Lihat ke Halaman Asli

Deddy Huang

TERVERIFIKASI

Digital Marketing Enthusiast | Blogger | Food and Product Photographer

Senandung Harapan Ramadan di Tengah Pandemi

Diperbarui: 27 April 2020   16:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Ramadan (sumber : kompas.com)

Hari ini kita bersama-sama merasakan sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya, terutama saat bulan Ramadan datang. Bulan Ramadan identik dengan masjid, tapi sekarang untuk sementara waktu belum boleh berkerumunan. Biasanya, ada yang mengajak berbuka bersama tapi sekarang tidak boleh, semua orang harus di rumah saja.

Kalian sudah mulai bosan?

Awalnya Merasa Aneh

Telah dua bulan mengisolasi diri di rumah sejak kasus pertama di Palembang. Sore itu suasana di komplek langsung gempar. Broadcast berita simpang siur sulit saya bendung, hingga akhirnya saya memutuskan koneksi internet sejenak. Bagaimana tidak radius jarak rumah saya dengan kasus pertama masih dalam satu wilayah.

Hati saya gelisah, bercampur aduk seperti kopi hitam yang dicampur gula lalu diaduk berulang kali. Gangguan psikosomatis kerap terjadi ketika ada pemicu dari pikiran dan sangat mempengaruhi emosi. Saya yakin, bukan hanya saya seorang yang merasakan demikian.

Awalnya hanya rasa nyeri tertentu pada tubuh karena selama pandemi lebih banyak di rumah. Minim aktivitas gerak, dan menghabiskan waktu di depan layar laptop. Beberapa kali, ibu menangkap sinyal kegelisahan saya. Mulai dari pola nafas kurang terkontrol, melamun kosong sampai pada gejala akut suka menyalahkan diri sendiri. Bahkan untuk ibadah pun menjadi tak khusyuk untuk melepas segala beban pikiran agar tertuju pada Tuhan.

Kamu Rasa, Saya pun Rasa

Menyempurnakan ibadah adalah hal yang diharapkan oleh masing-masing insan hidup. Apalagi bagi teman-teman muslim. Tak terkecuali saya pun sebagai non muslim. Memang benar, kualitas ketakwaan kita kepada Allah tidak bisa diukur oleh mata telanjang. Seperti kita menutupi aib diri kita sendiri. Hanya diri kita sendiri dan Tuhan yang tahu.

Bolehkah kita bersedih? Ya tentu saja boleh, karena sedih adalah pecahan rasa yang dimiliki oleh setiap insan hidup.

Ramadan tahun ini berbeda sekali. Bumi seakan-akan menjadi sempit tanpa ruang. Kehidupan kita semakin terasa sedih dan gelisah. Kita pun disuguhkan dengan berita yang sedih. Acap kali membuka berita di televisi seakan ingin langsung mengganti saluran lewat remote. Banyak nyawa yang pergi bahkan keluarga pun tidak bisa melihat untuk terakhir kalinya. Hampir 24 jam setiap harinya berita di televisi membentuk gangguan psikosomatis bagi sebagian orang.

Kita semua seakan tak berdaya menangani korona, selain meminimalkan penularan antar sesama lewat di rumah saja. Patuh pada anjuran protokol kesehatan dari Menteri Kesehatan. Mulai dari kebijakan belajar di rumah, work from home, larangan penyelenggaraan kegiatan yang melibatkan banyak orang hingga larangan untuk berada dalam kerumunan orang-orang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline