Lihat ke Halaman Asli

2XLOVE (I) 1: Kota Kecil

Diperbarui: 25 Juni 2015   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Deburan ombak berulang kali menghantam tembok pembatas bertinggi tak kurang dari lima meter itu. Beberapa kali percikannya menerobos masuk melalui jendela dan celah antara tembok pembatas dan atap. Air pasang sebentar lagi akan berlalu dan surut perlahan sedang menggantikannya. Langit pagi masih cukup gelap meskipun pantulan permukaan air masih dapat ditangkap mata tanpa bantuan cahaya buatan.

Di lapangan masih sepi melompong. Kucing yang entah dari mana asalnya sedang menggaruk nyaman punggungnya di atas sebuah meja dekat kantin. Semua tampak tenang, mungkin begitu pikiran si kucing mengamati wilayah sekitarnya yang sebentar lagi harus siap diusir manusia dari kenyamanannya.

Seorang wanita paruh baya dengan kulit hitam khas daerah pantai tanpa menghargai sedikit pun keberadaan si kucing seenaknya saja meletakkan sekeranjang bahan makanan di atas meja. Antara terkejut dan kesigapannya, kucing itu melompat dan mendarat dengan sempurna di atas lapangan yang telah bersemen licin.

Sambil mengeong jengkel, kucing itu berjalan meninggalkan arah kantin dengan rasa enggan. Di depan mata kucing itu kini terbentang sebuah gedung yang membuatnya berhenti melangkah setiap kali memandangnya. Meskipun nalurinya mengatakan bahwa gedung itu kini sepi dan aman, dia tetap tidak berani menapaki tangga gedung itu seperti yang pernah dilakukannya beberapa waktu lalu. Entah apa salahnya. Hampir setiap murid – terutama laki-laki – selalu menimpuknya dengan benda apa pun yang bisa mereka peroleh saat itu. Tubuhnya yang rentan air mungkin telah resistan karena berulang kali diguyuri air oleh murid-murid yang tidak suka padanya. Tapi, dalam keputusasaan maupun kemarahannya dia hanya bisa mengeong dan tidak pernah dipedulikan sama sekali. Sekarang, setiap kali melihat manusia dengan seragam putih abu-abu dia selalu menyembunyikan diri. Trauma! Dan kini, saat cahaya pagi telah begitu terang dia mulai cemas diri. Suara pintu gerbang didorong hampir membuat jantungnya copot. Sebentar lagi berpuluh-puluh hingga beratus-ratus murid yang menyengsarakan hidupnya akan menginjakkan kaki mereka di sini. Dia terburu-buru melarikan diri. Menuju celah-celah sempit sebuah bangunan yang hampir runtuh dan tak berpenghuni. Di sana bau pesing. Tepat di sebelah murid laki-laki membuang segala kotoran tubuh mereka. Dan ampunnya, jarang sekali disiram hingga bersih. Yah, dia hanya seekor kucing yang hina dina. Dan juga tak tahu kenapa induknya melahirkannya dalam lingkungan tak bersahabat sekitar enam bulan yang lalu.

Sebuah angkutan kota berhenti tiga hingga empat meter di depan gerbang masuk. Kemudian keluarlah beberapa orang murid. Tiga orang. Dan, merekalah murid-murid yang datang pertama pagi ini. Begitu ketiganya memasuki gerbang, seorang murid dengan sepeda berkayuh mendahului, membelok ke sebelah kiri. Bunyi tali rem becak ditarik sudah tak dapat didengar seorang murid pun yang kini berjalan pergi menaiki tangga. Turunlah seorang wanita berbadan gemuk dengan penuh hati-hati sementara si tukang becak tampak tak peduli. Belum sempat wanita itu memasuki gerbang, tukang becaknya sudah mengayuh pergi. Sepi lagi.

Pak satpam yang sedari tadi pergi kini datang dengan langkah kecil dan ringan. Santai betul. Mungkin memang maling tidak beroperasi di pagi hari. Atau mungkin juga maling enggan memasuki sekolahan. Dia mulai sok peduli. Menggambil kursi dia duduk mengawasi di pinggir pintu gerbang. Mengangguk-angguk sok kenal setiap kali ada murid yang menegurnya. Padahal, nama mereka belum tentu dia tahu.

Akhirnya satpam itu tersenyum cerah. Pekerjaannya usai seiring bel tanda masuk yang berbunyi. Siang hari rekan sesama satpamnya yang bertugas. Dia memegang pegangan pintu gerbang dan ototnya bermekaran saat dia menariknya menutup.

Tunggu, Pak!”

Sebuah suara menahannya menarik pintu lebih lanjut. Dia terdiam seperti orang bingung. Lalu tersenyum kecut atau mungkin sebel dengan orang di atas sepeda motor itu. Sudah berapa kali ya dia melihat wajah yang sering datang terlambat itu? Sekolah saja belum dua minggu dimulai. Tapi, seperti dia sudah lebih dari lima kali menahan pintu gerbang untuk murid itu.

Jerry segera memarkir motornya dan bergegas naik melalui tangga terdekat. Di sebelah halaman parkir dengan tulisan ‘tangga perempuan’. Dia laki-laki dan seharusnya naik melalui tangga dengan tulisan ‘tangga laki-laki’ di sudut bangunan yang berlawanan.

Sudah menjadi tak peraturan tertulis di sekolah ini. Murid laki-laki dan perempuan memiliki tangganya sendiri. Bisanya mereka akan ditegur atau bahkan dihukum bila ketahuan. Tapi, rupanya Jerry lagi beruntung. Atau justru sial? Sekarang dari tangga hingga sepanjang jalan menuju kelasnya sepi. Semua murid dan guru tentunya sudah bersiap memulai pelajaran pertama pagi ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline