Lihat ke Halaman Asli

2XLOVE (I) 4: Perasaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Sambungan dari: Sakit

Matanya terbuka. Dan dia hanya menatap langit-langit kamarnya. Dia merasa begitu tak berdaya. Seluruh tubuhnya lemas. Sebelum terbangun, samar-samar dia mendengar suara kokok ayam. Dia tak tahu pasti jam berapa saat ini. Dan hanya bisa menerka saat mendengar langkah kaki Ibunya yang mendekat ke kamarnya. Sepertinya sudah hampir jam enam pagi.

Semalam bisa tidur?” tanya Ibunya sembari memegang kening Jerry. “Masih sedikit panas…. Kamu tak usah masuk sekolah hari ini,” lanjut Ibunya.

Jerry hanya mengangguk pelan, lalu membuang pandangan dari wajah cemas Ibunya. Biasanya dia akan gembira sekali kalau Ibunya mengijinkannya bolos sekolah. Tapi kali ini, perasaannya terasa hampa. Senang tidak. Sedih juga tidak. Dia tetap menatap langit-langit. Hanya ada lampu yang tak menyala di atasnya tepat. Entah kalau lampu itu terjatuh dia bisa menghindar atau tidak. Dia mencoba memejamkan matanya lagi, tapi sadar kalau dia akan sulit tertidur lagi. Sudah berapa jam dia tidur? Dua belas jam? Seharusnya lebih. Dia mengelus mukanya. Antara kedua alisnya lalu turun ke hidungnya. Dia merasakan sisik atau mungkin kulit atau komedo yang mengeras di daerah seputar hidungnya. Kemarin seharian dia tidak cuci muka. Sejauh yang diingatnya, dia duduk sebentar di sofa ruang tamu dan ... tertidur. Sepertinya begitu. Sebab dia tak ingat apa-apa lagi selain wajah cemas Ibunya yang membangunkannya ... dari ... mimpi. Mimpi yang aneh. Dia hampir-hampir lupa bagaimana detailnya.

Ibu Jerry sedang menyiapkan sarapan saat menolehkan kepalanya ke arah jam dinding. Tampak jarum pendek telah menyentuh pinggir angka enam. Dia lalu mematikan kompor dan segera menuju ke arah kamar. Willy sudah terbangun, hanya belum sadar sepenuhnya. Selimut yang ditarik membuatnya menoleh. Dan mengusap-usap mukanya.

Ayo, cepat mandi. Jangan tidur lagi.”

Entah mendengarkan atau tidak, tapi Willy beringsut duduk di pinggir ranjang. Sedetik, dua detik. Lalu bangkit berdiri.

Jerry bagaimana?”

Dia masih sedikit panas. Belum bisa masuk sekolah hari ini.”

Wah…enak betul!”

Sudah. Sana, cepat mandi!”

Sewaktu di dalam kamar, Ibunya mungkin belum menyadarinya. Tapi begitu Willy akan masuk ke kamar mandi, dia bisa melihat tanda becek pada bagian antara selangkangan dan pusarnya. Cepat sekali, ujarnya dalam hati. Rasanya baru kemarin dia melihat Jerry mengalami mimpi basah pertamanya. Dan tak seperti Williy, Jerry jauh lebih khawatir. Tengah malam dia sering terbangun dan menukar celana dalamnya. Ibunya sudah beberapa kali menemukan celana dalam Jerry yang berbercak pada pagi harinya. Di hadapannya kini, putra keduanya tampak tidak memusingkannya. Tapi yang jelas, dia sudah paham yang dialaminya. Hanya mungkin tiap anak memiliki reaksi yang berbeda.

Ibunya meraih kotak persedian obat keluarga. Meletakkan sebuah piring berisi bubur gandum di atas nampan. Juga segelas air putih. Kemudian suara anak tangga berderak begitu dia mulai menjejakkan kaki. Masih gelap di luar sana. Biasanya cahaya matahari pagi akan menghambur masuk melalui celah sempit di atas pintu ruang keluarganya.

Jerry segera menyadari siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Perlahan dia mengubah posisi tidurnya. Ibunya dengan lembut sekali lagi menyentuh keningnya.

Makan dulu buburnya. Dan jangan lupa minum obat ini.”

Ibunya masih menunggu hingga Jerry menyuapkan sendok kedua ke dalam mulutnya. Lalu dia berjalan keluar lagi. Mulutnya cepat sekali penuh dan pipinya tampak mengembung. Kecepatan mengunyahnya ternyata lebih lambat dari kecepatannya memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Dia lantas tidur terlentang dan perlahan menelan bubur di dalam mulutnya. Begitu habis, dia akan memenuhi mulutnya dengan bubur lagi dan terlentang lagi. Dia baru akan mengulangi yang ketiga kali saat Willy muncul di pintu kamarnya. Mereka saling bertatapan tanpa suara. Jerry hanya memperhatikan saja saat adiknya berjalan menghampirinya. Dan, seperti dokter menjenguk pasiennya, Willy memeriksa obat yang belum disentuh Jerry.

Kenapa?” tanya Jerry kemudian.

Ini! Surat ijin sakitmu. Mama suruh kau tanda tangani ....”

Mana pulpennya?”

Oh, tak ada ya?”

Jerry menahan kesal sekaligus geli saat Willy keluar dari kamarnya. Adiknya itu, entah lebih mirip siapa. Dirinya atau kakaknya? Yang jelas mereka tidak mirip secara fisik. Tubuhnya paling gemuk di antara mereka tiga bersaudara. Sekarang saja Jerry yakin berat Willy melebihinya. Willy masuk ke dalam lagi. Dengan pulpen ditangan kanannya. Jerry mengambilnya tanpa banyak bicara dan segera menanda tangani bagian kanan bawah kertas yang menjelaskan dirinya sakit.

Sudah ....”

Jerry berbaring memunggungi Willy. Tapi dia sepenuhnya sadar saat Willy berjalan keluar dari kamarnya. Dia memejamkan matanya. Begitu lama hingga hampir tertidur. Tiba-tiba matanya terbuka. Dilihatnya dua tablet obat di atas nampan masih belum diminumnya. Suaranya mereguk obat terdengar begitu terburu-buru. Begitu selesai dia meletakkan nampan itu di bawah ranjangnya. Bubur gandumnya belum habis. Tapi dia sudah tak bernafsu lagi. Dia terbaring lagi untuk waktu yang lama. Saat Ibunya masuk membereskan makanannya, dia tampak tak menyadarinya. Butir-butir keringat muncul di keningnya. Dan dia tampak damai dalam tidurnya.

****

Ada yang berbeda pagi ini. Sudah beberapa kali dia menoleh ke belakang, tapi dia tak melihat sosok itu. Tanda-tanda keterlambatannya juga tak ada. Dia menyapu seluruh kelas dengan sekilas pandangannya. Berharap Jerry duduk di salah satu tempat yang lain. Tapi tak ada. Kursi-kursi di kelasnya benar-benar penuh, kecuali satu. Suara pintu diketuk sedikit mengejutkannya. Dia yang duduk tepat di samping pintu dan terus mengamati sedari tadi, tapi malah kaget begitu ada yang datang. Satpam. Ada apa ya? Dia hanya memerhatikan satpam yang menghampiri guru di kelas. Sebuah surat kelihatannya. Kemudian, sesudah melipat kembali surat itu, guru itu berseru pada Lini, sekretaris kelas ini.

Lini. Jerry tak datang hari ini. Ini surat sakit dari orangtuanya.”

Terjawab sudah pertanyaannya sedari tadi. Murid yang lain yang semula tampak tak peduli mulai berisik. Berspekulasi kejadian kemarin siang. Entah itu benar atau tidak, tapi memang tak bisa dibantah. Mungkin seluruh sekolah sudah tahu keributan yang menyeretnya ke ruang BP.

Dia menghindar!” Seru beberapa suara kecil di belakang Julia.

Sepertinya dia ketakutan ....”

Tidak mungkin. Dia tak bersalah. Buat apa takut?”

Iya. Dia memang tak salah. Tak sengaja. Tapi enak juga dia ....”

Suara ketukan di meja guru membuat suara-suara berisik itu hilang serentak. Tak lama pelajaran pun dilanjutkan kembali. Menjemukan.

Bel istirahat berbunyi dan kelas dipenuhi suara yang berantakan di semua sudut. Lini berjalan menghampirinya dan dia merasa sedikit lega. Senang hatinya ada teman yang senang menemaninya. Tahu bagaimana mengusir murid-muid laki-laki di saat dia mulai jemu meladeni mereka. Mereka berdua saling menukar senyum. Kemudian untuk pertama kalinya mereka berhenti di ujung bangunan yang menghadap laut. Angin mulai menguraikan tatanan rambutnya yang rapi. Beberapa helai mengambang tinggi dan dia kerepotan menariknya kembali. Lini tersenyum geli, lalu menyuruhnya mengikat saja rambutnya. Julia tampak tak punya pilihan, tapi dia tidak benar-benar mengikat rambutnya. Dia membiarkan rambutnya terjuntai ke depan dan menahannya tertiup angin dengan tangannya. Ternyata itu tak bertahan lama. Saat dia lengah rambutnya akan tercerai berai kembali karena angin tampak begitu asyik memainkan rambutnya. Dia akhirnya pasrah dan membiarkannya begitu saja. Sentuhan angin membelai rambutnya begitu menghanyutkannya. Dia merasa damai dan lepas. Dan entah kenapa dia merasa hari ini begitu singkat. Jam tanda masuk sudah berbunyi lagi. Dia dan Lini perlahan menuju ke dalam kelas. Mereka berpapasan dengan Vera, Melvi dan Yenni yang kebetulan akan ke kelas mereka.

Hai ...!” sapa Vera pada Julia dan dua orang temannya berlaku serupa.

Hai juga.”

Lin, Jerry tak datang hari ini?”

Tidak. Dia sakit.”

Julia memerhatikan wajah Vera saat percakapan ini berlangsung. Dia berpikir akan melihat wajah Vera yang kegirangan karena Jerry tak masuk hari ini. Tapi, wajah yang ditunjukkannya tampak begitu kecewa. Rasa simpati mungkin? Atau rasa aneh yang juga dirasakannya kini?

Ya sudah. Sampai nanti ya ....”

Julia memerhatikan Vera hingga masuk ke dalam kelasnya. Entah kenapa ekspresi Vera yang barusan kurang disukainya. Bukan karena dia benci pada Vera. Tapi .... Entahlah.

Rasa-rasanya hari ini menjadi hari paling menjemukan sepanjang hidupnya. Tak tahu kenapa, suara guru menerangkan yang biasanya begitu disimaknya setiap hari, berubah menjadi begitu mengganggunya. Dia juga tahu kursi Jerry kini kosong. Tapi kebiasaan melirik ke arah tempat duduknya sulit dihilangkan.

****

Matanya perih sekali. Karena itu dia mengucek-nguceknya beberapa kali. Apakah tadi dia kurang hati-hati? Mungkin tadi matanya kemasukan butiran garam yang tertiup angin? Julia tak yakin. Tadi dia memang berdiri memandang laut di ujung bangunan. Sendiri. Dan dia kini tahu kenapa murid-murid tidak suka melihat laut di sore hari saat akan masuk pelajaran ekskul. Ternyata panas sekali. Matahari dengan ganasnya menyorot tepat posisi yang bagus untuk mengusir bosan di kala jenuh itu. Tapi dia terpaksa berada di situ. Karena Vera masuk ke kelasnya dan mulai memberi saran ini itu. Apa yang tadi disampaikan Vera pada Lini sesungguhnya ingin dia lakukan juga. Hanya saja dia tak tahu harus bagaimana. Akhirnya mereka setuju. Dan semua tampak menghargai saran Vera. Tapi bukan sore ini seperti yang diinginkan Vera. Besok. Ya, besok kalau Jerry belum masuk sekolah, mereka akan membesuknya. Ada saran lainnya lagi. Tapi ini saran Andre. Dia mengusulkan hari Minggu mereka jalan-jalan ke pulau Poncan. Untuk merayakan selamat datang pada Julia. Hampir semua murid laki-laki yang mendengarnya setuju. Julia diam-diam merasa sangat tersanjung sekali. Dia senang sekali teman-teman barunya begitu memedulikannya. Apalagi, mereka berniat mengajak Jerry. Rasanya rasa kangen yang tak dimengertinya membuncah dan membuat dadanya sesak. Dia tidak mengerti. Juga tak sadar kapan perasaan ini muncul di hatinya.

****

Biasanya dia akan merasa bosan sekali harus berbaring diam di dalam kamar. Tapi, entah kenapa hari ini dia bisa tidak merasa bosan. Dia hanya beberapa kali keluar dari kamarnya dan berjalan sebentar. Ibunya menemaninya cukup lama tadi siang. Sampai jam berapa dia sendiri tak jelas. Dia, entah kenapa merasa begitu mengantuk. Mungkin efek obat yang diminumnya. Kebanyakan tidur, katanya pada diri sendiri. Meski merasa lebih baik, tapi dia tak bisa bergerak terlalu banyak. Dia masih merasa sedikit pusing kalau berdiri terlalu lama. Kalau dia memejamkan matanya, dia yakin bisa tertidur lagi. Entah kenapa, tapi kalau dia membiarkan matanya terpejam, dia bisa tertidur terus. Ya, hanya dengan membuka matanya dia bisa menatap dinding kamarnya lagi. Bukan ruangan gelap dan kelam yang muncul seperti saat dia mulai memejamkan matanya. Dan itu membuatnya gelisah.

Sudah jam sembilan sekarang. Entah apa yang sedang dilakukan Julia saat ini. Belajar mungkin? Atau buat tugas? Seharian dia berbaring di kamar dan tak tahu kejadian di sekolahnya. Rasanya dia ingin selamanya berada di dalam kelas. Saat bisa menatap wajah cantik Julia. Membalas senyum manisnya. Dia merasa senang meski hanya dengan memikirkannya. Dan merasa sayang tidak bisa bertemu dengannya hari ini. Dia, betul-betul ingin segera menjumpai Julia.

****

Air mata bergulir melewati pangkal hidungnya, masuk ke matanya yang satu lagi dan keluar dengan aliran yang lebih deras. Rambut di sisi telinganya telah membasah bersama bantalnya. Entah kenapa dia bisa sesedih ini. Hari ini, dia tidak melihat Jerry di sekolah. Dia kangen sekali. Tapi bukan ini yang membuatnya sedih. Dia sedih karena terlanjur menyukai Jerry. Saat bersamanya dia begitu gembira. Tapi baru sehari tak melihatnya dia berurai air mata. Yang paling ditakutinya adalah Jerry tidak menyukainya. Siapa yang akan menyukainya bila tahu keadaannya? Dan dia sudah berharap terlalu banyak. Berpikir Jerry adalah idamannya. Dia pikir hanya akan mengaguminya saja. Ternyata dia malah tidak bisa menahan perasaannya. Dia baru menyadari kalau Vera menyukai Jerry. Dan mereka akan cocok sekali. Dia akan bergembira untuk mereka bila mereka bisa menjadi sepasang kekasih. Tapi, itu menyakitkan sekali. Dia memejamkan matanya erat-erat. Tak sanggup menanggung kegetiran di hati. Air matanya bergulir kembali. Kini pipinya sudah basah hingga ke dagu.

****

Entah kenapa pagi ini berisik sekali. Suara lolongan anjing membuatnya membuka matanya. Jerry berusaha melihat jarum jam dinding di kamarnya. Masih jam empat kelihatannya. Dia merasa tubuhnya lebih ringan sekarang. Tidak benar-benar fit memang, tapi dia bisa merasakan kepalanya sudah tidak seberat kemarin malam. Dia pikir sudah bisa ke sekolah hari ini, karena itu dia berusaha tidur lagi. Tapi, rasa senang yang begitu besar membuatnya susah tertidur lagi. Dia berbaring sana sini. Dan seluruh kepala dipenuhi wajah Julia. Dia sungguh ingin melihat lagi senyumnya. Berharap pagi segera tiba dan akan pergi ke sekolah. Akhirnya setelah satu jam lebih dia tertidur kembali. Tertidur hingga tidak menyadari saat Ibunya memasuki kamarnya. Dia baru tersadar saat matahari mulai menaik tinggi. Dan dia begitu menyesal melihat jarum pendek jam dinding kamarnya sudah menutupi ekor angka sembilan. Tahu begini dia tak akan tidur lagi. Dia beranjak dari ranjangnya dan segera menuju lantai bawah rumahnya. Sepi. Hanya terdengar suara pembantu mencuci baju di belakang rumahnya. Di atas meja makan, sarapan pagi dengan dua tablet obat tertutup tudung nasi. Ibunya tentu sudah di toko sekarang. Dia menyesal tadi malam tidak meminta Ibunya membangunkannya. Teringat wajah Julia dia semakin terlihat lesu. Harus sehari lagi dia lewati tanpa melihat pujaan hatinya. Akh! Besok hari Minggu. Berarti dia tiga hari berturut-turut tidak berjumpa dengannya. Dia menggaruk-garuk kepalanya karena kesal.

****

Dia tadi melihat kursi Jerry masih kosong. Setelah berpikir dan bersedih sepanjang malam, dia tidak ingin melihat ke arah itu lagi. Dia takut akan semakin menyukai Jerry. Dan dia sudah pernah mengalaminya. Hanya ada getir di hati. Dia berusaha tetap fokus pada apa yang dijelaskan guru di depan. Berharap bisa menghilangkan bayangan yang sering muncul saat pikirannya melayang. Tapi ternyata itu sulit sekali. Wajah itu selalu muncul begitu saja. Membuat gelisah hati bila tak melihatnya. Tapi sangat sedih bila terus memikirkannya. Dia begitu terhanyut dengan pikiran-pikirannya. Bunyi bel pergantian pelajaran pun tak begitu didengarnya. Tahu-tahu seorang guru lain sudah masuk ke dalam kelas. Guru ini banyak bercerita sepanjang pelajaran. Terutama tentang masa mudanya. Begitu yang didengarnya dari teman-temannya. Tapi syukurlah guru ini tidak menganggu keinginannya untuk diam. Dan kembali matanya berkaca-kaca.

Bel istirahat berbunyi dan kelas begitu ributnya. Hanya, dia merasa sepi sendiri. Begitu beberapa murid laki-laki mendekatinya dia segera beranjak dari tempat duduknya. Berusaha menghindari mereka. Dia tidak bisa terus meladeni mereka. Kalau dia tidak bisa menyukai Jerry, buat apa dia mencoba menyukai yang lain. Hasilnya juga akan sama saja. Mereka akan menjauhinya. Seperti yang pernah terjadi padanya saat masih berada di Bandung.

Jul, tunggu!”

Julia menoleh dan Lini setengah berlari menghampirinya.

Kenapa, Lin?”

Yuk, kita ke kantin sama-sama.”

Julia mengangguk dan mereka berjalan menuruni tangga. Begitu mereka mendekati kantin, Vera melambaikan tangannya. Melvi dan Yenni seperti biasa bersamanya. Tak lama kemudian Andre dan Wennendy menghampiri mereka.

Jadi?” ujar Vera membuka pembicaraan.

Ya, nanti siang sehabis pulang sekolah,” kata Lini.

Ada apa?” tanya Wennendy.

Ke rumah Jerry, bodoh!” kata Andre.

Oh, maaf. Lupa ....”

Sudahlah. Melvi dan Yenni tak mau ikut. Kalian pasti ikut kan?”

Yang lain mengangguk sementara Julia diam saja.

Julia? Kamu tak ikut?” tanya Lini.

Tidak. Aku tak begitu dekat dengannya.”

Lho, kan tidak apa-apa. Vera saja yang beda kelas ikut. Sudahlah, kamu ikut saja,” ujar Wennendy.

Vera tidak berkata apa-apa. Justru Melvi dan Yenni tidak mau ikut karena mereka tidak sekelas dengan Jerry. Dan kini Wennendy yang telmi mengatakannya lagi. Lini berdelik pada Wennendy tapi tetap tak bersuara. Pandangannya lalu berpindah pada Julia. Dia tak paham kenapa Julia bicara begitu. Jelas-jelas dia tahu Julia dan Jerry sering beradu pandang dan bertukar senyum. Dan Vera, dia justru heran kenapa berubah seratus delapan puluh derajat. Dia ingat waktu kelas satu Vera memang suka sama Jerry. Tapi karena tidak diacuhkan terus, akhirnya dia malah membencinya. Ditambah kejadian dua hari lalu, seharusnya dia .... entahlah. Dia juga bingung dengan jalan pikiran temannya yang satu ini. Melvi dan Yenni juga tampak tidak begitu senang. Meski sama-sama perempuan, ternyata begitu sulit memahami satu sama lain.

Lini menatap Julia. Dan terus menatapnya lembut sambil berbicara.

Jul, kamu ikut saja. Hari minggu kita jalan-jalan ke Poncan. Bukannya kita mau mengajak Jerry? Bagaimana mengajaknya kalau kamu tak ikut?”

Semua mata entah kenapa mengarah padanya. Dan itu membuatnya menundukkan kepala. Dia akhirnya mengangguk juga.

Bagus kalau begitu. Terus kita mau beli apa ke sana?”

Tak usah beli apa-apa. Yang penting kita datang saja.”

Dasar. Bilang saja kau pelit, Dre.”

Biarkan saja, Lin. Kalau dia tak mau keluar duit, ya sudah. Kita mau beli apa?”

Beli buah saja!”

Ya. Buah saja.”

Semuanya setuju mau beli buah?” tanya Vera

Iya lah. Mau beli apa lagi!?” ujar Andre

Diamlah. Bukannya tadi kau keberatan?”

Kalau begitu, buah apa?”

Apel ....”

Semua menatap lagi padanya. Julia tersipu dan menundukkan kepala. Seperti berusaha menyangkal apa yang baru dikatakannya. Dia sendiri juga bingung mendengar suaranya.

Ya. Apel sepertinya paling bagus,” ujar Vera dan diam-diam melirik ke arah Julia.

Kemudian setelah itu, apa yang yang mereka bicarakan dia tak tahu lagi. Pikirannya melayang pergi. Kenapa dia tak bisa menolak mereka? Bukan. Dia memang tidak berpikir menolaknya. Di hatinya, mendesak suatu keinginan untuk berjumpa dengan Jerry. Tapi dia masih berkecil hati. Apalagi mengingat betapa tampannya Jerry. Betapa banyak gadis yang menyukainya. Tapi dia kini hanya bisa menuruti, apakah demi teman atau demi kejujuran hati sendiri.

****

Dari pagi dia tak tahu harus berbuat apa. Beberapa kali bolak-balik kamar dan ruang keluarga. Dia sempat tertidur sebentar tadi. Sekarang dia berbaring sambil mengupil. Rasanya hidungnya sudah penuh sesak . Dia memilin kotoran hidungnya yang luar biasa banyak dan melemparkannya ke luar pintu kamarnya. Lalu mendesah panjang sambil menatap langit-langit kamarnya. Menatap dan terus menatap. Sekitar sepuluh menit berlalu dan dia menggulingkan badannya hingga merapat ke dinding. Bisa dirasakannya rasa dingin menjalari tubuhnya. Beberapa menit berlalu lagi dan dia turun dari ranjangnya. Perlahan dia melangkah keluar dan berjalan berputar-putar di ruang keluarga. Akhirnya dia memutuskan turun ke lantai bawah. Kesunyian yang tak biasa. Tak ada Ibu atau adiknya. Dia selama ini tak tahu kalau rumahnya begitu sepi saat siang. Kemarin dia tertidur seharian dan tidak menyadarinya. Kipas angin diam tak bergerak di tengah-tengah atap ruangan itu. Di salah satu sudut atas ruangan terlihat seperti sarang laba-laba. Kemudian satu-satunya sumber suara di ruangan itu berbunyi. Dia menggeser tempat duduknya mendekati telepon.

Halo! Cari siapa?”

Jerry, ini Mama. Kamu sudah sembuh?”

Sudah, ma. Kenapa?”

Tidak apa-apa. Sudah lapar belum? Sebentar lagi Mama pulang.”

Belum. Biasanya kan Jerry makan siang sekitar jam dua. Sekarang masih jam satu.”

Willy sudah pulang belum?”

Belum. Mungkin sebentar lagi.”

Ya sudah. Dah ...!”

Dah ....”

Suara pintu pagar dibuka terdengar bersamaan dengan dia meletakkan gagang telepon. Jerry segera membuka pintu sebelum Willy mulai mengetuk. Dengan tas yang disandangnya, adiknya terlihat semakin gemuk. Pantat adiknya menurutnya sudah kebesaran, makanya dia sering memangilnya pantat besar. Dia melihat adiknya melemparkan tas di atas sofa lalu membuka sepatunya. Persis seperti yang dilakukannya setiap harinya.

Mama mana?” tanya adiknya.

Belum pulang.”

Adiknya kemudian meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Membiarkannya melamun jauh.

****

Mereka berjalan di bawah terik matahari. Hari ini pun sama saja, panas menyengat. Kalau di Bandung, meski cuaca panas, tapi tidak akan seperti ini. Baru sebentar dia bisa merasa bajunya basah karena keringat. Tas ranselnya terasa lebih berat lagi. Mereka melewati gang-gang kecil yang sebelumnya tak pernah dia lewati. Bau yang tercium dari parit bercampur entah dengan apa. Dia menutup hidungnya. Seekor anjing menggonggong mengagetkannya. Dia tak yakin bisa lari kalau anjing itu tak diikat dan mengejar mereka. Mereka keluar dari gang itu dan menyeberang jalan besar. Rumah Wennendy tak jauh dari swalayan yang mereka tuju. Jadi dia meninggalkan mereka untuk berganti baju. Sebelumnya Andre sudah pulang dulu. Rumahnya dekat sekolah. Katanya dia akan menyusul begitu selesai ganti baju. Tapi sampai sekarang dia masih belum kelihatan.

Swalayan ini berlantai satu. Tidak terlalu besar. Tampak begitu sepi, hanya ada dua atau tiga pembeli. Mereka langsung berjalan menuju tempat buah. Sedikit sekali buah yang ada. Untunglah apelnya cukup bagus. Jadi, setelah memilih-milih, mereka berjalan ke arah kasir. Dia dan Lini berjalan menuju pintu luar sementara Vera membayar. Mereka bisa melihat Wennendy yang sudah datang. Dan bertanya-tanya kenapa Andre bisa begitu lama.

Mereka berjalan dan berencana menunggu Andre di simpang jalan. Tapi rupanya mereka tak perlu menunggu lama. Andre menghampiri mereka sambil setengah berlari.

Lama kali kau,” ujar Vera padanya.

Lama? Kalian juga baru selesai.”

Vera tidak menjawabnya dan wajahnya tampak cemberut. Mereka meneruskan berjalan. Melewati sekolah yang menjadi saingan sekolah mereka. Sepi. Sekolah ini pulangnya memang lebih cepat. Sekitar jam satu mereka sudah bubar. Hanya sekolah mereka saja yang jam belajarnya paling padat.

Akhirnya mereka sampai di jalan kecil yang berujung buntu. Wennendy mempercepat langkahnya. Andre lalu mengejarnya. Mereka berdua berhenti di depan rumah ketiga paling ujung.

****

Jerry tak tahu siapa yang datang. Suara bel mengalun di tengah-tengah ruang keluarga. Dia terus berada di lantai atas sejak Ibunya pulang. Mungkin saja itu teman Willy, dia tak peduli.

Jer, teman kau di bawah.”

Jerry menolehkan kepalanya dan melihat Willy berdiri tak jauh dari tempatnya. Siapa ya? Tanyanya dalam hati. Mungkin Adrian.

Pintu rumahnya dibiarkan terbuka. Pantulan cahaya matahari di ubin putih teras rumahnya tampak menyilaukan. Teman-temannya ternyata sudah duduk di sofa. Entah dipersilahkan Ibunya atau adiknya. Dia pertama kali melihat Wennendy, lalu Lini. Begitu matanya melihat Julia, suatu perasaan senang meluap dari dalam dirinya.

Halo ...!” ujarnya.

Halo, Jer. Kamu sudah sembuh?” ujar Lini mendahului yang lain.

Jerry tak menjawab, hanya menganguk dan tersenyum kecil. Lini menggeser posisi duduknya agar Jerry bisa duduk. Julia duduk di ujung, di sebelah Wennendy.

Sementara yang lain tak berkata apa-apa, Wennendy dan Andre diam sambil membaca komik yang tadi diletakkan di atas meja. Jerry baru menyadari kehadiran Vera saat dia meletakkan sesuatu di atas meja.

Apa itu?” tanyanya.

Apel,” jawab Lini sebelum ada yang menjawabnya. “dan Julia yang mengusulkannya.”

Wennendy sudah menyandarkan tubuhnya, sehingga saat Jerry menoleh ke arahnya, wajahnya yang tersipu tak bisa di sembunyikannya. Tapi dia diam saja. Jerry juga tak bisa menebak apa isi hati gadis itu. Sepertinya Julia enggan melihat padanya.

Terdengar suara langkah kaki mendekat. Pelan dan tenang. Jerry tahu kalau itu Ibunya. Suara langkah kaki Willy berat dan berisik.

Halo semua!”

Halo juga Tante,” sahut mereka bersamaan.

Julia? Kamu datang juga. Lini, Andre, Wennendy dan ini ....”

Vera, Tante,” jawab Vera mengenalkan dirinya.

Oh.... Kalian belum makan kan? Tante baru selesai masak, kalian makan di sini ya!?”

Tak usahlah Tante. Jadi merepotkan,” ujar Lini mewakili yang lain.

Tak apa-apa. Hari ini Tante masak banyak. Ayo, Dre, Wennendy! Masa kalian masih sungkan?”

Ya, Tante. Sebentar lagi,” jawab Andre.

Ya sudah, Tante tinggal dulu ya. Jer, kamu ajak teman-teman kamu makan ya.”

Ya, Ma!”

Mereka semua bisa mendengar langkah kaki Ibu Jerry yang menjauh. Tapi tak ada yang beranjak dari tempat duduk. Mereka terdiam dan saling bertatapan.

Yuk, kita makan dulu,” ajak Jerry kemudian.

Semua temannya dipersilahkan berjalan lebih dulu. Dia berdiri di belakang dan menunggu. Berharap bisa berada sedekat mungkin dengan Julia. Tapi Julia tampak bergitu terburu-buru. Menyusup dengan cepat di antara Lini dan Wennendy. Sekali lagi dia tampak menghindari Jerry. Vera memperlambat langkahnya dan tersenyum padanya. Namun dia tak merasakan efek apa-apa dari senyum Vera barusan. Meski begitu, dia tetap membalas senyum itu. Senyumnya hambar.

Ibunya tersenyum begitu melihat mereka. Lalu meletakkan beberapa piring di salah satu sisi meja yang bundar itu.

Ayo, makan yang banyak!”

Iya, tante.”

Jerry menunggu teman-temannya mengisi piring mereka terlebih dahulu. Rasa sepi di hati sulit diungkapkan melihat gadis di depannya begitu tak peduli. Saat menyendok nasi dia tak menyadarinya. Sampai nasi sudah menggunung tinggi dan piring tak cukup lagi.

Jer, kamu sedang apa? Bisa habis sebanyak itu? Oh ya, jangan makan terlalu banyak gorengan. Kamu baru sembuh.”

Suara Ibunya seolah membangunkannya dari mimpi. Dia tahu semua mata kini menatap padanya. Dan dia buru-buru menyendok nasinya kembali. Dengan malu-malu dia tersenyum pada teman-temannya. Dan senyumnya berhenti pada Julia, menanti reaksinya. Seolah tahu keinginan Jerry, Julia pun tersenyum. Tidak semanis yang pernah dilihat Jerry. Tapi setidaknya lebih baik dari tadi.

Mereka kembali ke ruang tamu begitu selesai makan. Jerry duduk di kursi yang sebelumnya diduduki Andre. Sementara itu Andre duduk di kursi tempat Vera tadi. Dia menyalakan tv. Perhatian mereka tersedot cukup lama ke layar kaca itu. Lini kemudian menyuruh Andre mengecilkan suaranya, teringat ada yang mau dikatakannya pada Jerry. Rupanya Andre menanggapinya sambil lalu. Vera memberengut dan melotot padanya. Akhirnya dia mengalah juga. Dia agak seram bila melihat Vera marah.

Jer, kita mau ke Poncan besok. Kamu bisa ikut?”

Besok? Kenapa mau ke sana?”

Sudah, kamu jawab saja. Bisa atau tidak?” tanya Lini sekali lagi.

Entah. Kasih tau dulu, ada apa? Dre, ada apa?”

Jangan kasih tau, Dre. Kamu tak bisa ikut? Tak menyesal?”

Jerry hanya nyengir mendengar tantangan Lini. Dia sebenarnya penasaran. Kenapa mereka kepikiran ke Poncan? Keesokan harinya mereka pasti lemas dan malas ke sekolah. Dan biasanya mereka pergi selalu kalau lagi liburan.

Julia, kamu saja yang kasih tahu dia,” ujar Lini tiba-tiba berpaling pada Julia.

Julia tak menyangka Lini akan menyuruhnya bicara. Dia harus berkata apa? Belum lagi Jerry sekarang melihatnya. Semakin salah rasanya setiap gerakannya.

Kita mau ke Poncan besok...,” dia berhenti lalu menatap Lini, seperti meminta petunjuknya. Lini hanya menganggukan kepalanya, seolah mengatakan apa yang dikatakannya sudah tepat. Julia menarik napasnya dan membasahi bibirnya cepat. Lalu melanjutkan, “Kamu bisa ikut?”

Begitu lama, tapi apa yang dikatakan Julia sama saja. Tidak menjawab keingintauannya. Jerry menjulurkan sedikit lidahnya dan keningnya berkerut. Berharap Julia melanjutkan perkataannya lagi. Dari tadi, dia menunggu mendengar suaranya. Rasanya belum puas.

Jadi?” ujar Lini mengejar jawaban Jerry.

Ehm ....”

Julia sudah mengajak secara langsung kamu masih tak bisa ikut?”

Orang yang baru disebut namanya mulai gelisah. Sial juga Lini ini. Tak mau cerita ya sudah. Kenapa menjebaknya seperti ini, gerutu Jerry.

Ya, aku ikut,” ujarnya akhirnya.

Nah, begitu. Kau tahu kenapa kita ke Poncan? Kita mau merayakan kedatangan Julia.”

Sudah tak perlu lagi jawabannya sekarang, ujar Jerry dalam hati. Kenapa dia tak mengatakannya dari tadi. Pacar Adrian ini memang suka mempermainkannya. Dia mulai menyesal Adrian tak hadir bersama mereka. Biasanya Adrian akan membelanya dan Lini pasti mengalah. Dia juga tahu Lini sangat manja kalau ada Adrian.

Ok. Kalau begitu kita pulang dulu.”

Sudah mau pulang? Begitu cepat! Dia tak masalah kalau yang lainnya pulang. Tapi Julia ..., dia tidak ingin begitu cepat berpisah. Mereka mulai beranjak saat suara motor mendekat. Adrian! Seru Jerry dalam hati. Buru-buru dia membuka pintu pagar.

Hai! Kalian sudah mau pulang?”

Tidak. Aku sama Wennendy di sini dulu. Mereka ini yang mau pulang,” ujar Andre sambil mengangguk ke arah Lini, Julia dan Vera.

Oh, kalau begitu aku antar Lini dulu ya.”

Tak usahlah, Rian. Masa yang lain aku tinggalkan.”

Lho, kan masih ada motor Jerry. Suruh Andre saja yang antar Vera. Rumahnya kan paling jauh.”

Ya sudah. Dre, kamu pakai motorku,” ujar Jerry segera masuk ke dalam rumah. Mengambil kunci.

Julia, kamu tunggu sebentar ya. Habis antar aku, Rian ke sini lagi jemput kamu,” ujar Lini manja dan memeluk erat Adrian.

Julia terseyum melihat temannya yang begitu mesra. Adrian, meski belum kenal dengannya juga mengangguk sambil tersenyum.

Aku balik dulu ya, Jer.”

Julia memalingkan wajahnya saat mendengar suara Vera. Jerry hanya mengangguk. Kemudian kedua motor itu hilang dari pandangan. Mereka kembali masuk ke dalam.

Willy lagi di atas. Main game. Kamu ke atas saja dulu,” ujar Jerry pada Wennendy.

Mereka kembali duduk di ruangan tamu. Hanya berdua saja. Mula-mula mereka duduk diam saja. Kemudian pandangan mata entah mulai melirik ke mana. Jerry seolah bukan berada di rumah sendiri, sebab dia seperti baru melihat perabotan di ruangan itu. Tiba-tiba, tanpa diduga tatapan mereka bertemu. Jerry seperti orang yang baru pertama kali bertemu, tersenyum pada Julia. Julia juga sama. Begitu kaku untuk orang yang pernah menyontek tugas sekolah. Mereka seperti meyadari kebodohan masing-masing. Jerry menggaruk bagian belakang kepalanya. Julia membuang pandangannya ke bawah dengan senyum dikulum. Tiba-tiba dia menatap Jerry lagi. Tersenyum manis sekali. Kegelisahan yang tadi terlihat di wajahnya hilang entah ke mana. Jerry tak mengerti dengan perubahan ini. Tapi dia tak punya waktu mempertanyakannya. Dia membalas senyum yang telah memenjarakan hatinya.

Ehm ...,” Jerry ingin berbicara tapi hanya terdengar gumaman panjang. Dia melihat ke arah Julia dan saat mata mereka beradu, mata itu seolah menembus dirinya. Binar di matanya Julia seperti bintang di tengah kegelapan malam. Jerry tiba-tiba tak tahu harus bicara apa.

Mereka terdiam lagi selama beberapa detik. Tapi rasanya seperti berjam-jam lamanya.

Tadi makannya kenyang?,” tiba-tiba pertanyaan ini keluar dari mulutnya begitu saja. Kemudian ketika menyadarinya itu suaranya, Jerry menjadi malu.

Iya. Kenyang. Masakan mamamu enak.”

Oh ya? Masakan di sini dengan ..., maaf! Kamu dari Jakarta atau Bandung?”

Dari Bandung.”

Aku ingat kamu bilang dari Bandung saat di kelas. Tapi aku dengar dari mamaku, kalian pindahan dari Jakarta. Yang mana yang benar?”

Bingung ya? Aku sebenarnya sekolah di Bandung. Papa mamaku yang di Jakarta. Aku tinggal di Bandung dengan nenekku.”

Oh ...,” ujar Jerry mengangguk tanda mulai mengerti. Lalu dia melanjutkan lagi, ”ehm..., tadi aku tanya apa lagi ya?”

Ehm ..., soal makanan kalau tak salah.”

Iya benar! Makanan di sini dengan Bandung lebih enak mana?”

Itu ..., kurang tahu ya. Tapi kalau makanannya enak, tak peduli dari mana, tetap saja rasanya enak. Bukankah begitu?”

Hmm, benar juga.”

Mereka terdiam lagi. Jerry tampaknya tak punya bahan pembicaraan lagi.

Kamu, pernah ke Bandung?” tanya Julia kemudian.

Belum. Aku bahkan belum pernah keluar dari pulau Sumatera. Tapi setahuku Bandung tempat yang menarik. Betul begitu?”

Kalau kamu tanya aku, pasti aku bilang betul. Susah kasih gambarannya. Kamu harus lihat sendiri. Aku yakin kamu juga akan betah di sana.”

Oh ya? Sepertinya menarik sekali. Wah, pasti kamu bosan dong harus pindah ke kota sekecil ini. Sudah begitu, tak ada apa-apanya lagi.”

Oh ya? Menurutmu Sibolga begitu membosankan?”

Tentu tidak. Jelek-jelak kota sendiri. Hahaha.”

Aku merasa di sini unik. Banyak hal yang tak bisa aku temukan di Bandung, tapi bisa kutemukan di sini.”

Seperti?”

Hah?!”

Iya, seperti apa contohnya?”

Contohnya? Ehm, teman-teman di sini sangat perhatian. Juga di kota kecil sepertinya kehidupan lebih damai. Tapi tak tahu juga. Ini kan pendapatku saat ini. Siapa tahu bisa berubah beberapa waktu lagi.”

Jerry tersenyum mendengar penuturan Julia. Dia tetap tersenyum hingga Julia menjadi bingung.

Kenapa?” tanya Julia. “Apa ada yang lucu?” ujarnya kemudian.

Jerry menggelengkan kepalanya. Tapi wajah Julia masih juga tampak kebingungan. Tiba-tiba wajah Julia berubah tegas. Matanya menatap tajam padanya. Jerry berhenti tersenyum seperti tadi. Dia memandang wajah Julia yang begitu mengesankannya. Ada gabungan marah dan tersipu di wajah Julia. Tapi Jerry bisa menangkap kesan sedikit manja pada bibir yang membentuk seulas senyum.

Ok, ok! Jangan cemberut begitu. Kamu ternyata seorang pengamat yang cerdik. Baru seminggu di kota ini, sudah bisa menyimpulkan secara umum kehidupan di sini.”

Oh, begitu ya. Tapi aku sudah dua minggu di kota ini. Sekolahnya saja yang baru seminggu.”

Heh?! Lalu selama seminggu itu apa yang kamu lakukan?”

Ya bantu beres-beres. Aku sempat jalan-jalan juga.”

Julia tidak mengatakan kalau tiga hari sebelum dia mendaftar di sekolahnya, dia sudah pernah melihat Jerry. Waktu itu sekitar jam tiga sore. Jerry singgah sebentar di toko elektroniknya saat dia dan Ibunya sedang melihat-lihat tv baru untuk rumah baru mereka. Dia tak tahu apa yang Jerry dan Ibunya bicarakan karena dia berada cukup jauh untuk bisa mendengar. Kemudian Jerry pergi lagi tanpa melihat kanan kiri.

Suara motor terdengar mendekat dan meski tak bisa melihat keluar, mereka sama-sama menolehkan kepala ke arah pintu. Sebelum mereka sempat berdiri, Adrian sudah masuk ke dalam.

Halo...!”

Hei, Rian. Mau antar Julia sekarang?” Jerry memang berkata begitu, tapi hatinya berharap Julia tinggal lebih lama. Kemudian suara motor lain terdengar semakin mendekat.

Iya, sekarang saja. Andre sepertinya sudah datang juga. Oh ya, kita belum kenalan. Aku Adrian,” ujarnya sambil menjulurkan tangannya pada Julia.

Aku Julia,” katanya sambil tersenyum.

Yuk, kita berangkat sekarang!” ujarnya pada Julia dan berpaling sambil melirik ke arah Jerry. Berpikir Jerry mungkin ingin mengatakan sesuatu. Tapi tidak. Jerry hanya diam saja.

Rian, kau yang antar Julia?” tanya Andre.

Iya.”

Ya sudah. Jul, sampai ketemu besok ya!”

Ok. Terima kasih, Dre. Sampai ketemu besok.”

Jer, aku pergi dulu!” ujar Adrian

Ok. Hati-hati.”

Dia menatap Julia dan tersenyum semanis-manisnya. Mereka tak mengeluarkan suara. Hanya diam dengan senyum yang sanggup mereka pahami sendiri. Kemudian motor itu menghilang di persimpangan. Jerry menyusul Andre yang telah masuk lebih dulu.

****

Malam ini Adrian, Andre dan Wennendy menginap di rumahnya. Mereka memutuskan begitu saja. Alasannya biar besok mereka bisa berangkat bersama. Hampir jam enam sekarang. Teman-temannya belum satu pun yang datang. Rumahnya sepi. Willy baru pergi dengan beberapa teman yang datang menjemputnya. Dan Ibunya belum juga kembali. Dia termenung sendiri di ruang tamu. Televisi menyala tapi perhatiannya tidak ke situ. Dalam kepalanya dipenuhi wajah Julia dengan berbagai posisi dan ekspresi. Sekarang dia menyesal tadi siang tidak menanyakan nomor teleponnya. Kemudian perhatiannya teralihkan pada pintu pagar yang dibuka. Dia melihat senyum hangat di wajah Ibunya yang masih menyisakan keletihan.

Willy mana?”

Barusan keluar sama teman-tamannya.”

Jerry mengikuti Ibunya masuk ke kamarnya.

Ma ...,”

Eh? Kenapa?”

Mama tahu nomor telepon rumah Julia?”

Ibunya tersenyum padanya. Begitu lembut dan menyenangkan dilihat. Dan yang paling penting, Ibunyalah satu-satunya orang yang selalu tersenyum begitu tulus padanya.

Coba kamu lihat di daftar buku telepon. Namanya Lidya,” ujarnya kemudian.

Jerry tersenyum sebelum keluar. Kemudian mendekati telepon di ujung sofa panjang. Dia mulai mencari. Tidak di halaman-halaman awal. Karena dia yakin Ibunya belum terlalu lama menuliskannya. Ada! Urutan ketiga paling akhir. Dia mengangkat gagang telepon dan segera memencet nomor yang masih sedang dilihatnya.

Halo! Cari siapa?”

Rasanya dia tak perlu diberitahu lagi siapa orang yang mengangkat teleponnya. Meski di telepon, dia bisa mengenali kalau itu suara Julia.

Halo Julia, ini Jerry,” ujarnya dengan percaya diri.

Maaf, saya Ibunya. Sebentar ya, tante panggilkan Julia.”

Ups! Dasar tolol, ujarnya pada diri sendiri. Terlalu senang hingga berpikir hanya Julia saja orang di rumah itu. Tapi suaranya sekilas tampak mirip.

Halo. Ini siapa tadi?”

Nah! Ini baru benar-benar.... tunggu sepertinya masih bukan.

Ini Jerry. Ini Julia bukan?”

Bukan. Tunggu sebentar ya.

Wah, untung saja. Kalau dia dengan percaya diri mengenali suara Julia untuk kedua kali, pasti dia kedengaran bodoh sekali.

Halo ....”

Suara ini lebih lembut. Tampak lebih ringan dan menembus dirinya.

Halo, Jul. Ini Jerry.”

Halo, Jer. Maaf, aku pikir siapa yang telpon tadi.”

Jerry terdiam sebentar. Dia segera sadar. Tentunya bukan dia satu-satunya orang yang menelpon Julia. Senior-seniornya? Teman-temannya? Kira-kira siapa yang sering menelpon Julia?

Oh, tak apa-apa. Kamu sedang apa?”

Baru selesai salin catatan beberapa hari yang lalu. Tadi pinjam dari Lini.”

Oh, aku mengganggu kalau begitu....”

Tidak. Baru saja selesai.”

Ehm, kamu sudah makan?”

Belum. Kamu?”

Belum juga...,” ujar Jerry lalu terdiam sebentar. “Jul..., kamu mau keluar makan?”

Ehm, dengan siapa?”

Ehm.... Cuma kita berdua. Tak ada yang lain.”

Terdengar hanya keheningan. Atau suara dengung kecil yang menjembatani pesawat telepon mereka.

Ok. Kita ketemu di mana?”

Aku jemput kamu. Sekitar ... dua puluh menit lagi.”

Ok. Bye ...!”

Bye ...!”

Jerry segera menuju kamar Ibunya sambil tersenyum. Dia tak bisa menyembunyikan kegembiraannya.

Ma, aku pergi makan dulu sama teman. Oh ya, Andre sama Wennendy sebentar lagi mungkin ke sini. Mereka menginap malam ini.”

Mau makan di mana? Ada uang tidak? Jangan makan yang berminyak kalau bisa. Kamu baru sembuh.”

Ya, Ma. Masih ada uang. Tapi boleh juga buat jaga-jaga.”

Ibunya tersenyum lalu membuka lemarinya. Lalu menyodorkan uang pada Jerry. Jerry hanya tersenyum saat ditanya dia pergi makan dengan siapa.

Dengan cepat motor Jerry melesat meninggalkan rumahnya. Malam minggu seperti ini sering dilaluinya. Hanya saja tak biasanya jalan sepanjang rumahnya sepi. Harusnya ada beberapa motor parkir di depan rumah beberapa meter dari rumahnya. Dia tahu beberapa pria sering nongkrong di sana. Anak gadis di rumah itu lumayan cantik. Jerry lebih tua satu tahun darinya. Mereka tak pernah bicara. Lain sekolah. Tapi Willy cukup akrab dengannya.

Jerry memperlambat laju motornya. Dia bisa melihat cahaya redup di dekat pagar rumah Julia. Tak ada orang di teras. Dia mematikan mesin motor lalu mengetuk pintu pagar. Tak lama kemudian seorang anak laki-laki keluar. Wajahnya seperti pernah dilihatnya. Dia membuka pintu pagar tapi tak berkata apa-apa.

Julia ada?” ujar Jerry mencoba berbasa-basi padanya.

Jerry hanya melihatnya menganggukkan kepala. Kemudian dia ditinggalkan sendiri di depan rumah. Jerry duduk di kursi kayu berwarna merah. Warnanya masih begitu baru dan mengkilat tertimpa cahaya lampu. Jerry menolehkan kepala begitu menyadari ada yang muncul di depan pintu. Dan tersenyum begitu menyadari kalau wanita itu Ibu Julia. Seorang anak kecil bersembunyi di belakangnya. Mengintip dengan mencengkram rok panjang ibunya. Matanya berbinar dan berkesan usil.

Tunggu sebentar ya. Julia sebentar lagi keluar,” ujar Ibu Julia.

Jerry mengangguk dan tersenyum sekali lagi. Dia melihat anak kecil itu sedang mengamatinya. Kemudian anak kecil itu menjulurkan lidah dan mengejeknya.

Rico, tak boleh begitu!” tegur Ibunya.

Jerry tersenyum dan menundukkan kepala. Tiba-tiba Julia muncul dengan pakaian sehari-harinya. Jerry pernah melihat Julia pakai baju biasanya. Saat itu di pintu gerbang dan rambut Julia masih dicat pirang. Lalu saat mengantar Ibunya ke tempat ini. Rasanya seperti kemarin ....

Bersambung ke: San Pek Eng Tay




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline