Pertemuan saya dengan Nenek Amina Sabtu hanya sebentar sebelum melihat Paji Nyili Nyili dan Ake Dango, sebuah upacara adat menyambut Hari Jadi Tidore. Tak sampai setengah jam saya dan rombongan bertandang ke rumahnya di Tidore. Kami tidak banyak bercakap. Semua terkesima mengelilingi Nenek Amina yang juga sedang melihat kami satu persatu sambil kami berjabat tangan dengan beliau.
Dikelilingi cucu dan cicitnya, Nenek Amina masih memiliki penglihatan tajam dan suara tegas. Saya tidak mengira kalau saya berada di dalam rumah penjahit bendera Merah Putih pertama yang berkibar di Indonesia Timur, 1946.
Ini akan menjadi perjumpaan lifetime moment dalam perjalanan kami di Tidore. Malam itu Tidore cuaca yang tak lazim, dingin. Rombongan kami menggunakan mobil oranye bak terbuka menumpang ke rumah Nenek Amina.
Mungkin tak ada yang mengenal siapa Nenek Amina. Memang sosok yang berjasa sering terlupakan atau memang karena beda generasi. Saya sendiri baru tahu ketika diceritakan oleh Kak Ita, orang Tidore yang mengajak saya untuk berkenalan lebih dekat dengan Tidore termasuk mengenalkan Nenek Amina. Peran Nenek Amina saat kemerdekaan Indonesia menjadi saksi hidup sekaligus figur penting pada 18 Agustus 1946 di Tanjung Mareku, Pulau Tidore bersama sepupunya, Abdullah Kadir.
Kalau saya mengenal Ibu Fatmawati yang menjadi penjahit bendera Merah Putih yang dikibarkan pada pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka boleh dibilang Nenek Amina merupakan Fatmawati dari Tidore.
KEBAIKAN JANGAN DITAHAN
Sepulangnya dari Tidore, kami sibuk dengan rutinitas masing-masing namun tetap terhubung lewat media sosial. Sekelebat saya membaca status dari Mas Eko yang menanyakan perihal hadiah apa kiranya yang layak diberikan pada seorang pahlawan terlupakan? Kalau berupa uang, berapa nilai yang pantas?" Demikian pertanyaan yang saya lempar melalui status Facebook.
Tak berselang lama, Mas Eko mengirimkan saya pesan singkat mengenai gagasan dia ingin memberikan sejumlah uang untuk Nenek Amina. Uang itu nantinya akan diberikan langsung pada saat Upacara 17 Agustus 2017.
Entah apa yang menggerakkan Mas Eko untuk kembali lagi ke Tidore dengan biayanya sendiri. Mengetahui niat baik seperti ini tentunya saya perlu didukung. Saat itu, Mas Eko juga memberikan halaman untuk orang bisa berdonasi lewat startup KitaBisa dengan target nominal 10 juta rupiah. Angka yang sebenarnya tidak cukup untuk apresiasi Nenek Amina, tapi daripada tidak?
Saya juga tergerak ikut membantu menyebarluaskan informasi penggalangan dana ini agar dalam waktu dekat dapat terkumpul dan Mas Eko bisa memberikan secara langsung uang tersebut untuk Nenek Amina. Beberapa kali sempat bertanya ke Mas Eko mengenai perkembangan uang yang terkumpul. Saya sendiri lebih memilih untuk berdonasi secara pribadi agar bisa menambah di luar donasi yang diharapkan.
"Mas, tunggu sebentar ya, aku nggak ketemu ATM terdekat. Soalnya aku lagi diluar kota," seruku sama Mas Eko lewat pesan pendek. Mas Eko sendiri sudah berada di Tidore untuk menghadiri acara Upacara Hari Kemerdekaan Indonesia. Ide Mas Eko yang berniat mengumpulkan dana untuk Nenek Amina membuat kami tergerak untuk ikut membantu.