Lihat ke Halaman Asli

Provokator di depan barisan

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

129813461255779694

[caption id="attachment_91955" align="alignleft" width="300" caption="Sumber: spinninglizzy.wordpress.com"][/caption] Menjadi pemimpin bukanlah pilihan, tetapi suatu keharusan. Saat menjadi pemimpin pada unit keluarga, maka disanalah kepemimpinan dijalankan. Bukan hanya sebagai suami, tetapi juga istri, pada bagian masing-masing. Sebagai anak pun kepemimpinan mulai diperkenalkan dan dijalankan. Mmm... tulisan ini bukan masalah kepemimpinan, tetapi lebih pada posisi kita, dimanapun dan sebagai apapun kita (suami, istri, anak, dll) dalam keluarga. Apapun posisinya, saatnya ada harus berada di depan barisan, sebagai provokator... Saat mempunyai anak pada tingkat enam (kelas 6 maksudnya), pikiran utama orang tua adalah kemanakah anaknya akan melanjutkan sekolah. Apakah ke sekolah anu yang mempunyai reputasi bagus, atau tetap melanjutkan pada sekolah "yang sama" agar semua aman-aman saja, atau mengikuti ajakan rekan lain untuk me-mondok-kan anaknya ke pesantren terkenal. Pilihan ini menjadi semakin rumit setelah pendapat diri sendiri dipadukan dengan pendapat ibu/bapak si anak. Dan, pastinya, akan semakin memanas saat mana dipadukan lagi dengan kemauan si anak. Panas disini bukanlah selalu berarti perpecahan pendapat, tetapi juga bisa kekuatan pendapat karena memang searah. Yang repot memang jika bapak dan ibu mempunyai pendapat yang sama, tetapi si anak cenderung "mengikuti" pendapat teman-teman dekatnya. Dalam menghadapi hal demikian, yang pernah saya lakukan adalah pertama mempunyai pilihan sendiri yang "masuk akal", kedua adalah berdiskusi dengan istri, kemudian langkah berikutnya mencoba menggali keinginan si anak. Anak saya (ketika itu) bersekolah di sebuah SDIT (Sekolah Dasar Islam Terpadu) yang baik, dan disana juga terdapat SMPIT. Artinya, jika si anak ingin melanjutkan ke SMPIT, dimana masih dalam satu lingkungan, tentunya ada kemungkinan juga. Pilihan saya adalah si anak sebaiknya bersekolah di SMP Negeri, yang baik tentunya, dan memulai "kehidupan baru". Anak saya telah bersekolah di SDIT tersebut selama enam tahun, dalam kondisi "sempurna". Kesempurnaan itu adalah, antara lain, jadwal pelajaran yang baik, guru-guru (atau ustadz/ustadzah) yang sangat peduli, aturan sekolah yang ketat, dan kehidupan keseharian yang penuh dengan kegiatan positif, serta fasilitas jemput-antar tiap hari. Hal-hal tadi terlepas dari bimbingan membaca Al-Quran yang luar biasa pada tiap individu murid. Lalu mengapa saya tidak pasrah saja agar si anak melanjutkan ke SMP di tempat yang sama..? Yang juga sudah ketahuan akan mendapat perlakuan serba prima..? Saya menyadari bahwa "kesempurnaan" yang dialami anak saya selama enam tahun itu adalah juga sekaligus "ketidaksempurnaan". Dia tidak mengenal "kekurangan" dalam pergaulan, dia tidak mengenal "keberagaman" guru yang mengajar, bahkan dia tidak mengenal "bagaimana naik angkot" ke sekolahnya. Dia tidak mengenal keberagaman, dan ini adalah tidak baik. Karena hidup adalah tidak monoton, dan anak saya harus mengenal keberagaman yang ada dengan baik. Untuk itu saya berusaha berpikir positif, dengan melihat kemampuan si anak. Kuatkah dia terjun ke luar lingkungan yang kemungkinan "tidak ramah". Akan mampukah dia bertempur di arena yang diluar kebiasaannya. Yang utama lagi adalah apakah nilai-nilai dia cukup untuk melewati syarat administrasi "sekolah negeri baik" yang ada. Saat mana semua hal tadi "positif", maka saya mulai berdiskusi dengan ibunya. Ketika ibunya menyetujui maksud saya, maka segera saya menggali keinginan si anak. Pertama yang dihadapi adalah ketidakpercayaan diri untuk memasuki suasana baru. Mengapa..? Karena faktor teman..! Jika ke sekolah anu maka akan berpisah dengan teman-teman dekatnya. O.. o.. Baiklah, mulai dimainkan jurus-jurus khusus. Pertama adalah sering bercerita bahwa bapak-mu itu dulu mengalami hal serupa. Sekolah di SD swasta, kemudian harus melanjutkan SMP ke Negeri. Juga mengalami ketakutan tidak ada teman dekat yang ikut. Tapi kenyataannya adalah justru semakin banyak teman didapat di tempat yang baru. Bahkan teman baru sangat beragam, dari yang sangat pintar sampai sangat bodoh (maaf). Dan teman-teman baru itu adalah sangat berarti bagi kehidupan selanjutnya, karena semakin banyak teman akan semakin asik hidup kita. Kendala berikutnya adalah kurangnya sifat "menjadi yang terbaik", dan hal ini tidak tahu akibat dari mana. Apakah akibat dari kurangnya penekanan "bersaing" di kelasnya, atau karena faktor lain. Saya mencoba mengatasinya dengan cara menjadi "kompor" yang baik tentunya... : ) Satu saat ngobrol bareng dengan si anak, membicarakan klub bola Liga Inggeris. Sampai satu ketika dimasukkanlah kalimat-kalimat pendorong semangat bertarung. Kamu tau kan, menjadi pemain di MU (Manchester United) atau Arsenal tidaklah gampang. Perlu kemampuan individu yang sangat tinggi, dan kemauan keras setiap hari untuk menjadi yang terbaik. Sehebat apapun kamu jika jadi pemain klub "ecek-ecek", sekalipun di Liga Primer Inggeris, orang-orang tidak ada yang tahu. Tapi jika kamu berhasil masuk di tim MU atau Arsenal maka dunia akan mengenalmu. Mmmm... antara lain begitulah... Lain waktu... Saat melihat pertandingan lari cepat di televisi, maka terlontar juga obrolan menarik. Coba lihat yang berlari di babak final itu. Semua adalah yang terbaik dari timnya atau negaranya. Semua berlari sangat kencang. Tapi tetap saja ada juaranya, ada juara pertama hingga ke delapan. Coba perhatikan catatan waktunya, "hanya" berbeda tipis sekali. Perbedaan yang "hanya sepersekian detik" dapat membedakan siapa pemenang dan siapa pecundang. Jadi kamu mempunyai nilai baik saja nggak cukup, karena banyak yang bisa mendapatkan nilai baik. Capailah nilai yang terbaik yang kamu bisa, dengan usaha maksimal tentunya... Entah manjur atau nggak, tapi obrolan singkat dan sesuai dengan selera atau hobi si anak akan efektif membangkitkan semangat si anak untuk bertarung. Obrolan-obrolan ini dilancarkan sejak si anak memulai kelas enam. Saya sempat berpikir, mungkin ini langkah yang terlambat, tapi kenapa nggak dicoba saja... Beberapa hal yang saya pertahankan adalah tidak memaksa ia belajar atau mengancam dengan hukuman apapun, tidak pernah melecehkan apapun hasil ulangan atau test-nya, dan tidak memforsir dengan mengikuti beragam kursus di luar kegiatan sekolah. Les di luar sekolah hanyalah english untuk memperkaya kemampuan bahasanya saja. Bagaimana efek dari perlakuan yang saya cobakan pada dirinya..? Akan saya ceritakan pada tulisan selanjutnya... _-_-_-_ */ tulisan pertama dari tiga tulisan. */ merupakan pengalaman pribadi yang sangat mungkin tidak cocok untuk anda coba... : ) */ web personal http://hartantosanjaya.name

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline