Lihat ke Halaman Asli

Malam Mencekam

Diperbarui: 17 Maret 2018   21:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

"Kalian tunggu disini saja ya, nanti bisnya akan segera datang, bapak harus pergi mengantarkan yang lain, hati-hati dijalan." Tutur salah satu staff KBRI setelah beliau memesankan dua tiket bis untuk kami. Aku lupa namanya, tapi aku masih bisa mengingat dengan jelas raut wajahnya, beliau orang jawa, sangat baik.

"Baiklah, Pak. Terimakasih sudah mengantar kami kesini." Jawab kami berdua seraya menjabat tangannya, kemudian beliau berlalu.

Saat itu waktu menunjukkan sekitar pukul 17.00, kulihat di sekeliling sangat asing. Di Songkhla ini ku tidak banyak melihat orang berhijab ataupun memakai baju koko, bisa dihitung jari. Makanan halal disinipun agak sulit ditemukan. Kami  tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan oleh orang-orang, karena mereka mmenggunakan bahasa Thailand, bukan melayu kampung lagi. Tidak lama kemudian, datanglah sebuah minibus dan seorang lelaki berteriak, YALA!!!YALA!!YALA!! oh itu artinya bis  yang akan mengantarkan kami kembali ke Sekolah, back to reality.

            Kami pun memberikan tiket kepada lelaki itu lalu masuk ke dalam minibus, kami duduk paling belakang, bispun segera terisi penuh dan segera melaju. Dijalan kami habiskan dengan mengobrol, dan kemudian kami terlelap, atau hanya aku? Wkwk sekitar pukul 20.30 aku tersadar, dan sepertinya kami sudah berada di daerah Yala. Beberapa penumpang mulai turun, kami pun kebingungan akan turun dimana. Kemudian Hpku berdering. "Assalamualaikum, fadila dah sampai kat mana tuh?" Syukurlah, Ibu Kepalas Sekolahku menelpon. "Wa'alaikumsalam, Aka. Saya sampai Yala dah nih, tapi saya tak tahu nak turun dimana." Jawabku. "oh, nanti fadila turun di Coloseum, lepas tuh ayah-chan nak gi ambil fadila disana" Jawabnya. "Baiklah aka, terimakasih."

            Coloseum adalah sebuah supermarket satu-satunya yang ada di Yala. Aku pernah diajak kesana oleh Kepala Sekolahku itu. Aku lega mendengarnya ketika aku akan dijemput oleh Ayah-chan disana, sebab yang namanya supermarket kan pasti ramai meskpiun sudah malah begini jadi tidak akan takut menunggu jemputan. Oh iya, Ayah-chan, beliau adalah ayah bagi murid-murid disekolah, juga kami bagi kami, beliau sangat baik, sering mengantar kami keliling Yala. Melihat kami yang tak kunjung turun, sang supir bertanya tapi kami tidak mengerti apa yang dia tanyakan, kami asal jawab "Coloseum", dia kembali berkonsetrasi mengemudi, sepertinya dia menangkap baik maksud kami.

            Bis pun berhenti tepat di depan coloseum, sesuai harapan.. Tunggu dulu, tidak sepenuhnya sesuai harapan, suasana disini terasa sangat sepi dan mencekam. Kami memutuskan untuk masuk ke dalam coloseum untuk membeli makan selagi menunggu ayah chan datang, seingatku terakhir kali kami makan adalah setelah  upacara bendera, itu artinya sudah 5 jam yang lalu. Kulihat tanda tutup dipintu masuknya. Ternyata coloseum ini sudah tutup dari jam 20.00, aku lupa kalau warga di Yala ini sudah jarang beraktivitas dimalam hari demi "Keamanan".

            Rasa lapar semakin menjadi, kawanku mengajak berjalan ke sudut jalan lain untuk mencari makanan, namun aku enggan karena jalanan sangat sepi saat itu dan aku tidak yakin akan menemukan penjual makanan, tapi rasa lapar dan penasaran menggiring kami untuk menulusuri jalan itu. Setelah beberapa langkah berlalu tak kunjung kami temukan penjual makanan, kemudian aku mengajak temanku untuk kembali menunggu di depan coloseum, temanku mengiyakan. Suasana malam semakin terasa mencekam saat itu, aku mempercepat langkahku. Tiba-tiba datanglah satu mobil patroli berisikan para tentara lengkap dengan sejata ditangannya, jantungku berdebar keras, terlebih mereka memarkirkan mobilnya tepat 10 langkah di depan kami, lututku bergetar. Aku merasa seperti seorang buronan yang melihat polisi. Tentara-tentara itu membuka pos penjagaan, menghentikan dan memeriksa setiap kendaraan yang lewat didepannya. 

Aku berbisik kepada kawanku "Hey, aku takut. Kita cari jalan lain aja." "Teteh jalan aja, gak apa-apa, biasa aja jalannya, tenang." Sepertinya dia melihat wajahku yang penuh ketakutan dan kepanikan. Akupun mengiyakan karena tidak ada pilihan lain. Kami terus berjalan menuju Coloseum, aku bisa merasakan tatapan tentara itu, kakiku serasa melayang ketika melewati pos tentara tersebut, pikiranku tidak berhenti membayangkan kejadian-kejadian yang tidak diinginkan yang mungkin terjadi, sedangkan didalam hati aku tidak berhenti berdoa. Lututku bergetar hebat ketika aku telah sampai di depan Coloseum. Kawanku mengajak untuk menunggu di pinggir coloseum agar kami bisa luput dari tatapan tentara itu. 

Beberapa menit kemudian hpku berdering. "Fadilah, Ayah di sebrang Coloseum". Kami pun bergegas kembali ke depan Coloseum, kulihat mobil abu-abu terparkir di Sebrang Coloseum, ah itu pasti Ayah Chan, aku hapal betul mobilnya, seseorang melambaikan tangan kepada kami, kami pun membalasnya. Untuk menjangkau Ayah-Chan, kami harus kembali melewati pos penjagaan tentara tadi, aku mencoba bersikap biasa saja meskipun kaki ini inginnya segera berlari sekencang mungkin, kembali aku berdoa. Yang membuatku takut akan tentara itu adalah karena aku saat itu memakai backpack yang berisi penuh sampai menonjol dengan mengenakan busana muslim, dan tidak bisa bahasa Thai, aku takut mereka menyangka kami yang tidak-tidak.

            Syukurlah Ayah-chan segera datang menjemput, tanpa berpikir panjang kami masuk ke dalam mobil. Tunggu dulu, siapa kedua orang yang berada dimobil ini? Wajahnya asing, aku belum pernah melihat wajah-wajah ini. Dimana Ayah-Chan? Apakah kami salah naik mobil? Tapi kenapa tadi mereka melambaikan tangannya kepada kami? Aku mencolek temanku "Mereka siapa?" kembali pikiranku memutar kejadian yang tidak diinginkan, ini penculikan!!!!!! Mau dibawa kemana kami? Mau diapakan kami? Kabur, kamu harus Kabur!!. Aku buyar. Temanku menggelengkan kepala. Aku segera megambil Hp untu menelpon Ayah-Chan dengan jantung yang kembali berdetak hebat. Kemudian kedua orang tadi tersenyum, "Saya anak Ayah-Chan, tadi saya sedang di jalan, jadi sekalian jemput kalian." Jawaban yang melegakan, perlahan jantungku berdetak normal. "Ayah-Chan dimana?" Tanyaku memastikan. "Duk di Rumah" Jawabnya. 

            Aku sedikit menggerutu dalam hati, kenapa Ayah-Chan tidak bilang kalau anaknya yang akan menjemput kami, tapi aku bersyukur bisa pulang dengan selamat, diperjalanan aku menceritakan ketakutanku tadi, kami tertawa. Hilang sudah rasa takut dan mencekam, rasa takut yang aku buat-buat sendiri.

           




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline