Papua Barat, propinsi yang berada di kepala burung peta Indonesia ini memiliki harta karun terpendam yang belum banyak tersentuh oleh banyak orang. Namun, ketenaran nama Raja Ampat sebagai salah satu destinasi impian bagi tiap orang sudah tidak perlu diragukan lagi. Apa iya Raja Ampat sebegitu menariknya sampai turis asing pun rela tinggal berbulan-bulan untuk menikmati pemandangan bahkan menyelam. Raja Ampat menjadi kawasan yang memiliki potensi lokal untuk membangun masa depan pariwisata Papua.
Perjalanan saya ke Raja Ampat beberapa minggu lalu merupakan hal yang tampaknya mustahil bagi saya lakukan. Namun, rejeki berkata lain saya pun berhasil menginjakkan kaki dan snorkeling di Raja Ampat! Apa yang tidak mungkin bagi Tuhan jika Ia sudah berkehendak? Seperti Raja Ampat, kepulauan yang mayoritas dikelilingi oleh laut membuat warga lokal mampu berkreasi untuk meningkatkan pariwisata yang bermanfaat bagi lingkungan mereka.
Hampir 24 jam perjalanan saya bisa sampai dari Palembang ke Raja Ampat. Lewat maskapai penerbangan melalui 3 kali transit antara Jakarta, Makasar dan Sorong tentunya menjadi pengalaman pribadi yang akan membekas diingatan saya. Apa yang dikatakan tentang traveling ke Raja Ampat harganya sebanding seperti kita traveling ke luar negeri bahkan bisa lebih. Memang benar. Harga sewa boat bisa berkisar 8 juta – 30 juta, belum lagi harga bahan bakar untuk mengunjungi pulau ke pulau yang jaraknya jauh. Maka memang disarankan mengunjungi Raja Ampat secara berkelompok sehingga bisa patungan bujet perjalanan. Sudah banyak paket wisata Raja Ampat yang murah berkisar 2,7 juta – 4,5 juta sesuai dengan lamanya hari dan destinasi wisata yang ingin dikunjungi.
Sorong menjadi pintu gerbang wisata Papua Barat. Sejak tahun 2003, Raja Ampat menjadi kabupaten pemekaran dari Sorong. Maka saat kita ingin berkunjung ke Raja Ampat, tentu kita akan singgah ke Waisai, salah satu distrik di Kabupaten Raja Ampat menjadi gerbang apabila kita ingin mengunjungi wilayah Kabui, Painemo, dan Wayag. Untuk tiap orang yang akan masuk ke Raja Ampat haruslah membayar uang retribusi wisatawan yang nantinya uang tersebut dikelola untuk operasional pariwisata setempat. Biaya sekali masuk ke Raja Ampat untuk turis lokal sebesar Rp 500.000, sedangkan turis asing sebesar Rp 1.000.000 yang berlaku selama 1 tahun dan dihitung dari tahun masuk. Jadi bisa kalian hitung berapa bujet yang perlu ditabung untuk bisa mengunjungi Raja Ampat apabila tidak secara berkelompok atau mengikuti tur lokal.
Rasanya 4 hari 3 malam di Raja Ampat belumlah cukup untuk dapat belajar dan menemukan harta yang tersembunyi. Namun, waktu yang singkat ini membuat saya belajar tentang bagaimana suatu pariwisata yang dikelola baik dan kurang baik untuk dapat menyukseskan program Kementrian Pariwisata. Dilihat dari sisi pengelolaan yang ada di tempat wisata seperti Wayag dan Painemo ini merupakan contoh kecil bagaimana retribusi yang masuk tersalurkan ke pemilik desa untuk digunakan kembali menjaga kelestarian alam Raja Ampat.
Namun sayang sekali seperti objek wisata yang dikunjungi masih minim dengan infografis asal muasal dan sekali lagi seperti orang travel lokal setempat yang menemani kami pun juga tidak mengetahui asal kenapa terbentuknya objek wisata tersebut. Seperti Batu Pensil di Kabui, sewaktu saya bertanya kenapa diberi nama Pensil. Dia hanya menjawab dulunya ditemukan pensil di atas karang, sehingga jadilah nama Batu Pensil. Padahal, apabila ada yang bisa menjelaskan tentang Raja Ampat, saya yakin akan meningkatkan hubungan yang memuaskan dari keunikkan yang sudah ada. Atau ini oleh karena saya tipikal pejalan yang senang akan histori agar dapat belajar hal-hal baru di tiap perjalanan baru saya.
Terlepas dari hal tersebut, saya sangat menikmati tiap perjalanan selama di Raja Ampat. Deburan air laut di tengah laut Halmahera, bahkan air yang bening seolah kita dapat berkaca langsung. Ikan pun mondar-mandir sewaktu kaki menceburkan diri di air. Melihat batu koral yang sangat cantik, termasuk salah satu kampung yang membuat saya merasa damai. Kampung Yenbuba, kawasan ini merupakan salah satu kawasan snorkeling terbaik di Raja Ampat. Terkenal dengan batu koral dan karang yang masih terawat. Serta ikan warna warni yang banyak. Rasanya sulit sekali diungkapkan dengan kalimat bagaimana perasaan saya sewaktu pertama kali menceburkan diri dengan life jacket untuk melindungi diri, saya terbuai oleh pemandangan sungguh indah alam bahari di Yenbuba.
Sore itu, banyak anak-anak kampung Yenbuba berlari-lari ke arah junjungan dari jauh. Mereka seperti menyambut kedatangan rombongan kami untuk menikmati snorkeling di halaman depan. Saya pun tak ingin melewatkan momen untuk berinteraksi dengan mereka, jagoan kecil yang mungkin nantinya akan mengenalkan Raja Ampat lebih luas. Anak-anak inilah akan menjadi masa depan pariwisata Papua.
Bagai gayung bersambut, mereka senang sekali diajak bermain sekaligus berfoto bersama. Bahkan, Mishella, teman baru saya mengajak anak-anak kampung Yenbuba berjoget bersama. Saya hanya sebentar snorkeling di Yenbuba, karena sebelumnya sudah terlebih dahulu snorkeling di Arborek. Kedua tempat ini memiliki terumbu karang yang bagus, hanya saja Yenbuba lebih banyak ikan dan karang yang indah.
Beranjak istirahat sejenak dari snorkeling, pandangan saya tertuju dengan kampung Yenbuba dari arah kejauhan. Ada bangunan gereja yang menarik perhatian saya untuk saya berjalan mendekat ke arah kampung. Kaki saya berjalan sekitar 200 meter masuk ke dalam, tersenyum memberi salam ke seorang bapak yang berada di depan gapura kampung.
“Bapak saya merasa damai sewaktu berada di kampung ini.” saya membuka obrolan.