Memulai kehidupan baru berumah tangga haruslah atas dasar saling mencintai antara keduanya. Sebuah pernikahan seharusnya didasari dengan rasa kasih sayang. Bagaimana akan saling menyayangi dan mengasihi kalau pondasinya sebuah cintapun tak pernah ada. Lalu, siapa sih yang mau menjalani pernikahan tanpa dasar rasa cinta? Tentu tak ada. Begitu juga dengan Sari, hatinya berontak tak ingin menjalani pernikahan yang sudah di depan mata. Sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya kalau dirinya dijodohkan dengan laki-laki yang belum diketahui karakter dan sifatnya. Tepatnya dia nggak ada rasa cinta untuk memasuki dunia baru, pernikahan yang dipaksakan!
Meskipun hatinya berontak, apa yang mau diperbuat untuk menghindari perjodohan oleh orang tuanya, hingga berhari-hari Sari belum menemukan jawaban. Tragisnya, kabar bahwa dia dijodohkan justru diketahui dari tetangga sebelah.
"Asiknya yang mau nikahan..." begitu kata bu Isah saat ngobrol-ngobrol di dekat pagar perbatasan depan rumah mereka.
"Lhoh, siapa bu yang mau nikahan?" tanya Sari kaget.
"Masa kamu nggak tahu mbak?" bu Isah malah balik tanya. Lalu tanpa merasa berdosa diceritakannya semua yang didengar dari ibunya Sari sendiri. Sari mendengarkan hingga selesai meskipun jiwanya terguncang. Kakinya ingin cepat-cepat berlari masuk ke rumah meninggalkan bu Isah sendirian.
"Baiklah bu Isah, terimakasih infonya, saya permis mau masuk dulu..." kata Sari mengakhiri obrolan. Dan bu Isahpun pamitan masuk rumah.
Di kamar Sari menangis sendirian. Rasa sedih, kecewa dan marah jadi satu. Dia bingung mau berbuat apa. Menanyakan pada ibunya tentang cerita yang baru saja dia dengar? Atau mau langsung minggat dari rumah? Bingung, pusing! Sari menjambak rambutnya sendiri dengan kedua tangannya. Diremas-remas kepalanya ingin sekali membenturkannya ke tembok. Sesekali dia bengong dan menyeka air matanya. Hingga menjelang petang dia berada di kamar sambil terus mengucurkan air mata. Ibunya menyuruh makanpun dia jawab masih kenyang.
Malam harinya, Sari nekat menanyakan pada ibunya, dia hanya butuh jawaban betul atau tidak yang disampaikan bu Isah. Ternyata benar, semua yang diceritakan bu Isah pada dirinya sama persis dengan yang disampaikan ibunya. Siapa orangnya yang akan menjadi calon suaminya sampai tanggal pernikahannya, membuat Sari tak percaya. Kali ini Sari hampir menjerit dan protes berat pada keputusan ibunya yang dirasa hanya sepihak. Tanpa ditanyakan dulu padanya, mau atau enggak menikah. Dengan orang yang dimaksud. Dalam jangka pendek pula. Segampang itukah proses menjalani sebuah pernikahan? Semudah itukah membangun rumah tangga tanpa dasar cinta? Lalu apa yang harus dilakukan jika ingin keluar dari masalah terberat itu?
Sari masuk ke dalam kamar setelah pamitan pada ibunya. Perasaan yang tidak menentu membuat rasa kantuknya hilang. Gelisah, kacau, dan shock berat. Air matapun seperti sudah habis. Kalaupun mau menangis sejadi-jadinya juga tak ada gunanya lagi. Keputusan ibu yang tentu atas dasar musyawarah dengan ayahnya, sudah tidak mungkin dirubah lagi.
Mau mengadu sama siapa, nggak ada untungnya. Percuma. Mau minggat kemana? Nggak ada teman sekolahnya dulu yang bisa dimintai tolong. Mereka tinggal di kota-kota besar jauh dari kampungnya. Setelah lulus sekolah, teman-temannya saling berpencar mencari pekerjaan dan melanjutkan kuliah.
Sari berpikir keras. Otaknya seolah diperas. Bahkan sempat terlintas ingin mengakhiri hidup.