Akhir-akhir ini berita mengenai Presidential Threshold ramai menghiasi media massa, lalu apa sebenarnya arti istilah tersebut. Secara sederhana Presidential Threshold adalah ambang batas kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara partai politik untuk mencalonkan presiden. Ambang batas ini dalam tiap pagelaran pemilu kerap berubah-ubah, kini ambang batas tersebut berada pada angka 20%. Adanya PT 20% ini oleh sebagian pihak diharapkan mampu memperkuat sistem presidensial, sebagaimana yang diklaim oleh fraksi yang mendukung ambang batas 20% pada rapat paripurna pada tahun 2017.
Isu penurunan ambang batas dalam Presidential Threshold kembali muncul ke permukaan ketika banyak politisi dan tokoh yang menginginkan penurunan ambang batas bahkan hingga ke angka 0%. Salah satunya Refly Harun, ahli tata negara tersebut mengatakan bahwa Presidential Threshold adalah aturan yang didorong oleh partai besar untuk menjaga kekuasaan dan menjegal partai-partai kecil.
Adapun Rocky Gerung juga melontarkan pendapat yang senada, ia menilai Presidential Threshold adalah cara agar para pelaku oligarki tetap mempertahankan kekuasaan. Ia menambahkan bahwa ambang batas tersebut nampaknya akan sulit diubah mengingat para oligarki tidak menghendaki hal tersebut.
Efek nyata Presidential Threshold sudah bisa dirasakan, pada pagelaran Pilpres 2014 dan 2019 lalu kita hanya ditawarkan dua calon saja, hal ini diakibatkan ambang batas yang terlalu tinggi sehingga untuk mencalonkan presiden maka partai-partai perlu berkoalisi. Hal ini mengacu pada Pasal 222 UU Pemilu yang berbunyi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".
Jika saja ambang batas tersebut diturunkan atau dihilangkan, maka polarisasi politik dan konflik horizontal yang selama 7 tahun terakhir ini bisa saja menghilang, polarisasi ala "cebong" dan "kampret" adalah hasil dari hanya ada dua calon presiden. Hal yang unik adalah sistem kita menganut multipartai namun hanya memiliki dua capres, menjadi ironi ketika Amerika Serikat yang berbasis dwipartai memiliki capres lebih dari dua. Jika saja ambang batas diturunkan bukan tidak mungkin kita memiliki calon alternatif selain dua capres tersebut yang bisa saja memiliki kelebihan dan kapabilitas. Dengan adanya banyak capres bisa dipastikan masyarakat bisa memiliki pilihan lebih banyak dan iklim kompetisi dalam pemilu makin kompetitif sehingga bisa menghasilkan presiden yang kompatibel.
Kita sebagai warga negara seharusnya aktif dan peduli terhadap isu ini, mengingat masa depan negara ini berada di tangan kita bukan berada di tangan para oligarki. Bukan tidak mungkin kedepannya setelah ambang batas diturunkan atau dihapuskan kita bisa memotong ongkos politik sehingga banyak dari kita yang tertarik untuk maju dalam kontestasi politik, atau bahkan akan muncul kandidat independen yang tidak lagi memerlukan partai sebagai kendaraan dalam berpolitik. Hal-hal tersebutlah yang ditakutkan oleh oligarki beserta elite politiknya, ketika mereka tidak bisa lagi menempatkan boneka dan orang-orang mereka untuk berkuasa dan mengeruk segala keuntungan dalam sistem tersebut. Jalan Hukum seperti Judical Review masih bisa dilakukan untuk menggugat PT 20%, atau mungkin alternatif lain ialah demonstrasi turun ke jalan menuntut para wakil rakyat di Senayan untuk merevisi ambang batas Presidential Threshold
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H