Saat gonjang-ganjing tentang rencana pembangunan tol tengah Kota Surabaya tahun lalu, Kali Cheonggye (Cheonggyecheon) disebut-disebut sebagai satu contoh kegagalan tol tengah. Tokoh yang menyebut kata itu adalah Prof Johan Silas, pakar tata kota ITS. Cuma, cara baca kata Cheonggyecheon itu sendiri saya tidak tahu persis. Ah, Tuhan Maha Mendengar. Pertengahan Mei lalu, rupanya saya mendengar lagi kata asing itu. Ya, di sela-sela acara mendatangi acara Samsung Smarter Life, saya mendapat kesempatan lebih dekat mengenal Kali Cheonggye.
Kali Cheonggye adalah sebuah aliran kali yang terletak di pusat Kota Seoul, Korea Selatan. Air kali itu mengalir kira-kira sepanjang 10 km, dari barat ke timur. Meski sulit melafalkan Cheonggye, tetapi artinya kurang lebih adalah air bening di bukit bersih. Tentu saja, saya tahu karena ada orang Korea Selatan yang memberi keterangan. Namanya Park J.S. Bukan Park Ji Sung pemain Manchester United asal Korea Selatan itu, tapi Park Jeong Seo. Dia ini adalah seorang travel guide yang sangat fasih berbahasa Indonesia. Katanya, dari sekian juta warga Korea Selatan, Mr Park ini termasuk 15 orang yang mahir berbahasa Indonesia. Maklum. Istrinya orang Banyuwangi dan cukup lama bekerja di Bali. Tidak cukup waktu bagi saya untuk berlama-lama berada Kali Cheonggye. Namun, di sungai terbuka itu, saya bisa merasakan denyut dan aura sejarah panjang Korea Selatan. Dalam babakan sejarah, kali itu seolah menjadi saksi bisu perjalanan panjang negara yang pernah menjadi tuan rumah Piala Dunia tersebut. Menelusuri kali ini, rasanya bukan sebatas menelusuri seni dan keindahan. Cipratan airnya seolah mampu bercerita akan perjalanan kehidupan warga Korea Selatan. Suasananya cukup tenang. Lalu-lalang beragam kendaraan bermotor di atasnya, tak menggoyahkan ketenangannya. Di bantaran kiri dan kanan kali itu dibangun pedestrian. Jalur khusus untuk para pejalan kaki. Tentu, agar mereka dapat menikmati udara sejuk, mendengarkan aliran air yang menyegarkan. Ada pula air mancur dan air terjun buatan. Kerlap-kerlip lampu. Saya menyaksikan, betapa riang dan tenangnya anak-anak, kakek-nenek, hingga pasangan muda-mudi. Ada yang meniti jembatan batu, duduk-duduk santai, menyelupkan kaki di air, bermain ayunan, bermain bola, hingga foto-fotoan. Saya sendiri menikmatinya santai dengan ditemani sebungkus Mild. Wow, sungguh ada nuansa romantisme seperti layaknya film-film drama Korea. Tentu, wujud Kali Cheonggye seperti saat ini bukan bimsalabim. Prosesnya cukup panjang berliku seperti aliran kali itu sendiri. Kata Mr Park, dirinya masih ingat betul cerita soal kali itu. Dulu, di pinggir kali itu banyak berdiri rumah-rumah kumuh. Mereka adalah para kaum urban yang ingin mengadu nasib di kota besar. Kali itupun menjadi tempat pembuangan kotoran. Di musim penghujan, kerap berubah menjadi ancaman. Berulang kali air meluap dan banjir. Sistem lalu lintas dan kebersihan lingkungan Cheonggye semakin ruwet dan menjadi persoalan serius kala perang Korea meletus pada kurun 1950. Belum tuntas Mr Park bercerita, saya mengambil sebatang rokok A Mild lagi. Setelah itu, Mr Park pun melanjutkan ceritanya dengan mimik serius. Sekitar 1954, pemerintah mulai membangun proyek-proyek untuk kebersihan dan lingkungan sanitasi kota. Kali itu ditutup dengan beton. Para pemukim liar direlokasi ke beberapa apartemen sederhana atau rusun. Dibangunlah jalan layang atau tol di atasnya. Babakan berikutnya, 1960 – 1970, kawasan itu menjadi saksi industrialisasi dan modernisasi Korea Selatan. Dalam perjalanannya, area itupun menjadi krodit. Kemacetan panjang di mana-mana. Rupanya kebijakan menutup kali dan menggantinya dengan tol itu bukan seperti motto Pegadaian. Alih-alih mengatasi masalah tanpa masalah. Sebaliknya, tidak mengatasi masalah, malah menambah masalah. Singkat cerita, saat menjabat wali kota Seoul pada 2003, Lee Myung Bak melakukan terobosan berani. Yakni, merevitalisasi Kali Cheonggye. Pertama yang ia tempuh adalah membongkar jalan tol yang berdiri di atasnya. Tentu saja, kebijakaan wali kota itu dianggap gila. Kritikan dan unjuk rasa seolah menjadi menu sehari-hari. Maklum, jika dipikir sepintas, ada sejumlah dampak negatif dari kebijakan itu. Paling tidak, kemacetan lalu-lintas. Pikir mereka, wong ada tambahan jalan layang saja macet, apalagi kalau akses alternatif itu dirobohkan. Di area itu, semla ada 12 jalur termasuk jalan layang itu. Setiap hari dilalui 100.000 kendaraan. Dengan proyek revitalisasi itu maka berkurang empat jalur. Tidak hanya dampak tersebut. Katanya, ada sekitar 60.000 toko dan lapak para PKL (pedangang kali lima) yang terpaksa digusur. Tapi, kebijakan itu dibarengi dengan mencari jalan keluar. Pemkot Seoul melakukan berbagai ikhtiar. Di antaranya, membolehkan PKL menggunakan stadion olahraga di Dongdaemun untuk tempat berjualan. Stadion pun berubah menjadi pasar yang semrawut. Tidak ada masalah. Nyali sang wali kota untuk merevitalisasi tidak kendur. Bahkan, makin berkobar. Awalnya kontroversial. Namun, kalau dalam agama Islam langkah itu agaknya diyakini wali kota sebagai bentuk ijtihad. Artinya, tetap mendapat pahala bukan? Salah dapat satu pahala, benar mendapat dua. Proyek revitalisai itu jalan terus. Dengan catatan, harus dilaksanakan dengan cepat dan dalam tempo sesingkat-singkatnya. Dengan demikian, dampak-dampak negatif bisa cepat tereduksi. Tepat 2 tahun 3 bulan, atau 1 Oktober 2005, Kali Cheonggye terlahir kembali. Wajahnya lebih molek dan menggemaskan dari sebelumnya. Kini, area itu menjadi benar-benar menjadi kebanggaan warga Korea Selatan dan menjadi salah satu wisata populer. Ketika ada wisatawan yang melintas kali itu, pasti menjadi bahan cerita. Kenekatan wali kota terbukti anfa'uhum linnas. Memberikan banyak manfaat pada manusia. Terutama memperbaiki lingkungan ekologi kota. Kabarnya, revitalisasi itu membantu penurunan panas suhu di tengah kota hingga 3,6 derajat Celsius. Kali Cheonggye kini mampu menjadi tabung oksigen baru untuk tambahan nafas segar bagi kehidupan warganya. Kata Mr Park, keuntungan ekonomi juga berlipat. Dari perhitungan Pemkot Seoul, keuntungan ekonomi dari proyek revitalisasi itu mencapai 23 triliun Won atau sekitar 22 milliar Dolar (Kalikan sendiri kalau dirupiahkan, 1 Won = 8 Rupiah). Selain itu, juga menambah lapangan kerja untuk lebih dari 300.000 orang. Jika dikalkulasi secara matematis, manfaat ekonomi tersebut 60 kali lebih besar dari pada biaya proyek. Sungguh sepuluh jempol untuk Wali Kota Lee. Ketegasan dan keberanian Lee juga disebut-sebut ikut mengantarkannya sebagai Presiden Korea Selatan sejak 2007. Berarti, Lee naik beberapa tingkat. Karena hitung-hitungannya, sebelum menjadi Presiden, jadi gubernur dulu, setelah itu menteri, wakil presiden, baru menjadi presiden. Tapi, jika rakyat sudah cinta, toh semuanya bisa terjadi. Bukankah seperti ungkapan kuno: Vox populi, vox dei. Ya, suara rakyat suara Tuhan. *** Menikmati Kali Cheonggye, saya jadi teringat Kalimas. Klise memang, tapi kita sudah biasa membanding-bandingkan dan harus terbiasa berfikir membandingkan. Karena dari teori perbandingan, selalu akan muncul tindakan bukan? Nah, sudah sangat lama, suara untuk merevitalisasi Kalimas itu terdengar. Walaupun toh suara itu timbul tenggelam. Sepintas, Kali Cheonggye tidak jauh beda Kalimas. Sama-sama anak sungai. Panjang Kalimas juga tidak jauh beda. Yakni, sekitar 12,5 km. Juga membelah kota. Kalimas juga menyimpan babakan cerita panjang perjalanan Kota Surabaya yang kini berulang tahun ke-718. Hanya, nasibnya saja yang belum semujur Cheonggye. Beberapa tahun belakangan, memang area Kalimas sudah direvitalisasi sebagian. Wajahnya pun lumayan cantik juga. Lihat saja, Taman Prestasi Ketabang dengan arena skate boardnya, dan beberapa bagian lain. Blue print revitalisasi Kalimas sebetulnya sudah ada sejak lama. Kalau melihat cetak biru Kalimas, sungguh bagus juga. Cuma, tinggal langkah konkret mewujudkannya. Dan, itu benar-benar mesti langkah ’’mbonek’’ seperti Wali Kota Lee Myung Bak. Pembangunan wilayah urban seperti Kota Surabaya ini memang tidak hanya membutuhkan konsep. Namun, juga membutuhkan ketegasan dan keberanian politik. Siap dicaci karena mungkin awalnya dianggap tidak populer. Begitu terasa kemanfaatnnya, pasti menuai mentari dan simpati. Membandingkan Cheonggye itu setidaknya bisa belajar bahwa tidak mudah menata warga kota dengan aneka ragam keinginan. Namun, di antara terus menjamurnya bangunan-bangunan beton dan gedung pencakar langit di Surabaya, ada satu hal yang sudah pasti dirindukan masyarakat. Yakni, selalu ingin dekat dengan alam seperti lagu Rhoma Irama yang judulnya saya sendiri lupa. Sebab, dekat dengan alam itu khittah. Nah, apakah warga kota masih berdebat tentang membangun tol tengah kota? Kalau ya, sebaiknya kita tertawakan saja atau pisuhi ramai-ramai. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H