Lihat ke Halaman Asli

Saudagar Dulu, Dokter Kemudian

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

APA cita-cita Anda? Jika pertanyaan itu disampaikan kepada anak-anak sekolah, pasti banyak yang spontan ingin menjadi dokter. Termasuk anak-anak di pelosok kampung sekalipun. Apa kira-kira alasan anak-anak itu bercita-cita menjadi dokter? Tentu susah memastikan. Sebab, mereka masih anak-anak yang tentu belum memiliki gambaran utuh tentang sebuah masa depan. Kalaupun ada jawaban, paling-paling juga spontan karena dokter suka menolong.

Dalam sebuah kesempatan, Mantan Wapres Jusuf Kalla pernah menyampaikan keheranannya mengapa cita-cita menjadi dokter itu begitu kuat tertanam pada banyak anak-anak. Jika tidak menyebut jadi dokter, mereka biasanya bercita-cita ingin menjadi guru, pilot, tentara, atau insinyur. Kata Pak Kalla, kenapa terbilang jarang yang becita-cita ingin menjadi saudagar atau pengusaha?

Bisa jadi jawaban ingin menjadi dokter itu kerap spontan keluar dari mulut anak-anak karena mereka sudah sangat akrab dengan Pak Dokter. Betapa tidak. Coba mulai dari perut sang ibu, lahir, tumbuh, dan seterusnya sudah bersentuhan dengan dokter. Apalagi anak-anak yang memang rentan sakit, tentu menjadi pelanggan para dokter. Nah, sentuhan sejak lahir itulah yang sangat mungkin membuat kata dokter itu menjadi terasa renyah di lidah anak-anak. Ya, mungkin serenyah rasa fast food yang juga sangat digandrungi anak-anak.

Tapi, andai saja anak-anak itu mengetahui bahwa biaya menjadi dokter itu sangat mahal, mungkin ada yang berfikir ulang. Sebab, dari mana orang tuanya mendapat uang untuk bisa kuliah di fakultas kedokteran? Tapi, tentu banyak juga yang tidak masalah dengan biaya besar untuk bisa masuk menjadi dokter itu. Toh, selama ini sudah terstigma bahwa untuk menjadikan kualitas bagus maka butuh biaya tidak sedikit. Jerbasuki mawa bea. Toh, bila kelak menjadi dokter dengan pasiennya sangat banyak serta tempat praktiknya juga banyak, biaya itu akan kembali bukan? He..he…

***

Biaya kuliah kini semakin mahal. Jika dulu cap mahal tersebut identik dengan swasta, kini tidak jauh beda. Beberapa kampus negeri sekarang ini juga mematok biaya kuliah sampai ratusan juta. Bayangkan, untuk mewujudkan mimpi menjadi dokter di Unair melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK) umum atau jalur mandiri, kini mesti membayar sumbangan Rp 200 juta. Ini angka minimal lho! Jadi, bisa nyumbang Rp 500 juta, atau sampai Rp 1 miliar. Namanya saja sumbangan, masak orang nyumbang banyak ditolak? Uang SPP per semesternya juga mencapai Rp 6 juta atau Rp 1 juta per bulan.

Jika untuk lulus membutuhkan waktu sepuluh semester, maka biaya SPP sampai lulus Rp 60 juta. Ditambah uang sumbangan Rp 200 juta itu,maka total biaya pengeluaran jadi dokter itu mencapai Rp 260 juta. Belum lagi uang lain-lain. Misalnya, uang kos, buku, makan, jaja, uang pulsa, dan kebutuhan hidup lain bagi mereka yang dari kampung. Taruhlah setiap mahasiswa mendapat jatah uang dari orang tua Rp 1,5 juta per bulan untuk biaya hidup, maka total mencapai Rp 90 juta selama lima tahun itu. Jika ditambahkan, ketemu Rp 350 juta. Sekali lagi, biaya itu minimal. Bahkan, seorang kawan dokter menyebut, untuk bisa mengantongi gelar dokter paling tidak mesti tersedia uang Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar!

Dengan biaya sebesar itu rasanya sangat sulit bagi keluarga pas-pasan mewujudkan mimpi anak-anaknya menjadi dokter itu. Memang. Untuk bisa menjadi dokter melalui Unair itu masih ada jalur lain yang relatif murah. Yakni, melalui seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN). Biaya SPP dan sumbangannya tidak segede jalur mandiri itu. Tetapi, untuk bisa menembus, ibaratnya sesulit mencari jarum di jerami. Sebab, daya tampung sedikit, peminat membeludak.

Mereka yang berkecukupan finansial jelas lebih diuntungkan. Secara matematis, mereka terbuka dua jalan mewujudkan mimpi atau cita-cita. Jika gagal lolos SNM PTN, masih terbuka lebar untuk jalur mandiri. Sebaliknya, bagi mereka yang awang-awangen begitu membayangkan biaya sebesar itu, tentu hampir mustahil mendaftar melalui jalur mandiri. Mending untuk makan atau kebutuhan lain. Karena itu, kalau berkeinginan menjadi seorang dokter, rasa-rasanya anak-anak itu lebih baik bercita-cita menjadi saudagar atau pengusaha seperti disampaikan Pak Kalla. Dengan demikian, kelak saudagar-saudagar itu bisa menguliahkan anak-anaknya bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline