjalan dengan malas ke arah pintu. Keenam makhluk yang berdesakan itu menimbulkan rasa kesal di hatinya.

Maunya ketemu Mitha. Tapi namaku juga yang dipanggil-panggil,” gerutu Jerry pada Andre yang berada paling depan. Tapi begitu dia melihat Julia sedang menatapnya, mimiknya segera berubah. Pasang senyum.

Masuklah!”

Dia tak perlu lagi menyuruh mereka duduk karena mereka sudah bisa duduk sendiri.

Tunggu sebentar. Aku panggil Mitha,” ujarnya kemudian.

Beberapa menit berlalu dan akhirnya orang yang mereka cari muncul juga. Orang ini punya senyum yang begitu mempesona. Dan wajahnya benar-benar cantik sesuai yang dibicarakan orang-orang.

Halo apa kabar, kak Mitha?” ujar Lini.

Halo Lini. Baik-baik saja. Kamu?”

Baik juga, kak.”

Julia memperhatikannya saat duduk. Dia tertegun melihat kecantikannya. Senyumnya memang mirip Jerry. Tapi tetap lebih manis. Apalagi sepasang matanya yang begitu berbinar dan memikat orang yang menatapnya. Sebagai sesama perempuan, Julia sadar Mitha benar-benar melebihi kecantikan gadis-gadis pada umumnya. Kemudian saat Mitha menatapnya, dia menjadi gugup. Apalagi saat Mitha tersenyum padanya.

Sepertinya ada yang belum aku kenal?” ujar Mitha pada yang lain.

Wah, kakak jeli juga. Ini namanya Julia.”

Julia menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Dia menjadi tenang karena Mitha begitu ramah.

Oh ya, Kak. Di sini ada orang yang disukai Jerry lho.”

Oh ya?” berkata begitu, sepasang matanya yang berkilau mulai menjelajahi muka-muka di depannya. Dia menatap Julia dan Vera bergantian. Kemudian berhenti pada Julia dan tersenyum lebih cerah lagi.

Tapi kita jangan bicarakan ini. Kalau Jerry tau, dia bisa marah.”

Eh, Mit. Kamu kuliah di Jakarta kan? Di mana?” tanya Andre.

Ya, di Binus.”

Binus? Apa itu?” tanya Wennendy.

Bina Nusantara, bodoh!” sahut Andre.

Iya Pintarrr,” balas Wennendy. Kkapan masuknya?” lanjutnya lagi.

Awal bulan depan.”

Kalian bicara apa sih? Membosankan. Kak, cerita pengalaman di Jakarta donk,” ujar Lini.

Mau cerita apa? Di Jakartanya juga sebentar. Kalian saja ya yang cerita.”

Kakak mau tahu apa?”

Ehm, tunggu sebentar. Kalian laki-laki naik ke atas. Temani Jerry. Masa kalian ke sini tapi tak mencarinya.”

Iya, ya. Kalian ke atas dulu,” ujar Lini.

Mereka cuma tersenyum lalu segera beranjak berdiri. Di atas mereka melihat Jerry yang sedang main game. Entah mungkin masih kesal dengan temannya, makanya dia diam saja. Tapi tak berapa lama kemudian Mitha dan yang lainnya juga naik ke atas. Mereka akhirnya menonton. Jerry meskipun berada di sana, tapi pikirannya entah ke mana. Dia tak bisa mengikuti suasana yang teman-temannya dan Mitha ciptakan. Dan dia merasa lelah hari ini. Seolah sudah bekerja keras saja.

*****

Julia hanya menatap kosong melewati jendela kamarnya. Seluruh pikirannya mendadak penuh dengan perkataan Vera beberapa jam yang lalu. Dan dia tak pernah menduganya.

Dia tadi pulang naik becak bersama Vera. Dan di tengah jalan, Vera mengatakan sesuatu yang mengusik pikirannya.

Jul, aku tau kamu suka sama Jerry. Aku juga suka sama dia. Karena itu kita sekarang bersaing. Dan aku tak akan mengalah sedikit pun,” dia mengakhiri perkataannya dengan tersenyum penuh percaya diri.

Sama sekali tak menduga perkataan Vera, dia tak tahu harus menjawab apa. Dia hanya tersenyum. Untung saja dia sudah tiba di rumahnya. Jadi dia tak perlu meneruskan pembicaraannya dengan Vera.

Sejak selesai makan malam, dia hanya berdiam di kamarnya. Matanya seolah berkarat. Sulit mempertahankannya terbuka. Memejamkannya juga terasa perih. Kemudian dia menarik napasnya dalam-dalam. Tapi tetap tak ada kelegaan yang dirasakannya. Karena bebannya tertanam jauh di dalam hati. Tersimpan utuh di memori.

*****

Jer! Bangun.”

Jerry mengusap-usap wajahnya. Lalu beringsut ke ujung ranjangnya. Hampir saja dia terjatuh karena belum sadar sepenuhnya.

Kau kenapa?”

Ergh! Masih mengantuk ....” ujarnya seperti orang mengigau.

Makanya cepat mandi. Aku ke bawah dulu.”

Kemudian Mitha keluar dari kamarnya. Setelah menarik napas beberapa kali, dia masuk ke kamar mandi.

Saat menjejakkan kakinya di lantai dia melihat Willy sedang duduk berpangku tangan. Mitha membantu Ibunya menyiapkan sarapan.

Payah! Masih belum bisa bangun sendiri,” ujar Mitha padanya.

Jerry diam saja dan duduk di samping Willy. Kemudian Mitha meletakkan sarapan di depan matanya. Dia tetap saja seperti dulu. Selalu bangun lebih pagi dan membantu Ibunya menyiapkan makan buat mereka. Dan kalau sedang tidak masuk sekolah, dia menemani Ibunya jaga toko. Hal yang hampir tak pernah dilakukan Jerry.

Jerry melangkahi anak-anak tangga dengan tenang. Dia belakangan ini selalu datang di sekolah tepat waktu. Tidak terlalu cepat, juga tak terlambat. Dan bel baru saja berbunyi. Dia melangkah masuk dan menatap Julia. Dia hampir melepaskan senyumnya saat tiba-tiba Julia berpaling ke arah lain. Seolah tak melihatnya. Kecut juga hatinya. Tapi dia mengangkat alisnya. Berpikir mungkin Julia memang tidak melihatnya. Tapi heran juga dia semakin dipikir-pikir. Kilatan mata Julia sepertinya memang sengaja menghindarinya. Ada apa? Perasaan, kemarin dia tak melakukan sesuatu yang menyingungnya.

Suara ocehan guru tak dipedulikannya. Dari tadi dia menatap punggung Julia. Menantinya menoleh padanya. Tapi, entah dia lengah atau bagaimana. Julia sudah satu jam lebih belum membalikkan badannya. Bisanya minimal dalam waktu satu jam dia membalikkan badannya dua kali. Sepertinya memang ada yang tak beres, batin Jerry.

Tiba-tiba Julia berpaling. Jerry hampir tersenyum senang. Tapi sepersekian detik mata mereka bertemu, Julia sudah membalikkan mukanya lagi. Suatu perasaan sepi merayapi tubuh Jerry. Apakah dia benar-benar berbuat sesuatu yang membuat Julia membencinya? Apakah Julia akan begini selamanya? Menjauhinya? Oh, ini mimpi buruk, pekiknya dalam hati.

Bel istirahat berbunyi dan Jerry yang masih penasaran mendekati Julia. Tapi dia menunggu Lini selesai bicara dulu. Julia menggeleng dan Lini keluar kelas sendiri. Lalu dia mendekat ke tempat duduk Julia. Tapi Julia masih tampak tak mempedulikannya.

Hei, Jul!”

Hei ....” jawabannya hambar sekali terasa di telinga Jerry.

Kamu sakit hari ini?”

Dia menggeleng. Dan pura-pura melihat ke kiri dan ke kanan. Jerry benar-benar mati kata. Dia mencari-cari pertanyaan yang bisa memancing jawaban Julia.

Eh, bukunya sudah kamu baca?”

Belum. Tak sempat. Besok aku kembalikan saja.”

Oh, tak apa-apa. Tak usah dikembalikan dulu. Kamu baca saja kalau sudah ada waktu.”

Ya sudah. Sori, aku sedang ingin sendiri.”

Jerry kini terdiam. Tak berani lagi bertanya-tanya.

Ya sudah. Aku pergi dulu.”

Perkataan terakhirnya tak mendapat tanggapan. Sedih rasanya hatinya.

*****

Diingatkan barusan, dia baru sadar belum membaca buku yang dipinjamkan Jerry. Dia berhasil tak tersenyum pada Jerry saat ini. Tapi entah sampai kapan. Dia berjalan keluar kelasnya. Menuju sudut gedung dan menikmati belaian angin bersama murid-murid lainnya. Dia bisa melihat murid-murid yang sedang jajan di kantin. Dan teman-temannya. Juga Jerry. Ah, hatinya terasa perih. Pura-pura tak mempedulikannya tadi seperti menelan duri saja. Tenggorokannya seperti tercekik saat dia ingin bicara padanya. Dan denyaran jantungnya menimbulkan kejutan rasa sakit.

Menatap teman-temannya lagi matanya menjadi perih. Dia seharusnya bersama dengan mereka saat ini. Lini tadi sudah mengajaknya. Tapi dia menolaknya. Berada bersama mungkin hanya menambah rasa kecil hatinya. Dan akan membuat jantungnya tak sehat karena harus siap berdebar-debar kapan saja. Saat teman-temannya menggodanya. Saat Jerry menatapnya. Atau ..., saat Vera terang-terangan memuji Jerry. Kemarin dengan percaya dirinya Vera mengajaknya bersaing. Tapi, dia tak seyakin Vera. Makanya, keputusan terberat dalam hidupnya diambilnya. Dia mundur saja. Meski hatinya merasa sakit setiap kali menahan keinginannya menatap Jerry.

Dia meluruskan pandangannya ke depan. Laut menghampar dengan luas. Beberapa pulau kecil terlihat cukup jelas. Dia kemudian melihat ke samping kanannya. Begitu Jerry muncul jantungnya tiba-tiba berdetak dengan cepat. Kebetulan sekali wc di belakangnya sedang kosong. Dia segera masuk. Dia sempat menangkap ekspresi Jerry yang kecewa. Di dalam wc dia mengelus dadanya. Kalau-kalau jantungnya copot. Kemudian saat mulai tenang dia membuka pintu dan berjalan dengan mantap. Lewat sudut matanya dia tahu Jerry berdiri tak bergerak menatapnya. Tapi dia harus berpura-pura tak melihatnya. Untung saja itu berhasil. Bel berbunyi dan dia berjalan masuk ke dalam kelas. Saat Jerry berjalan masuk, dia pura-pura mengeluarkan bukunya. Jadi dia bisa menghindar dari tatapan matanya. Aduh, ternyata masih saja dadanya sesak menahan gejolak yang coba dibohonginya.

*****

Jerry berbaring di atas sofa. Matanya menatap tanpa gairah ke atas langit-langit. Entah kenapa dia mulai menyalahkan dirinya sendiri. Apa penyebab Julia begitu terhadapnya? Memikirkan ekspresi Julia selama dua hari ini terus membuatnya mendesah. Hati dan pikirannya sungguh tersiksa.

Dia sedikit mengubah posisinya ketika menyadari ada orang yang mendekat.

Jer, kamu sedang apa melamun sendiri di sini? Di kulkas ada buah.”

Jerry mengangguk ke arah kakaknya. Kemudian membelakanginya.

Kamu sedang ada masalah? Wajahmu seperti orang yang putus cinta.”

Jerry tidak menanggapinya. Dia tak ingin bicara apa-apa. Dia terlalu sedih. Kecewa bila membicarakannya.

Oh ya, gelang tangan yang kemarin kamu titip belum kukasih ya?”

Betul juga. Jerry hampir lupa kalau dia pernah menitip pada kakaknya. Tapi dia berpikir saat ini gelang itu sudah tak ada gunanya lagi. Julia sudah menjauhinya seperti itu bagaimana dia punya nyali mendekatinya lagi. Tapi dia menggeleng pada kakaknya tanpa berbalik.

Kau tak jadi kasih dia?”

Jerry masih saja tak bicara sepatah kata pun.

Kenapa? Kau bukannya suka sama dia? Atau kau tak mau mengakui kau suka dia? Payah!”

Tiba-tiba Jerry berbalik. Makin sakit lagi hatinya kalau ada yang bilang dia tak mau mengakui perasaannya pada Julia. Saat ini, justru dia tak tahu harus bagaimana. Orang yang disukai terus saja menghindarinya.

Memangnya aku bisa apa kalau dia tak menyukaiku? Tiba-tiba saja dia menghindar.”

Terus? Kau mundur? Kau tak mengerti kenapa begitu? Mungkin ada hal yang tak kau ketahui. Kau cari taulah!”

Tak segampang itu. Sekarang, kalau bicara sama dia lebih parah dibanding bicara dengan orang tak dikenal.”

Menurutmu dia suka sama kau?”

Mana kutau. Kalau dia suka sama aku, aku tak akan seresah ini. Mungkin justru dia membenciku.”

Berarti kau tak memahami perempuan. Menurutku sebenarnya Julia suka sama kau. Tapi kau malah bilang tak tau. Kalau begitu, wajar saja dia menjauh.”

Terus, aku harus bagaimana?”

Yang punya masalah kau. Jadi kau yang harus membereskannya. Aku cuma bisa memberi saran. Sekarang terserah kau.”

Jerry menghembuskan napasnya kuat-kuat. Segumpal kerumitan seolah keluar bersama udara kotor dari tubuhnya.

Mau buah? Aku ambilkan kalau mau. Tak ada gunanya dipikirkan terus. Harusnya kau langsung cari tau.”

Jerry mengangguk. Dia sadar. Berapa lama pun dia habiskan untuk berpikir dan berkeluh kesah, dia tak akan tahu penyebab Julia menjauh darinya. Dia harus berusaha mencari jawaban langsung dari Julia. Sebenarnya dia menyukainya atau tidak.

*****

Ada beberapa kriteria menilai perempuan cantik,” ujar Andre di tengah-tengah kerumunan orang di sudut ruang kelas. Mereka tidak ikut olah raga seperti beberapa teman sekelas lainnya.

Bagian wajah, hidung mancung, tapi tidak perlu terlalu mancung. Soalnya bisa terlihat besar dan jelek. Terus, bibirnya kecil tipis atau tebal merekah. Kalau kecil tipis dan ujungnya runcing, biasanya sedikit manja dan cerewet. Tapi kalau tidak runcing, biasanya pendiam. Sementara kalau tebal dan merekah orangnya mengairahkan. Seksi! Jangan lupa juga dagunya harus kecil atau seperti ujung telur. Dahinya ya, tak terlalu lebar dan menonjol. Tapi salah satu bagian paling memikat dari perempuan adalah matanya. Bentuk sempurna seperti kacang almond. Tak sipit, juga tak mata jengkol. Hahaha!”

Beberapa orang mengerutkan kening mereka. Penggambaran kriteria perempuan cantik ternyata rumit juga. Ini sepertinya sangat sulit ditemukan di antara teman-teman sekolah mereka.

Ah, berbelit-belit. Memangnya ada yang seperti itu?” ujar Hendrik tak sabaran.

Tunggu dulu. Belum selesai. Kita lanjutkan pada bentuk tubuhnya sekarang. Jelas harus langsing. Bahunya apalagi lengannya tak boleh terlalu besar. Terus, jari-jari tangannya lentik dan gemulai. Eh, hampir lupa. Kita semua pasti maunya perempuan berkulit halus kan? Makanya syaratnya juga harus punya kulit halus dan mulus. Ehm ..., kakinya langsing dan betisnya atletis. Terus, ukuran kakinya kecil. Eh, tapi ada juga perempuan yang kakinya sebesar kaki laki-laki. Pasti dia sulit cari sandal yang feminim.

Kau kasih komentar atau kasih tau kriteria. Lambat sekali!” ujar yang lain tak sabar.

Sambil kasih komentar. Biar seru. Apalagi ya? Pantat uda belum? Nah, pantatnya berisi. Hmm, kayanya sudah semua ya? Ada lagi yang belum? Eh tapi, itu kriteria umum ya. Kalau kau punya selera tambahan itu di luar kriteria tadi. Misalnya Wandy yang suka perempuan sedikit gemuk. Itu kriteria pribadi namanya.”

Monyet! Bawa-bawa nama orang lagi.”

Hahaha! Ada pertanyaan?”

Mana ada orang seperti itu?” ujar Arsan.

Kau tak pernah nonton film ya? Tak pernah baca majalah ya? Tentu saja ada. Tak usah jauh-jauhlah. Di sekolah kita saja ada.”

Siapa?” ujar mereka hampir bersamaan.

Mitha! Siapa lagi.”

Ya. Aku pun setuju kalau itu,” ujar Hendrik menimpali.

Iya sih. Cuma dia saja?”

Ya jangan mematok seratus persen kriteria tadi donk! Cindy dan Christy memangnya tak cantik menurut kalian?”

Cantik, cantik!”

Terus, Julia?”

Sangat cantik!”

Jerry tiba-tiba menoleh. Sedari tadi temannya entah ngawur bicara apa dan dia tak peduli. Tapi satu nama saja membuat dia memalingkan wajahnya. Hanya saja, mendengar nama ini rasa sedih di hatinya muncul kembali. Padahal tadi malam dia sudah bertekad mencari tahu kenapa Julia menjauhinya. Tapi setiap kali melihat wajahnya, keberaniannya entah menguap ke mana. Dia juga memilih berada di kelas bersama teman-temannya melakukan hal-hal tak jelas seperti ini karena merasa gelisah saat bersamanya. Dia tak tahu, berapa lama lagi keadaan menyedihkan seperti ini akan berlanjut.

Bersambung ke: Julia Felicia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline